Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Pendidikan Itu Menyalakan Pelita Bukan Mengisi Bejana

3 Maret 2024   14:45 Diperbarui: 4 Maret 2024   08:07 622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi guru bagai pelita dalam kegelapan. Sumber: KOMPAS/HERYUNANTO

Kalimat metafora yang diucapkan Socrates beribu-ribu tahun lalu agaknya masih relevan direnungkan hingga masa sekarang. Sengaja kalimat itu saya jadikan judul tulisan ini agar saya dan pembaca semua bersama-sama berpikir, apakah praktek pendidikan yang selama ini dilaksanakan di negeri kita tercinta masuk dalam kategori menyalakan pelita? Ataukah lebih seperti mengisi bejana?

Menyalakan pelita adalah metafora yang dimaksudkan pada membangun kesadaran berpikir menuju sebuah pencerahan. Pencerahan tentang apa dan bagaimana mestinya kehidupan di masa depan itu digapai dengan bahagia. Pendidikan merupakan sarana penuntun bagi proses pencarian manusia untuk mengasah akal, pikiran serta hatinya. Agar menjadi makhluk yang sempurna (insan al kamil).

Yang membedakan manusia dengan makhluk lainnya adalah akal dan pikirannya. Maka dalam tradisi filsafat Aristotelianisme dikenal dengan adanya istilah animal rasionale. Manusia adalah binatang (baca : makhluk) yang berpikir. Tetapi mempunyai pikiran saja tidaklah cukup disebut manusia sempurna. Disebut manusia yang sempurna jika adanya akal pikiran itu diimbangi dengan ketajaman hati nurani dan keluhuran budi pekerti. Di situlah pendidikan meneguhkan peranannya.

Pendidikan Yang Mencerahkan

Kita semua meyakini bahwa pendidikan akan membawa kehidupan manusia pada masa depan yang lebih cerah. Dengan pendidikan yang baik manusia akan mampu mencapai cita-citanya. Meskipun dewasa ini dunia pendidikan kita menghadapi tantangan yang tidak mudah. Tantangan akibat dampak negatif pesatnya arus perkembangan jaman.

Fenomena perundungan yang kembali marak diberitakan menjadi sebuah pertanda bahwa sistem pendidikan kita tengah diuji. Seberapa siap seluruh perangkat pendidikan kita mampu untuk membendung dan mereduksi perilaku-perilaku menyimpang tersebut. Sejauh mana sistem pendidikan kita mampu untuk membawa generasi penerus bangsa ini menjadi generasi bangsa yang unggul dan berdaya saing di era kompetisi global.

Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi agaknya memang mendorong sekuat tenaga agar kurikulum merdeka siap dilaksanakan secara serentak pada tahun pelajaran 2024/2025. Tentu dengan harapan bahwa kurikulum baru ini akan membawa pendidikan kita menuju sebuah titik cerah. Bergerak ke arah yang lebih baik.

Sementara itu pada tahun 2023, berdasarkan data yang dirilis oleh worldtop20.org, peringkat pendidikan Indonesia berada di urutan ke-67 dari total 209 negara di seluruh dunia. Urutan Indonesia tersebut berdampingan dengan Albania yang menempati posisi ke-66 serta Serbia di posisi ke-68. Sedangkan pada tahun 2022 pun Indonesia menempati peringkat pendidikan ke-67. Sehingga, Indonesia memang belum berhasil menduduki 20 teratas dalam peringkat pendidikan. Menurut worldtop20.org, kelemahan pendidikan Indonesia ada pada Teacher Ratio Academic Levels (rasio guru tingkat akademik).

Berdasarkan laporan tersebut tentu belum bisa dikatakan kalau pendidikan kita sudah masuk dalam kategori baik. Banyak hal mesti dibenahi agar setidaknya pendidikan kita bergerak merangkak naik dan bahkan bisa setara dengan negara-negara maju di dunia. Atau minimal bisa bersaing dengan negara tetangga kita Singapura yang memiliki sistem pendidikan terbaik di kawasan Asia Tenggara.

Apakah kurikulum merdeka akan menjadi solusinya? pertanyaan ini menjadi tidak mudah untuk dijawab. Karena tentu membutuhkan kajian yang mendalam tentang efektifitas penerapan kurikulum merdeka dalam mendorong keberhasilan praktek pendidikan kita. Meskipun konon kurikulum ini banyak mengadopsi dari kurikulum negara-negara maju di dunia tapi semua itu tidaklah menjadi jaminan kepastian keberhasilan.

Ilustrasi pendidikan laksana mengisi bejana | Sumber : Dokpri
Ilustrasi pendidikan laksana mengisi bejana | Sumber : Dokpri

Bukan Sekedar Mengisi Bejana Kosong

Kita semua merindukan pendidikan yang mencerahkan. Pendidikan yang bisa menyalakan pelita intelektual generasi penerus bangsa. Apapun kurikulum dan sistem pendidikan yang tengah dijalankan bangsa ini tentu semua akan kembali bermuara pada falsafah kebangsaan itu sendiri. Membentuk manusia Indonesia yang berjiwa Pancasila. Yang berketuhanan, berperikemanusiaan, berjiwa persatuan, serta memiliki semangat keadilan sosial dalam kebhinnekaan.

Anak-anak kita bukanlah ibarat sebuah bejana kosong yang hanya diisi dan dijejali dengan berbagai macam pelajaran yang ada di sekolah. Tetapi lebih dari itu anak-anak adalah subyek pembelajar yang aktif. Yang bahkan bisa belajar dari mana saja. Dari siapapun dan kapanpun. Guru memiliki peranan besar untuk mengarahkan dan memfasilitasi anak didiknya agar menemukan pengetahuan dan pemahamannya akan ilmu.

Itulah sebab dalam kurikulum merdeka dikenal istilah pembelajaran yang berpihak pada murid. Sebuah pendekatan dalam proses pembelajaran yang mengakomodasi kebutuhan, minat, dan kemampuan siswa sebagai fokus utama. Sebuah pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai subjek yang unik dan dinamis.

Kurikulum merdeka memang menitik beratkan pada pengembangan kreatifitas serta pembentukan karakter murid. Dengan konsep pembelajaran berdiferensiasi dan penajaman karakter baik melalui pendekatan projek penguatan profil pelajar pancasilanya kurikulum merdeka diharapkan menjadi kurikulum yang aktual sesuai dengan paradigma pembelajaran abad 21. Sebuah paradigma dalam pembelajaran yang dirancang untuk generasi abad-21 agar mampu mengikuti arus perkembangan zaman.

Bukan pembelajaran yang dilaksanakan ibarat mengisi bejana kosong. Dimana guru sebagai sumber ilmu pengetahuan dan murid sebagai pihak yang menerima pengetahuan itu secara pasif. Pembelajaran abad 21 adalah pembelajaran yang berpusat pada murid. Murid bertindak sebagai subjek aktif dalam pembelajaran.

Lalu tibalah kita pada pertanyaan di awal tulisan ini : Apakah praktek pendidikan kita dewasa ini sudah termasuk kategori menyalakan pelita atau seperti mengisi bejana? Jawaban atas pertanyaan ini ada dalam hati nurani para guru. Karena para guru adalah pelaksana teknis pendidikan di lapangan. Para guru adalah penggerak sistem pendidikan itu sendiri.

Kurikulum merdeka memberikan keleluasaan bagi para guru untuk merancang dan mengembangkan pembelajaran tentu tidak akan efektif jika tidak diimbangi dengan semangat dan kreatifitas dalam berkarya. Kurikulum yang bagus juga harus diimbangi dengan sarana prasarana sekolah yang memadai serta kemampuan SDM guru yang mumpuni.

Namun sayangnya dewasa ini kedua hal tersebut juga masih menjadi PR besar bagi pemerintah kita. Setiap tahun masih saja terdengar isu tentang kesejahteraan para guru. Juga tidak sedikit berita tentang sekolah yang minim sarana prasarana. Khususnya di wilayah-wilayah pelosok tanah air.

Memang untuk menggerakkan kapal besar bernama pendidikan Indonesia ini membutuhkan kerja keras dan komitmen dari semua pihak. Tidak bisa hanya disandarkan pada satu atau dua pihak saja. Pemerintah sudah memulainya dengan agen penggerak perubahan pendidikan itu sendiri yang hari ini kita kenal dengan nama guru penggerak. Tapi para guru penggerak saja tidak akan cukup. Tanpa dukungan dan komitmen dari semua insan pendidikan. Kembali keberhasilan pendidikan adalah soal komitmen bersama antara keluarga, sekolah dan masyarakat. Juga negara ada di dalamnya.

Jangan sampai alih-alih kita menginginkan suatu keadaan pendidikan yang mencerahkan ibarat menyalakan pelita dan bukan mengisi bejana kosong itu hanya menjadi jargon semata. Menjadi kalimat metafor yang indah untuk diucapkan namun sulit untuk diwujudkan karena periuk nasi sang guru di rumah justru masih kosong. Lantaran kesejahteraannya belum tercukupi. Atau sebaliknya kesejahteraan yang sudah tercukupi tetapi guru menjadi pribadi yang enggan untuk mengembangkan diri. Juga maksud hati ingin pendidikan maju tetapi banyak sekolah di pelosok negeri yang sarana dan prasarananya belum tercukupi.

Negara tidak boleh abai dengan berbagai macam isu pendidikan dan harus terus menerus melakukan berbagai upaya kebijakan guna mendorong pendidikan kita ke arah yang lebih baik. Agar pelita-pelita intelektual menyala dengan terangnya di seluruh antero negeri. Menerangi bangsa dan negara dengan cahaya kemajuan dan keberadaban. Tetap sehat dan tetap semangat. Maju terus pendidikan Indonesia. Salam blogger persahabatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun