Ketika tengah mengobrol santai dan berdiskusi ringan dengan beberapa rekan guru honorer saya kerap bertanya tentang beberapa hal. Pertanyaan yang sering saya tanyakan adalah terkait apa motivasi mereka menjadi seorang guru. Sebuah pertanyaan yang terdengar klise dan absurd tetapi selalu menarik untuk mengetahui jawabannya.Â
Karena satu pertanyaan ini jika ditanyakan pada beberapa orang pasti akan menghasilkan beberapa jawaban yang berbeda. Pertanyaannya sama jawabannya berbeda-beda. Tergantung dari sudut pandang dan pola pikir masing-masing.
Beragam jawaban saya dapatkan. Mulai dari ingin mengamalkan ilmu yang sudah dipelajari di bangku kuliah, ingin menebar kebaikan pada sesama manusia, mewujudkan cita-cita sebagai seorang guru, dorongan dari orangtua, pekerjaan guru sebagai sampingan saja, sampai pada tidak memiliki alasan spesifik dan hanya menjalani saja pekerjaan sebagai guru.
Sebuah kejujuran yang patut dihargai. Karena betapapun kita sependapat bahwa guru adalah suatu profesi mulia untuk membangun peradaban bangsa, tetapi negara agaknya masih belum mendudukkan guru pada singgasana kemuliaannya. Sehingga tak jarang guru begitu dipuja sebagai pahlawan insan cendekia, di sisi lain ia merana memikirkan nasib dan masa depannya.
Pemikir Yang Mewarnai Peradaban
Dalam sejarah perkembangan intelektual dunia baik belahan dunia barat maupun timur kita banyak mengenal tokoh pemikir yang sebagian besar diantaranya adalah seorang guru. Ambil saja contoh Socrates, Plato dan Aristoteles.Â
Ketiganya merupakan tokoh pemikir, filsuf sekaligus guru yang meletakkan dasar-dasar pondasi bagi kemajuan peradaban dunia barat. Sehingga tidak berlebihan jika dikatakan bahwa perkembangan dunia intelektual di barat sekarang ini hanyalah sebatas catatan kaki dari hasil pemikiran ketiganya.
Sementara di belahan bumi timur kita mengenal tokoh-tokoh besar seperti Konfusius (551-479 SM) tokoh sentral dalam Konfusianisme, Lao-Tzu (abad ke-6 SM) pendiri Taoisme dengan karyanya yang fenomenal "Tao Te Ching", Buddha Gautama (563-483 SM) pendiri agama Buddha, dengan fokus utama pada pencerahan dan pembebasan diri dari penderitaan.
Juga kita mengenal tokoh-tokoh pemikir dari kalangan muslim seperti Al-Kindi (801-873 M) dikenal sebagai "Filsuf Arab Pertama", Ibnu Sina (980-1037 M) dikenal sebagai "Pangeran Para Filsuf", Al-Ghazali (1058-1111 M) seorang teolog dan filsuf Islam terkemuka, juga Ibnu Rusyd (1126-1198 M) dikenal sebagai "Averroes" di dunia barat yang kerap mengulas pemikiran-pemikiran Aristoteles.
Semua tokoh diatas adalah para pemikir besar, guru dan intelektual yang mewarnai peradaban dunia. Sehingga kurang tepat rasanya jika ada sebagian pihak yang mengatakan jika para filsuf adalah orang yang menganggur. Gagasan dan hasil olah pikirnya memperkaya khazanah ilmu pengetahuan. Membawa dunia dari kegelapan menuju jalan terang cahaya.
Menjadi guru pada hakikatnya menjadi seorang pemikir. Ia adalah pribadi mulia yang menyokong kemajuan zaman. Sebuah bangsa akan maju jika pendidikannya juga maju.Â
Kemajuan pendidikan ini setidaknya menurut Ki Hajar Dewantara mestilah disokong oleh tiga pilar: keluarga, sekolah dan masyarakat. Kita mengenal konsep tripusat pendidikan milik Ki Hajar Dewantara tetapi agaknya di negara dengan tingkat literasi yang masih minim seperti di Indonesia, konsep tripusat pendidikan itu mengalami ketimpangan dalam realisasinya.
Kondisi masyarakat yang belum sepenuhnya melek literasi mengakibatkan tanggungjawab untuk mendidik anak bangsa menjadi dominan dibebankan pada guru dan sekolah. Padahal sejatinya proses pendidikan itu secara ideal tidak hanya terjadi di sekolah.Â
Tetapi juga terjadi di lingkungan keluarga dan lingkungan masyarakat. Tapi apa mau dikata? kenyataan ini membuat guru di negara kita melakukan peran dan memikul tanggung jawab berat.
Guru sebagai seorang pemikir pada hakikatnya adalah seorang intelektual. Seorang intelektual yang banyak melahirkan gagasan cemerlang dan brilian. Melahirkan banyak ide dan karya untuk diwariskan pada anak bangsa dan generasi selanjutnya.Â
Hari-hari ini kita sering sekali membahas konsep serta filosofi pendidikan milik Ki Hajar Dewantara yang begitu hebat dan luar biasa. Begitu gegap gempita kita terinspirasi pada gagasan pemikiran beliau. Kita ingin menerapkan ajaran mulia itu dalam semesta pendidikan kita. Dengan berbagai macam praktik baik yang dilaksanakan dalam lingkup keseharian kita sebagai guru.
Sosok Ki Hajar Dewantara adalah sosok pemikir sekaligus pejuang. Beliau banyak menuliskan gagasan pemikirannya tentang pendidikan yang masih bisa kita akses sampai sekarang ini. Beliau mengkritik habis pendidikan ala barat saat itu. Banyak buku yang beliau tulis.Â
Dan pastinya beliau adalah seorang leader bukan follower. Beliau berdiri tegak di atas pemikiran dan intelektualitasnya sendiri. Tidak mengekor apalagi menjadi agen bagi pihak lain.
Lalu apakah kita cukup hanya dengan menjadi pengagum dan pengikut filosofi pendidikan beliau? Mengapa kita tidak mencoba keluar dari batas bingkai kekaguman itu dan mulai menuliskan serta menyuarakan gagasan pemikiran kita sendiri tentang pendidikan bangsa ini?Â
Sebagaimana juga yang dilakukan beliau saat masih hidup dulu. Aktif menyuarakan pikiran. Rajin melahirkan gagasan berlian. Sampai merealisasikannya dengan mendirikan perguruan taman siswa.
Pejuang dalam Artian Sebenarnya
Pendidikan ada untuk melawan kebodohan. Menjadikan manusia mencapai harkat dan martabatnya selayaknya manusia paripurna. Di awal bangsa ini merdeka pendidikan diarahkan untuk membentuk jiwa nasionalisme dan memberantas buta aksara. Penjajahan selama ratusan tahun menimbulkan dampak serius bagi sosiologi kehidupan masyarakat.Â
Perjuangan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sudah lama dimulai bahkan sejak bangsa ini belum merdeka. Lagi dan lagi guru menjadi ujung tombak di garda terdepan.
Hari ini pun perjuangan itu belum selesai. Tantangan dan dinamikanya tentu berbeda dengan era penjajahan atau era di awal bangsa ini berdiri. Satu hal yang sama dan tidak berubah adalah peran sentral guru di dalamnya. Guru selalu berada dalam posisi sentral dan vital bagi kemajuan pendidikan. Dari dulu hingga sekarang tetap saja begitu.
Pertanyaan di awal tulisan ini yang kerap saya lontarkan pada sebagian rekan guru honorer sejatinya untuk mengukur sejauh mana motivasi etis itu ada dalam benaknya. Tentu bisa dipahami dan dimengerti jikalau beragam jawaban itu muncul. Sekalipun motivasi etis itu harus ada dalam benak seorang guru tetapi guru tetaplah guru.Â
Dia manusia biasa yang juga harus dihargai harkat dan martabat kemanusiaannya. Masalah kesejahteraan guru masih menjadi PR besar di negara kita. Tercatat dari data yang ada Indonesia menempati peringkat terbawah dalam hal kesejahteraan (gaji) guru di kawasan Asia Tenggara.
Perjuangan guru selalu ada diantara dua kondisi: berjuang ke dalam dan ke luar. Perjuangan ke dalam dirinya sendiri setidaknya guru masih bergulat dengan persoalan kesejahteraan, perlindungan hukum dalam menjalani profesi, dan peningkatan kompetensi.Â
Sedangkan di luar dirinya sendiri guru berkutat di seputar persoalan merosotnya moral siswa, rumitnya birokrasi serta meningkatnya kritisisme masyarakat yang harus disikapi dengan bijak. Segala tantangan internal dan eksternal itu berkumpul jadi satu dalam tubuh mulia sang guru. Tentu jika ditelisik lebih jauh masih banyak hal lainnya yang tidak tercantum dalam tulisan ini.
Kita merindukan sebuah keadaan dimana sistem pendidikan juga berpihak pada guru. Bukan hanya berpihak pada murid. Kita merindukan semesta pendidikan yang membuat guru selamat dan bahagia.Â
Sebagaimana yang diuraikan Ki Hajar Dewantara dalam buku-bukunya. Kita merindukan para guru menempati singgasana kemuliaannya sebagai pahlawan insan cendekia. Kita merindukan negara ada dan hadir untuk mewujudkan itu semua.
Jebloknya perolehan skor IQ nasional kita, rendahnya skor PISA kita dan minimnya tingkat literasi bangsa kita adalah sinyal yang menjadi wakeup call bahwa ke depan bangsa ini akan menghadapi tantangan yang tidak mudah. Tetap semangat para guru Indonesia. Jangan lelah berjuang untuk mencerdaskan anak bangsa. Salam blogger persahabatan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H