Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Siapapun Menteri Pendidikannya, Tetaplah Guru Ujung Tombaknya

25 Oktober 2024   15:00 Diperbarui: 25 Oktober 2024   15:04 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini kita disuguhkan dengan hiruk pikuk suksesi pergantian rezim berkuasa. Dari pemerintahan Presiden Joko Widodo beralih pada Presiden Prabowo Subianto. Hingar bingar berita pelantikan presiden baru seakan memenuhi ruang-ruang publik kita. Dimana-mana orang membicarakan tema yang sama. Baik dari kubu pro pemerintah maupun kubu oposisi pemerintah.

Usai pengucapan sumpah jabatan presiden Indonesia untuk masa jabatan 2024-2029 Presiden Prabowo Subianto berpidato dengan penuh semangat menggelora yang menjadi ciri khasnya. Di Gedung Nusantara MPR/DPR/DPD, Jakarta, pada Minggu, 20 Oktober 2024. Dalam pidatonya Presiden Prabowo menyampaikan meski Indonesia telah mencapai beberapa prestasi di kancah Internasional seperti menjadi bagian dari G20 dan masuk sebagai negara dengan ekonomi terbesar ke-16 di dunia, presiden mengingatkan bahwa Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang mesti diselesaikan. Mulai dari kemiskinan, kekurangan gizi, hingga masalah pendidikan. Ya lagi dan lagi masalah pendidikan.

Seketika ingatan saya langsung tertuju pada sosok Nadiem Makarim. Yang konon katanya akan digantikan oleh figur baru dari kalangan ormas Muhammadiyah. Ternyata benar saja, mas menteri Nadiem Makarim pada akhirnya turun jabatan digantikan oleh Prof. Abdul Mu'ti, M.Ed. Beliau adalah pakar pendidikan islam, guru besar bidang pendidikan agama islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sekaligus sekretaris umum PP Muhammadiyah.

Dimana juga Kementerian Pendidikan, Riset dan Teknologi di era pemerintahan Presiden Prabowo ini dipecah menjadi tiga. Ketiganya yakni Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek), serta Kementerian Kebudayaan.

Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah yang dipimpin oleh Prof. Abdul Mu'ti, M.Ed akan di dampingi oleh dua wakil menteri yakni Dr. Fajar Riza Ul Haq, M.Si. dan Prof. Atip Latipulhayat, S.H., LL.M., Ph.D. Harapan baru membuncah mengiringi pergantian tampuk kepemimpinan tertinggi di Kementerian Pendidikan. Harapan akan dunia pendidikan kita yang lebih baik dan maju.

Peran Sentral Tetap Di Pundak Guru

Peran sentral kemajuan pendidikan Indonesia ada di pundak para guru. Kalimat yang terlihat sederhana tetapi sesungguhnya berat dan rumit dalam implementasinya. Karena tubuh guru sejatinya rapuh. Ia masih belum selesai dengan persoalan dirinya sendiri. Tapi apa mau dikata, seperti di kebanyakan negara-negara berkembang lainnya sistem pendidikan yang dibangun masih menitik beratkan pada peran guru dan sekolah. Guru dan sekolah memikul beban tanggung jawab yang luar biasa untuk mencerdaskan kehidupan bangsanya.

Padahal guru dan sekolah juga masih bergulat dengan masalahnya masing-masing. Masalah lama tapi toh sampai hari ini juga tidak kunjung selesai juga. Di negara maju untuk menjadi seorang guru betul-betul sangat selektif. Begitu banyak kriteria yang harus dipenuhi seorang calon guru. Di seleksi secara ketat dan dengan keterampilan pedagogik yang tidak main-main. Di Finlandia guru minimal berkualifikasi ijazah setara S2. Di Jepang uji kompetensi guru rutin dilaksanakan setiap tahun. Oleh karena tingkat kesejahteraan guru di negara maju juga sangat diperhatikan oleh negara. Berbanding lurus dengan mutu kompetensi serta profesionalismenya.

Tidak demikian dengan Indonesia. Masih banyak guru dengan tingkat penghasilan di bawah upah minimum. Dengan penghasilan kecil juga tidak selalu dibayar rutin setiap bulan gajian. Sementara kebutuhan pokok mesti dipenuhi secara rutin. Anak dan istri atau suami juga harus dipenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Demikian juga dengan sekolah-sekolah yang ada. Ketimpangan itu sangat terasa. Sekolah dalam satu kawasan zonasi saja sungguh bisa dirasakan aroma ketimpangan itu. Belum tercukupinya jumlah tenaga pengajar, sarana prasarana yang minim, dukungan masyarakat yang juga rendah, ditambah ada aturan untuk beberapa sekolah, khususnya sekolah negeri yang dilarang untuk menarik iuran dana dari masyarakatnya. Dengan asumsi sudah tercover oleh dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Tapi pertanyaannya apakah betul jika dana BOS itu bisa mencover seluruh kebutuhan sekolah?

Coba kita bayangkan jika sekolah diberi sedikit saja kelonggaran untuk menarik Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dari masyarakat secara terukur tentu hal ini akan sangat membantu percepatan pembangunan dan kemajuan di sekolah itu. Juga sebagai bentuk partisipasi aktif dari masyarakatnya. Tapi dengan aturan pelarangan penarikan iuran khususnya pada sekolah-sekolah negeri membuat sulit. Khususnya pada sekolah negeri dengan jumlah murid sedikit. Menjadi kembang kempis seakan hidup segan mati tak mau.

