Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Merenungkan Kembali Arti Pembelajaran Bermakna dan Menyenangkan

21 April 2024   16:06 Diperbarui: 24 April 2024   00:40 2434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata-kata pembelajaran bermakna dan menyenangkan sering terdengar setelah era kurikulum merdeka. Beberapa literatur mengatakan frasa ini pertama kali muncul saat menteri pendidikan Nadiem Makarim mulai menerapkan kurikulum darurat pada saat terjadi pandemi Covid-19 beberapa tahun lalu. 

Beliau resah dengan fakta selama ini bahwa dalam dunia pendidikan kita terjadi semacam ketimpangan antara tingginya nilai hasil ujian dengan keterampilan hidup (life skill) yang semestinya dikuasai oleh anak-anak kita.

Secara kognitif nilai di atas kertas bagus tapi secara keterampilan nyata di lapangan jauh panggang dari api. Sehingga didapatkan kesimpulan bahwa selama ini apa yang dipelajari siswa di sekolah ternyata tidak nyambung dengan situasi yang dialami dalam kehidupan nyata. Istilah yang lebih keren adalah siswa tidak mempelajari sesuatu yang kontekstual. Pembelajaran yang dilaksanakan di sekolah tidak sesuai dengan konteks kehidupan siswa sehari-hari. Akhirnya pengetahuan yang didapatkan di sekolah menjadi tidak (baca : kurang) bermakna.

Jika mengacu pada teori belajar konstruktivisme memang dalam sebuah proses pembelajaran harusnya terjadi sebuah pemahaman baru tentang konsep yang tengah dipelajari. Terjadi proses ketersinambungan di dalam struktur kognitif anak didik. 

Pengetahuan baru yang didapat akan tersambung dengan pengalaman belajar yang sudah dialami anak didik sebelumnya. Sehingga pada akhirnya akan terbentuk struktur kognitif yang padu dan padan dalam pikiran anak didik. Karena proses ketersinambungan tadi. Tidak terputus dan random (acak). Pemahaman utuh dan menyeluruh ini membuat peserta didik mengalami pembelajaran bermakna.

Pembelajaran bermakna akan terjadi jika siswa mengalami situasi belajar yang menyenangkan. Situasi belajar yang menyenangkan dapat digambarkan sebagai sebuah kondisi dimana siswa berada dalam suasana emosi yang positif : bahagia, bebas, leluasa dan bersemangat tanpa adanya perasaan terkekang apalagi tertekan. 

Siswa bisa dengan leluasa menjadi dirinya sendiri dalam proses belajar. Belajar merdeka sesuai dengan bakat dan minatnya. Lalu sebetulnya apa dan bagaimana proses pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan itu?

Pembelajaran Bermakna

Tentu kita sepakat bahwa sebuah pembelajaran dikatakan berhasil jika setelah mengikutinya anak didik mendapatkan pengalaman baru yang bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya. Pembelajaran bermakna secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu proses mengaitkan informasi baru pada konsep-konsep relevan yang terdapat pada struktur kognitif seseorang.

Kata relevan ini menjadi kunci. Kita bayangkan sebuah kondisi dalam suatu wilayah pedesaan misalnya dimana anak didik setiap hari melihat dan berinteraksi dengan kondisi lingkungan yang sangat agraris semacam pertanian atau perladangan. 

Anak didik di situ akan sangat paham dan mengerti sesuatu yang berkaitan dengan kehidupan agraris. Tetapi faktanya kadang justru yang diajarkan dalam pembelajaran di bangku sekolah berbeda dengan konteks yang dialami oleh anak didik. Ia tumbuh dan berkembang di lingkungan agraris dan di bangku sekolah ia mendapatkan pelajaran tentang kelautan, perindustrian dan seterusnya yang tidak sejalan dengan pengalamannya sehari-hari. 

Tidak relevan dan tidak kontekstual. Akhirnya si anak didik tidak paham dan mengerti untuk apa itu semua ia pelajari di sekolah. Hanya untuk menumpuk pengetahuan yang tidak sesuai dengan konteks kehidupannya sehari hari. Menjadi kurang bermakna proses pembelajaran itu.

Ini yang disebut oleh Paulo Freire dengan konsep pendidikan bergaya bank (bangking concept of education). Dimana guru hanya menabung dan menumpuk deposit pengetahuan pada siswanya. 

Sementara siswa sendiri kurang mengerti untuk apa ia belajar itu semua. Atas fenomena ini Paulo Freire menawarkan konsep pendidikan hadap masalah (posing problem education). 

Sederhananya pendidikan hadap masalah merupakan proses pembelajaran tidak hanya berpusat pada guru, tetapi juga melibatkan dialog antara guru dan murid. Guru memberikan ruang bagi siswa untuk berpendapat dan memahami realitas sosial secara kritis. 

Dengan pengetahuan yang mendasar, diharapkan siswa dapat mencari solusi untuk memperbaiki dinamika masyarakat agar lebih berdaya. Memahami realitas sosialnya secara kritis. Pembelajaran yang dilakukan sesuai realitas sosial yang dihadapi anak didik. Kita menyebutnya hari ini dengan pembelajaran kontekstual.

Ilustrasi pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan | Sumber: Dokpri
Ilustrasi pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan | Sumber: Dokpri

Saya dan para pembaca semua mungkin merupakan hasil produk dari pendidikan bergaya bank tadi. Dimana saat kita bersekolah guru mengajarkan pengetahuan pada kita yang rasa-rasanya jauh dengan konteks yang kita alami sehari-hari. Tentu dalam hal ini guru tidak bisa disalahkan. Karena guru mengajar sesuai dengan kurikulum saat itu. Dan mungkin kurikulum saat itu memang mengamanatkan guru harus mengajarkan materi yang demikian adanya.

Nampaknya inilah yang ingin diubah oleh kurikulum merdeka. Dimana guru diberikan keleluasaan. Bukan hanya berperan sebagai pelaksana kurikulum tetapi lebih jauh guru dan sekolah memiliki peranan sebagai pengembang kurikulum. Maka juga dikenal adanya istilah Kurikulum Operasional Satuan Pendidikan (KOSP). 

Kurikulum yang disusun secara operasional dengan memperhatikan potensi dan keunikan serta keberagaman pada masing-masing satuan pendidikan. Diharapkan agar kurikulum yang dikembangkan di sekolah tersebut memiliki nilai operasional yang relevan dengan konteks lingkungan kemasyarakatan dimana satuan pendidikan itu berada.

Tujuan akhirnya tentu agar anak didik mengalami pembelajaran yang bermakna. Tahu, mengerti dan paham serta bisa mengoperasionalkan pengetahuan dan wawasan yang ia dapatkan di sekolah agar bermanfaat untuk keberlangsungan hidupnya sehari-hari. Hal ini juga diperkuat dengan konsep profil pelajar pancasila dalam kurikulum merdeka. Maksud dan tujuannya mengarah ke titik yang sama.

Pembelajaran yang Menyenangkan

Setiap orang pasti menyukai situasi yang menyenangkan. Jika orang berada dalam situasi menyenangkan dan membahagiakan maka akan membawa banyak dampak positif untuk dirinya. Jiwanya bebas, merdeka, tidak tertekan sehingga energi dan semangat dalam berkarya seakan tidak ada habisnya.

Dari asumsi berpikir seperti itulah kemudian dijadikan dalil bahwa untuk mewujudkan pembelajaran yang berhasil mencapai tujuannya mesti didasari pada sebuah situasi menyenangkan. Menyenangkan dalam hal ini tidak hanya berlaku untuk murid saja tetapi berlaku juga untuk sang guru.

Semua insan yang terlibat dalam proses belajar mengajar harus ada dalam suasana kebatinan yang menyenangkan. Maka pembelajaran dalam kurikulum merdeka didorong agar mengakomodasi keberagaman yang ada pada diri anak didik. Anak didik didorong untuk belajar sesuai bakat dan minatnya. Muncul konsep pembelajaran berdiferensiasi sebagai tindak lanjut dari pemikiran itu. Dengan harapan keunikan dan keberagaman yang dikelola dengan pendekatan pembelajaran berdiferensiasi akan menumbuhkan kesenangan dan kenyamanan belajar. Sehingga anak didik berhasil mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.

Tentu apapun itu nama dan istilahnya dalam proses belajar mengajar yang dilakukan guru dan anak didik haruslah didasari pada sebuah semangat dan pemahaman akan arti pentingnya belajar itu sendiri. Karena sejatinya semua orang adalah guru dan sekaligus semua orang adalah murid. Saling belajar satu sama lain. Artinya bahwa di dunia ini sejatinya manusia adalah makhluk yang harus mencintai proses belajar. Sebagaimana filosofi long life education atau konsep belajar sepanjang hayat.

Pembelajaran bermakna dan menyenangkan yang digaungkan dalam kurikulum merdeka dewasa ini sesungguhnya tidak jauh berbeda dengan istilah pembelajaran aktif, kreatif, efektif dan menyenangkan pada era kurikulum 2006 dulu. Yang dikenal dengan pembelajaran PAKEM. 

Lagi dan lagi dibutuhkan kecerdasan dan kreatifitas maksimal dari guru untuk mengejawantahkannya dalam kegiatan pembelajaran. Kurikulum merdeka mengamanatkan guru bukan lagi semata sebagai pelaksana kurikulum. Tetapi lebih jauh kurikulum merdeka mengharuskan guru juga menjadi pengembang kurikulum.

Lalu pertanyaan besarnya adalah siapkah para guru mengemban amanat untuk mewujudkan pembelajaran yang bermakna dan menyenangkan? Atau masih saja terjebak pada proses pendidikan bergaya bank? Jawaban atas pertanyaan ini akan menjadi cerminan ke arah mana dunia pendidikan Indonesia berjalan. Tetap semangat dan menginspirasi para guru Indonesia. Salam blogger persahabatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun