Dengan situasi dan kondisi semacam itulah tetap saja peran sentral motor penggerak kemajuan dunia pendidikan Indonesia dititik beratkan pada guru dan sekolah. Padahal secara filosofis Ki Hajar Dewantara sudah mengatakan melalui konsep tri pusat pendidikannya bahwa pendidikan adalah peran bersama antar keluarga, sekolah, dan masyarakat. Tanggung jawab itu mestinya terbagi secara adil dan merata diantara ketiganya.
Memang tidak menutup mata masih banyak rakyat Indonesia yang hidup dalam kondisi prasejahtera. Maka ini juga menjadi tugas pemerintah agar bagaimana caranya mengangkat tingkat kesejahteraan masyarakat menjadi lebih baik. Membuka banyak lapangan pekerjaan sehingga mengurangi tingkat pengangguran. Di negara maju pendidikan juga ikut maju karena masyarakatnya sudah sejahtera. Pada akhirnya kita mengerti bahwa kemajuan pendidikan di suatu negara berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan masyarakatnya. Dua hal tersebut sangat berkaitan erat.
Langkah Kecil Untuk Visi Perubahan Besar
Seorang sahabat yang baik hatinya pernah bertanya dalam sebuah diskusi singkat di whatsapp grup penulis. Dia bertanya, kita para guru mengerti persoalan pendidikan itu nyata adanya di depan mata, rumit dan pelik. Kita merasakan itu semua. Tetapi terkadang kita bingung harus memulai dari mana untuk mengatasinya?
Seketika saya tersenyum tipis sambil mencoba ikut memberikan pendapat dalam diskusi itu. Saya mengapresiasi pertanyaan ini karena hal tersebut muncul dari keresahan para guru akan situasi dan kondisi yang dihadapi. Jika pertanyaannya harus memulai dari mana? Maka jawaban singkatnya harus dimulai dari diri sendiri. Karena diskusi singkat itu terjadi di komunitas guru penulis maka solusi dimulai dari diri guru sendiri. Apakah mudah? Tentu tidak. Tapi harus dimulai sekecil dan sesederhana apapun dengan segala keterbatasan yang ada. Mulai saja dulu dari diri sendiri!
Memulai sebuah kebaikan memang tidak mudah. Memberi contoh keteladanan memang tidak gampang. Tapi tidak akan ada cerita perubahan transformasi pendidikan yang gilang gemilang itu tanpa adanya permulaan dari langkah-langkah kecil masing-masing pribadi. Setidaknya dimulai dari perubahan pola pikir atau mindset terlebih dahulu. Contoh kecil, untuk menanamkan jiwa kedisiplinan dan menghargai waktu maka alangkah lebih baik guru mencontohkan berangkat ke sekolah dengan lebih pagi. Menyapa anak-anak dengan hangat senyumnya dan bersalaman dengan penuh keramah-tamahan.
Menanamkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air salah satunya dilakukan dengan mengadakan upacara bendera rutin setiap hari Senin atau hari besar nasional, maka guru bersama siswa mengikuti upacara tersebut dengan khidmat di halaman atau lapangan sekolah. Tidak ada ceritanya siswa upacara guru malah asyik ngobrol dan ngerumpi di dalam kantor misalnya. Hal-hal sepele dan terlihat remeh tapi pelan-pelan jika dilaksanakan dengan serius setidaknya akan membawa kebermanfaatan dan mengurangi masalah pendidikan kita yang rumit dan ruwet itu.
Seorang rekan guru penggerak pernah berujar pada saya bahwa jika dikaitkan dengan konsep tergerak, bergerak, dan menggerak yang paling sulit adalah pada domain menggerakkan. Begitu sulit mengajak orang untuk bersama menuju satu tujuan mulia. Karena setiap orang pada umumnya suka dengan status quo, dengan kenyamanan dan enggan keluar dari zona itu untuk lebih menantang diri berkembang pada tataran level yang lebih jauh. Mindset konservatif, beku, dan stagnan masih menjadi persoalan dalam dunia keguruan kita.
Konon banyak grup-grup whatsapp sekolah lebih didominasi obrolan-obrolan seputar peningkatan kesejahteraan, pencairan tunjangan sertifikasi, atau malah obrolan yang justru tidak ada hubungannya dengan seluk beluk dunia pendidikan semacam obrolan politik atau seputar masalah kuliner dan urusan keluarga. Ketimbang dominan membicarakan atau mendiskusikan perkembangan ranah pendidikan di era kekinian. Agaknya perlu diseimbangkan agar semangat dan visi ke depan tentang kemajuan pendidikan tetap terjaga. Diantaranya dengan menghadirkan obrolan yang lebih dominan pada tema perkembangan dunia pendidikan itu sendiri.
Jadi, pada akhirnya kita mengerti bahwa siapapun menteri pendidikannya tetap saja guru dan sekolah yang menjadi ujung tombak terdepan pelaksana kebijakan pendidikan. Perubahan sekecil apapun justru harus dimulai dari diri sang guru bersama dengan kepala sekolah dalam lingkup satuan pendidikannya. Jika setiap guru dan setiap sekolah sudah memiliki visi yang sama tentang kemajuan pendidikan setidaknya modal dasar kemajuan itu sudah dimiliki. Apa itu? Mindset berpikir yang benar.
Di tengah segala keterbatasan dan keruwetan masalah yang ada, mau tidak mau, suka tidak suka, guru dan sekolah tetap menduduki posisi sebagai garda terdepan dalam transformasi kemajuan pendidikan Indonesia. Yang kelak di kemudian hari pada masanya nanti akan menarik semangat dan visi yang sama pada stakeholder yang lain yaitu terkhusus adalah orangtua siswa dan masyarakat. Tetap semangat. Salam blogger persahabatan.