Dengan situasi dan kondisi semacam itulah tetap saja peran sentral motor penggerak kemajuan dunia pendidikan Indonesia dititik beratkan pada guru dan sekolah. Padahal secara filosofis Ki Hajar Dewantara sudah mengatakan melalui konsep tri pusat pendidikannya bahwa pendidikan adalah peran bersama antar keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tanggung jawab itu mestinya terbagi secara adil dan merata diantara ketiganya.

Memang tidak menutup mata masih banyak rakyat Indonesia yang hidup dalam kondisi prasejahtera. Maka ini juga menjadi tugas pemerintah agar bagaimana caranya mengangkat tingkat kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik. Membuka banyak lapangan pekerjaan sehingga mengurangi tingkat pengangguran. Di negara maju pendidikan juga ikut maju karena masyarakatnya sudah sejahtera. Pada akhirnya kita mengerti bahwa kemajuan pendidikan di suatu negara berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Dua hal tersebut sangat berkaitan erat.

Langkah Kecil Untuk Visi Perubahan Besar

Seorang sahabat yang baik hatinya pernah bertanya dalam sebuah diskusi singkat di whatsapp grup penulis. Dia bertanya, kita para guru mengerti persoalan pendidikan itu nyata adanya di depan mata, rumit dan pelik. Kita merasakan itu semua. Tetapi terkadang kita bingung harus memulai dari mana untuk mengatasinya?

Seketika saya tersenyum tipis sambil mencoba ikut memberikan pendapat dalam diskusi itu. Saya mengapresiasi pertanyaan ini karena hal tersebut muncul dari keresahan para guru akan situasi dan kondisi yang dihadapi. Jika pertanyaannya harus memulai dari mana? Maka jawaban singkatnya harus dimulai dari diri sendiri. Karena diskusi singkat itu terjadi di komunitas guru penulis maka solusi dimulai dari diri guru sendiri. Apakah mudah? Tentu tidak. Tapi harus dimulai sekecil dan sesederhana apapun dengan segala keterbatasan yang ada. Mulai saja dulu dari diri sendiri!

Memulai sebuah kebaikan memang tidak mudah. Memberi contoh keteladanan memang tidak gampang. Tapi tidak akan ada cerita perubahan transformasi pendidikan yang gilang gemilang itu tanpa adanya permulaan dari langkah-langkah kecil masing-masing pribadi. Setidaknya dimulai dari perubahan pola pikir atau mindset terlebih dahulu. Contoh kecil, untuk menanamkan jiwa kedisiplinan dan menghargai waktu maka alangkah lebih baik guru mencontohkan berangkat ke sekolah dengan lebih pagi. Menyapa anak-anak dengan hangat senyumnya dan bersalaman dengan penuh keramah-tamahan.

Menanamkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air salah satunya dilakukan dengan mengadakan upacara bendera rutin setiap hari Senin atau hari besar nasional, maka guru bersama siswa mengikuti upacara tersebut dengan khidmat di halaman atau lapangan sekolah. Tidak ada ceritanya siswa upacara guru malah asyik ngobrol dan ngerumpi di dalam kantor misalnya. Hal-hal sepele dan terlihat remeh tapi pelan-pelan jika dilaksanakan dengan serius setidaknya akan membawa kebermanfaatan dan mengurangi masalah pendidikan kita yang rumit dan ruwet itu.

Seorang rekan guru penggerak pernah berujar pada saya bahwa jika dikaitkan dengan konsep tergerak, bergerak, dan menggerak yang paling sulit adalah pada domain menggerakkan. Begitu sulit mengajak orang untuk bersama menuju satu tujuan mulia. Karena setiap orang pada umumnya suka dengan status quo, dengan kenyamanan dan enggan keluar dari zona itu untuk lebih menantang diri berkembang pada tataran level yang lebih jauh. Mindset konservatif, beku, dan stagnan masih menjadi persoalan dalam dunia keguruan kita.

Konon banyak grup-grup whatsapp sekolah lebih didominasi obrolan-obrolan seputar peningkatan kesejahteraan, pencairan tunjangan sertifikasi, atau malah obrolan yang justru tidak ada hubungannya dengan seluk beluk dunia pendidikan semacam obrolan politik atau seputar masalah kuliner dan urusan keluarga. Ketimbang dominan membicarakan atau mendiskusikan perkembangan ranah pendidikan di era kekinian. Agaknya perlu diseimbangkan agar semangat dan visi ke depan tentang kemajuan pendidikan tetap terjaga. Diantaranya dengan menghadirkan obrolan yang lebih dominan pada tema perkembangan dunia pendidikan itu sendiri.

Jadi, pada akhirnya kita mengerti bahwa siapapun menteri pendidikannya tetap saja guru dan sekolah yang menjadi ujung tombak terdepan pelaksana kebijakan pendidikan. Perubahan sekecil apapun justru harus dimulai dari diri sang guru bersama dengan kepala sekolah dalam lingkup satuan pendidikannya. Jika setiap guru dan setiap sekolah sudah memiliki visi yang sama tentang kemajuan pendidikan setidaknya modal dasar kemajuan itu sudah dimiliki. Apa itu? Mindset berpikir yang benar.

Di tengah segala keterbatasan dan keruwetan masalah yang ada, mau tidak mau, suka tidak suka, guru dan sekolah tetap menduduki posisi sebagai garda terdepan dalam transformasi kemajuan pendidikan Indonesia. Yang kelak di kemudian hari pada masanya nanti akan menarik semangat dan visi yang sama pada stakeholder yang lain yaitu terkhusus adalah orangtua siswa dan masyarakat. Tetap semangat. Salam blogger persahabatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun