Beliau mengkritisi itu dengan mengatakan bahwa cara yang semacam itu tidak akan dapat membentuk kepribadian seseorang. Kepribadian seseorang tidak dapat dibentuk dengan cara paksaan.Â
Beliau kemudian melahirkan konsep pendidikannya yang kita kenal hari ini dengan konsep pendidikan yang berkebudayaan. Dan kemudian melahirkan semboyan ing ngarso sung tuladha, ing madya mangun karsa dan tutwuri handayani sebagai turunannya. Juga melahirkan konsep pendidikan kontekstual melalui ajaran pendidikan yang sesuai kodrat alam dan kodrat jamannya itu.
Saya terkadang berpikir dan berandai-andai. Jika beliau Ki Hajar Dewantara masih hidup di era digitalisasi seperti hari ini apakah beliau juga akan memilih untuk berjogad-joged dengan lemah gemulainya di depan smartphone bersama anak didiknya? Sebagai perwujudan dari pendidikan yang sesuai kodrat alam dan kodrat jaman? Sebagaimana yang banyak dan masif dilakukan oleh para guru dewasa ini?Â
Atau beliau akan lebih elegan dengan memanfaatkan smartphone dan segala kecanggihan teknologi itu untuk membentuk nalar kritis dan berpikir ilmiah pada para siswanya dengan berbagai macam inovasi pembelajaran?Â
Agaknya kita memang perlu menarik lurus garis demarkasi yang tegas antara narsisme dan absurdisme dalam pembelajaran dan pendidikan kita dengan kontekstualisasi pendidikan itu sendiri. Narsis dan absurd jelas berbeda dengan konsep pendidikan yang kontekstual serta kekinian.
Indonesia adalah negara besar yang terbentang sangat luas dengan beranekaragam budaya dan tingkat kesenjangan yang begitu kentara. Di situ guru hidup dan bergulat dengan situasi dan kondisinya masing-masing.Â
Di perkotaan guru berkembang dalam situasi yang penuh dengan ketercukupan fasilitas sarana dan prasarana guna mendukung keberhasilan praktIk pendidikan itu sendiri.Â
Kontras dengan di daerah perkampungan dan pelosok negeri di mana guru bergulat dengan situasi yang tidak mudah. Dengan sarana prasarana yang serba kekurangan dan serba pas-pasan. Begitulah adanya fakta di lapangan yang terkadang tidak seindah apa yang selama ini terlihat dan tersorot di sosial media.
Sebagai penutup kita kembali lagi pada pembuka tulisan ini bahwa dulu para pendiri bangsa ini, para tokoh guru bangsa ini jelas hidup dalam kesusahan dan serba keterbatasan. Tetapi beliau semua tetap mengasah dirinya dengan beragam ide, gagasan serta nalar kritis untuk bagaimana mana caranya membuat situasi dan kondisi rakyat menuju titik yang mencerahkan. Menjadi pribadi yang cerdas, brilliant dan independen dalam bersikap.Â
Tidak menjadi partisan atau larut dalam kepentingan pihak manapun. Yang diperjuangkan adalah hakikat serta kemurnian tujuan pendidikan itu sendiri, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena di situlah hakikatnya guru meneguhkan peranannya sebagai kaum intelektual bangsa.Â
Para kaum yang akan mengantarkan bangsa ini menjadi bangsa yang cerdas, beradab dan mampu bersaing dengan bangsa lain dalam kancah percaturan global. Tetap semangat para guru Indonesia.Â