Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Menelaah Makna Dibalik Penghapusan Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di SMA

23 Juli 2024   15:42 Diperbarui: 25 Juli 2024   04:44 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi peniadaan penjurusan di SMA | Sumber : Dokpri

Teringat pada sebuah kisah di masa SMA dulu. Ibunda dari salah seorang teman komplain dan mendatangi sekolah karena anaknya masuk ke jurusan IPS. Padahal si ibu berharap jika anaknya bisa masuk jurusan IPA. Dengan tergopoh-gopoh si ibu masuk ke ruang guru untuk bertemu wali kelas dan kepala sekolah. Berharap agar anaknya bisa pindah jurusan dari IPS ke IPA. Dan akhirnya di hari itu juga si anak dipindah ke kelas IPA.

Di sisi lain ada seorang teman berdasarkan tes penjurusan dia dinyatakan masuk ke jurusan IPA. Tetapi teman ini menolak. Karena dia lebih menghendaki agar bisa masuk jurusan IPS. Dengan alasan kelak dia akan mengambil jurusan pada rumpun IPS saat melaksanakan studi lanjut ke perguruan tinggi. Sehingga dia perlu membekali diri dengan pengetahuan dan keilmuan di bidang sosial dari tingkat SMA nya. Akhirnya teman ini pun masuk pada kelas IPS.

Hal ini juga terjadi pada pribadi saya. Di era awal tahun 2000-an saat itu SMA masih menggunakan kurikulum 1994. Proses penjurusan terjadi di kelas 3. Saya yang saat itu dinyatakan masuk ke jurusan IPA menolak dan lebih memilih masuk ke jurusan IPS. Alasannya sangat sederhana karena saya ingin berkuliah di jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) selepas lulus SMA nanti. 

Asumsi saya dengan masuk jurusan IPS maka nantinya saya akan bisa lebih adaptif saat berkuliah di PGSD. Menjadi guru SD sudah menjadi cita-cita saya sejak SMA. Meskipun saat itu saya ditertawakan oleh wali kelas dan teman-teman sekelas, tapi toh pada akhirnya saya masuk juga ke jurusan IPS dan melanjutkan ke PGSD.

Beruntung saya memiliki orangtua dengan pola pikir terbuka (open minded) dan moderat. Sehingga saat saya menjelaskan alasan mengapa saya memilih jurusan IPS, ayahanda hanya tersenyum dan mengatakan lakukan yang terbaik sesuai dengan pilihan. Lelaki sejati adalah mereka yang bisa bertanggung jawab dengan pilihannya. Senang dan lega rasanya mendengar jawaban tersebut.

Stigmatisasi Yang Keliru

Diakui atau tidak sampai sekarang pun masih banyak orang yang beranggapan bahwa jurusan IPA lebih bergengsi daripada IPS dan Bahasa. Banyak orang tua merasa bangga jika anaknya bisa masuk jurusan IPA di SMA. Jurusan IPA memiliki prestise dan previlise sendiri di mata masyarakat. 

Juga terbentuk stigma jika siswa jurusan IPA adalah siswa yang tekun, disiplin dan teratur. Berbeda dengan siswa jurusan IPS dan Bahasa. Sehingga selama ini jurusan IPA menjadi idola bagi mayoritas kalangan orang tua dan siswa SMA itu sendiri.

Bahkan di tingkat perguruan tinggipun anak-anak lulusan IPA semacam memiliki keistimewaan dan keleluasaan lebih dalam menentukan program studinya. Siswa lulusan SMA IPA bisa masuk di rumpun jurusan eksakta dan sosial. Sementara siswa lulusan jurusan IPS tidak bisa sebaliknya. 

Hanya bisa memilih jurusan yang serumpun dengan IPS dan Bahasa. Tidak cukup syarat untuk masuk program studi eksakta. Kondisi semacam ini yang kemudian membuat stigma dalam masyarakat bahwa jurusan IPA lebih baik dari IPS dan Bahasa semakin tertanam kuat.

Pada akhirnya banyak orangtua beranggapan jika anaknya masuk dalam jurusan IPA di SMA akan mempermudah cita-citanya guna meraih kesuksesan di masa mendatang. Secara jujur saya tidak sependapat dengan pola pikir semacam ini. Manusia secara fitrah diciptakan oleh Tuhan dengan bakat, minat dan kemampuan serta karakteristik yang berbeda satu sama lain. Jika diasumsikan hanya mereka yang berasal dari jurusan IPA yang lebih besar peluangnya untuk mencapai kesuksesan hidup, kok ya rasanya Tuhan menjadi tidak adil.

Karena sejatinya setiap orang berhak meraih cita-cita dan kesuksesan di masa depan dengan caranya masing-masing. Sesuai dengan situasi, kondisi, serta bakat dan minatnya. Yang memang sudah secara fitrah diciptakan oleh Tuhan dengan kondisi yang berbeda-beda dan beraneka ragam.

Pola pikir semacam ini memang mulai harus diubah. Apalagi jika berkaca pada sistem pendidikan kita sendiri yang dominan menganut aliran pendidikan humanistik. Maka "pengakuan" terhadap perbedaan bakat minat siswa adalah sebuah keniscayaan. Adanya penghapusan jurusan IPA, IPS, dan Bahasa di tingkat SMA yang konon sudah mulai diterapkan bersamaan dengan implementasi kurikulum merdeka ini patut diapresiasi.

Salah Satu Bentuk Implementasi Kurikulum Merdeka

Sebagai mana diketahui bersama, Kepala Badan Standar, Kurikulum, dan Asesmen Pendidikan Kemendikbud Ristek Anindito Aditomo mengungkapkan bahwa peniadaan jurusan di SMA dimaksud merupakan bagian dari implementasi Kurikulum Merdeka yang sudah diterapkan secara bertahap sejak tahun 2021. 

Lebih lanjut beliau mengungkapkan bahwa pada kelas 11 dan 12 SMA siswa yang sekolahnya menerapkan kurikulum merdeka dapat memilih mata pelajaran secara lebih leluasa sesuai minat, bakat, kemampuan dan rencana studi lanjut atau kariernya.

Beliau berharap kurikulum merdeka dapat membuat siswa lebih fokus membangun basis pengetahuannya yang relevan dengan rencana studi lanjutnya. Dengan menghapus penjurusan di SMA juga menghapus diskriminasi terhadap siswa jurusan non-IPA dalam seleksi nasional penerimaan mahasiswa baru. Selengkapnya di sini.

Memang sudah saatnya pendidikan kita bergerak ke arah yang lebih humanis. Seperti yang selama ini selalu disampaikan dimana-mana bahwa sejatinya pendidikan adalah proses memanusiakan manusia. Membuat manusia hidup tumbuh dan berkembang sesuai dengan fitrah kemanusiaannya yang memang berbeda-beda itu.

Kesuksesan dalam hidup tidak semata ditentukan oleh faktor jurusan tertentu saat sekolah. Ada faktor kerja keras, perencanaan hidup yang matang juga keberuntungan di dalamnya. Apalagi dalam era kemajuan teknologi dan informasi sekarang ini. Begitu banyak jalan yang bisa ditempuh orang untuk mencapai kesuksesan. Karena sumber belajar dan akses terhadapnya yang sudah begitu terbuka lebar dan ada dimana-mana.

Setiap orang bisa mencapai cita-cita sesuai dengan bakat, minat dan jalan hidupnya masing-masing. Terlalu naif rasanya jika kesuksesan itu disandarkan pada pemilihan jurusan tertentu yang dianggap bergengsi saat SMA. Jurusan yang terbaik adalah jurusan yang sesuai dengan bakat dan minat kita. Yang sesuai dengan rencana pendidikan dan karier kita di masa depan.

Sebagai penutup tulisan ini ijinkan kembali saya menceritakan sebuah kisah seorang teman dulu memilih jurusan Bahasa saat bersekolah di bangku SMA. Padahal semestinya ia masuk jurusan IPA. Jurusan Bahasa saat itu sangat minim peminat dan hanya membuka satu kelas dengan jumlah siswa kurang dari 20 orang. Akan tetapi teman ini bersih kukuh masuk ke jurusan Bahasa. 

Bukan lantaran dia tidak mampu masuk ke jurusan IPA atau IPS tapi lebih karena kecintaannya pada dunia sastra. Dan belakangan setelah sekian puluh tahun tidak bertemu, dari status di sosial medianya saya mengetahui ternyata teman ini sekarang menjadi penulis novel yang cukup produktif. Banyak karya novelnya yang masuk ke penerbit mayor dan ditemui di toko-toko buku online maupun offline.

Di tengah kesehariannya sebagai aparatur pemerintah ia masih aktif menulis novel. Apakah teman ini menjadi orang gagal dengan memilih jurusan non-IPA? Tidak. Dia berhasil meraih kesuksesan dengan jalannya sendiri. Sesuai dengan bakat dan minat yang Tuhan anugerahkan kepadanya. Semoga bermanfaat. Salam blogger persahabatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun