Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Salah Kaprah Penerapan Konsep Pembelajaran Berdiferensiasi

22 September 2024   15:07 Diperbarui: 22 September 2024   15:31 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi miskonsepsi penerapan konsep pembelajaran berdiferensiasi | Sumber : Olahan pribadi

Selalu menarik jika membahas tema seputar kurikulum merdeka. Seakan tidak pernah habis untuk dibicarakan. Memang menghadapi segala apapun yang sifatnya baru semua orang akan mencoba mengenali dan meraba dengan caranya masing-masing. Termasuk dalam memahami kurikulum baru ini. Dua hal yang menarik perhatian saya terhadap kurikulum ini adalah munculnya konsep pembelajaran berdiferensiasi dan projek penguatan profil pelajar pancasila (P5).

Saya pribadi merasakan bahwa dalam implementasi kurikulum ini memang guru dituntut untuk banyak belajar secara mandiri. Tidak lagi bergantung pada pelatihan-pelatihan yang secara formal disusun dan dijadwalkan oleh pemerintah semata. Toh perkembangan dunia internet yang begitu pesat bisa menjadi jembatan bagi setiap orang untuk "menjemput bola". Menjemput ilmu pengetahuan dan wawasan yang ingin digali dan dikembangkan. Tidak lagi seperti era dahulu dimana penataran atau diklat dilaksanakan secara rigid. Sekarang orang bisa mengakses pelatihan secara lebih flexibel dimanapun dan kapanpun bahkan dari rumahnya sendiri.

Selalu ada plus minus dibalik kemudahan-kemudahan itu. Mulai dari perlunya menjaga semangat diri dalam mengembangkan pengetahuan. Sampai pada proses membangun pengetahuan itu sendiri agar menjadi sebuah ilmu yang tuntas dan valid. Mengapa saya katakan demikian? Karena segala sesuatu yang baru rawan terjadi salah paham atau miskonsepsi. Jika konsep baru itu tidak dipelajari secara tuntas dari sumber terpercaya dan dapat dipertanggungjawabkan.

Miskonsepsi ini nyatanya banyak terjadi pada konteks penerapan projek penguatan profil pelajar pancasila (P5) dan pembelajaran berdiferensiasi di sekolah-sekolah pelaksana kurikulum merdeka. Kegiatan projek penguatan profil pelajar pancasila (P5) lebih terlihat seperti pameran produk. Alih-alih membentuk karakter siswa yang mencerminkan pribadi berkarakter ujung-ujungnya selalu menghasilkan produk dan dipamerkan dalam sebuah pagelaran.

Setali tiga uang dengan konsep pembelajaran berdiferensiasi. Maksud hati ingin memperkaya pengalaman belajar anak agar tercipta pembelajaran bermakna dan menyenangkan ujung-ujungnya malah terjebak pada pengkotak-kotakan anak dalam kelompok belajar sesuai dengan gaya belajarnya. Muncullah kategorisasi anak dengan kelompok gaya belajar visual, kelompok gaya belajar auditori, dan kelompok belajar kinestetik. Yang kemudian belakangan mendapat reaksi dari pemerintah melalui Panduan Pembelajaran dan Asesmen (PPA) edisi revisi tahun 2024. Lalu bagaimana semestinya konsep pembelajaran berdiferensiasi itu?

Konsep Diferensiasi Pembelajaran dalam PPA 2024

Seperti kebanyakan guru dulu saya berpikir bahwa yang disebut pembelajaran berdiferensiasi identik dengan pembagian siswa ke dalam kelompok berdasarkan gaya belajarnya. Selalu kelas dibagi menjadi tiga kelompok. Ada kelompok pembelajar visual, kelompok pembelajar auditori, dan kelompok pembelajar kinestetik. Karena di awal implementasi kurikulum merdeka banyak referensi tentang pembelajaran berdiferensiasi selalu mengaitkan dengan pembagian siswa ke dalam tiga kelompok tadi. Bahkan banyak video tentang pembelajaran berdiferensiasi yang dilombakan dan pada akhirnya meraih juara juga tidak lepas dari praktek pembagian siswa menjadi tiga kelompok semacam itu.

Dimana pada akhirnya pendekatan dalam proses belajar mengajar juga menyesuaikan dengan tiga gaya belajar tersebut. Ambil contoh misalkan pada materi pembelajaran IPA tentang mengidentifikasi dan mengelompokkan benda-benda magnetis dan non magnetis. Berdasarkan asesmen awal siswa dibagi menjadi tiga kelompok kelompok visual belajar dengan membaca dan mengamati teks sifat magnet. Siswa auditori belajar dengan melihat dan mendengarkan penjelasan dari guru. Dan siswa kinestetik belajar dengan mengamati benda konkret yang disediakan guru. Kemudian siswa diberikan lembar kerja dengan isi dan rubrik penilaian yang sama.

Terbentuk pola yang sama untuk setiap pembelajaran dalam mata pelajaran apapun. Dengan ciri khas pembagian kelas ke dalam tiga kelompok berdasarkan gaya belajar. Dan memang pola-pola semacam itu banyak dilakukan oleh para guru dalam mengimplementasikan konsep pembelajaran berdiferensiasi di kelasnya. Banyak video-video pembelajaran berdiferensiasi yang dibuat oleh para guru dan diupload di youtube pun melakukan pola yang sama.

Di suatu sore yang cerah di tengah obrolan santai dengan beberapa orang sahabat yang baru selesai mengikuti Pendidikan Profesi Guru (PPG) pra jabatan saya coba mengangkat isu pembelajaran berdiferensiasi ini. Agar menjadi topik bahasan yang hangat dan menarik. Karena siapa tahu dari perbincangan itu nantinya didapatkan sebuah perspektif dan wawasan baru tentang bagaimana implementasi pembelajaran berdiferensiasi yang tepat. Setidaknya dari sudut pandang para sahabat ini yang mungkin dalam kegiatan PPG kemarin telah mendapat wawasan pengetahuan dari dosennya. Ternyata kesimpulannya sama saja dengan apa yang saya sampaikan di atas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun