Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Suka Duka Mengajar Matematika dan Bahasa Jawa di Sekolah Dasar

18 Februari 2024   19:42 Diperbarui: 20 Februari 2024   09:06 1056
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-- Siti Saudah, guru sedang mengajar di SDN Lawinu Tanarara, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. (Dok. Kemendikbudristek via Kompas.com)

Dari dulu sampai sekarang masih banyak orang yang beranggapan bahwa mata pelajaran matematika adalah momok bagi siswa. 

Anggapan ini muncul karena banyak orang menilai bahwa matematika termasuk jenis mata pelajaran yang sulit untuk dikuasai. Karena dalam pelajaran matematika seseorang dituntut untuk memiliki keterampilan logika berhitung yang mapan juga termasuk ketelitian mendalam. Berpikir tingkat tinggi dan kompleks merupakan ciri mata pelajaran ini.

Sebagai seorang guru di tingkat sekolah dasar saya bisa memahami anggapan ini. Di antara banyak mata pelajaran lain yang diajarkan di SD, matematika bagi para siswa kerap dianggap mata pelajaran yang paling sulit untuk dipahami. 

Meskipun anggapan ini juga kembali bergantung pada kemampuan berpikir dan keterampilan berhitung siswa itu sendiri. Bagi sebagian besar siswa memang benar matematika dianggap pelajaran yang sulit. Tapi bagi sebagian yang lain matematika merupakan pelajaran yang menantang.

Selain matematika sebetulnya mata pelajaran bahasa Jawa juga tidak kalah sulit untuk dipahami. Mata pelajaran bahasa Jawa masuk dalam rumpun mata pelajaran muatan lokal di SD. 

Anehnya meskipun seluruh siswa di sekolah berasal dari suku Jawa tidak serta merta kemudian mereka dapat mengerti dan memahami konsep materi dalam pembelajaran Bahasa Jawa di sekolah. 

Banyak dari mereka kesulitan saat memahami kosakata dalam bahasa Jawa. Khususnya ragam bahasa Jawa krama. Lalu sebenarnya apa sebab dua mata pelajaran ini, matematika dan bahasa Jawa menjadi sulit bagi kebanyakan siswa?

Perlunya Pengetahuan Dasar yang Mapan

Dua mata pelajaran yang saya sebutkan di atas memang memerlukan prasyarat pengetahuan dasar agar dapat memahami konsep materi pembelajarannya dengan baik. Bagi siswa kelas 6 SD misalnya ia harus dapat menguasai konsep penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian secara baik. 

Bagaimana menghitung dengan cara bersusun misalnya itu mutlak harus dikuasai oleh siswa di kelas tinggi (kelas 4,5,6) agar dapat mempelajari materi pelajaran matematika yang lebih kompleks. Itu prasyarat awalnya.

Konsep dasar tentang cara berhitung bersusun tentu sudah diajarkan mulai dari kelas 2 SD bahkan di kelas 1. Karena penanaman konsep membaca, menulis, dan berhitung (calistung) adalah diajarkan di kelas rendah SD (kelas 1,2,dan 3). 

Siswa tidak akan bisa mempelajari konsep menghitung luas dan volume bangun ruang di kelas 6 misalnya jika konsep penjumlahan dan perkalian bersusun belum dikuasai. Sehingga keterampilan-keterampilan dasar tersebut mutlak harus dikuasai siswa sebagai prasyarat awal. 

Jika tidak sudah pasti siswa akan merasa kesulitan untuk mempelajari konsep materi pelajaran matematika. Karena dasarnya saja belum bisa dikuasai. Dan ujungnya nilai ulangan jeblok. Akhirnya timbul stigma bahwa matematika merupakan mata pelajaran yang menjadi momok bagi siswa.

Ilustrasi guru mengajar siswa | https://www.sahabatguru.com
Ilustrasi guru mengajar siswa | https://www.sahabatguru.com

Saya kerap menemui beberapa siswa di kelas 6 saat ulangan matematika nilainya jeblok ternyata karena memang siswa tersebut belum cakap dalam menggunakan cara hitung bersusun. 

Sudah memahami dan menguasai konsep dasar perhitungan pun tidak menjadi jaminan siswa berhasil mempelajari matematika dengan baik. Kalau tidak didukung dengan cara penalaran yang baik terhadap soal. Matematika membutuhkan cara berpikir abstrak dengan tingkat ketelitian yang cukup tinggi.

Berbeda lagi dengan mata pelajaran bahasa Jawa. Mata pelajaran yang satu ini memang tidak berhubungan dengan urusan hitung-hitungan. Tidak ada penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian di dalamnya. 

Di wilayah daerah Provinsi Jawa Tengah Bahasa Jawa masuk dalam rumpun mata pelajaran muatan lokal yang diajarkan dari tingkat SD hingga SMA. Dan di SD mata pelajaran ini juga kerap menjadi sulit untuk dipahami para siswa.

Sepengamatan saya kesulitan siswa SD dalam memahami pelajaran bahasa Jawa karena terbatasnya pemahaman kosa kata dalam Bahasa Jawa. Banyak siswa SD sekarang yang kurang memahami kosa kata dalam bahasa Jawa terutama bahasa Jawa halus (Bahasa Jawa Krama). 

Seperti sudah diketahui bersama bahwa dalam penggunaan bahasa Jawa terdapat tingkatan-tingkatan. Seperti Bahasa Jawa Ngoko (kasar) dan Bahasa Jawa Krama (halus). Dengan ragam dialek yang berbeda-beda di setiap wilayah. 

Secara umum memang bahasa Jawa digunakan di wilayah Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Tetapi dengan dialek dan cara pengucapan yang berbeda-beda. Misalnya dialek bahasa Jawa di wilayah pantai utara jawa akan berbeda dengan dialek di wilayah Jawa Timur dan Yogyakarta.

Belum lagi dalam keseharian kebanyakan anak-anak di lingkungan masyarakat menggunakan bahasa Jawa ngoko atau bahkan bahasa Indonesia untuk berkomunikasi. Ini menyebabkan kesulitan tersendiri saat mereka belajar mata pelajaran bahasa Jawa dengan dialek yang berbeda dengan Bahasa Jawa yang mereka gunakan sehari-hari.

Bahkan dulu pernah muncul laporan jika Jawa Tengah masuk dalam zona merah berbahasa Jawa. Karena dalam laporan tersebut dinyatakan bahwa banyak anak-anak di wilayah Jawa Tengah yang gagap berbahasa Jawa. Khususnya bahasa Jawa halus (krama). Mereka lebih familiar dengan bahasa Indonesia dalam kesehariannya.

Ini juga kemudian mengonfirmasi jika mata pelajaran bahasa Jawa juga menjadi mata pelajaran yang sulit bagi para siswa. Karena minimnya pemahaman siswa terhadap kosakata yang ada dalam mata pelajaran tersebut. Banyak kosakata yang dirasa asing bagi mereka. Kesulitan ini berujung pada hasil pembelajaran yang kurang menggembirakan.

Bahkan dalam sebuah rapat sekolah saya pernah berkelakar jangan-jangan siswa menjadi asing dengan bahasa Jawa yang merupakan bahasa daerahnya sendiri salah satu sebabnya karena guru itu sendiri dalam menyajikan mata pelajaran bahasa Jawa ia menggunakan bahasa Indonesia. Wah, repot kalau sudah begitu. 

Karena idealnya guru dan siswa harus menggunakan bahasa Jawa dalam interaksi saat pembelajaran bahasa Jawa berlangsung di sekolah. Guru wajib menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa pengantar saat pelajaran bahasa Jawa berlangsung. Jangan menggunakan bahasa Indonesia.

Kesadaran Bersama dan Ketekunan Adalah Kunci

Lalu bagaimana solusi agar pembelajaran matematika dan bahasa Jawa menjadi lebih mudah bagi siswa? 

Tentu kembali ke akar permasalahan tadi. Jika kesulitan belajar matematika itu berasal dari konsep dasar perhitungan yang belum dikuasai siswa dengan baik maka guru dan orangtua harus mau mengajari dengan tekun tentang konsep dasar tersebut. 

Meskipun menurut saya rasa-rasanya agak terlambat jika misal siswa sudah di kelas 5 atau kelas 6 SD masih belajar tentang konsep dasar penjumlahan, pengurangan, perkalian dan pembagian. 

Karena semestinya konsep dasar berhitung tersebut sudah harus dikuasai siswa saat ia masih duduk di kelas 3 maksimal kelas 4. Tapi seperti kata pepatah: lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali.

Menurut saya orangtua dalam hal ini juga harus punya perhatian dan peranan yang lebih dalam mendampingi proses belajar anaknya. Orangtua bisa mengajari anaknya dengan tekun di rumah terkait kesulitan belajar menghitung. 

Kalau dirasa tidak sempat atau kurang percaya diri dalam mengajari anaknya sendiri bisa menggunakan jasa bimbingan belajar. Ini solusi paling masuk akal.

Bagaimana dengan mata pelajaran bahasa Jawa? 

Ini menjadi masalah tersendiri dan agaknya sudah menjadi perhatian secara nasional. Dengan adanya pagelaran pelestarian bahasa semacam Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) yang rutin diselenggarakan setiap tahun agaknya menjadi pertanda bahwa pemerintah juga mulai concern terhadap upaya pelestarian bahasa daerah. 

Guru dan orangtua perlu mendorong dengan membiasakan penggunaan bahasa Jawa halus (krama) dalam keseharian. Guru dan sekolah bisa menetapkan hari tertentu di sekolah menjadi hari berbahasa Jawa halus (krama) sebagai bentuk upaya menanamkan kembali kebiasaan penggunaan bahasa Jawa halus.

Perkara yang tidak mudah memang. Di tengah gempuran arus disrupsi yang begitu kuat sudah menjadi tugas bersama untuk menjaga budaya dan kearifan lokal agar tidak punah ditelan jaman. 

Perlu usaha-usaha yang lebih keras dan serius dalam mengatasi kesulitan belajar mmatematika dan bahasa Jawa khususnya di tingkat sekolah dasar. Tetapi semua itu harus dimulai dari sekarang. 

Sekecil apapun upaya itu jika dilaksanakan dengan penuh komitmen dan keseriusan yakinlah akan menemui hasil yang baik suatu saat nanti. Selamat berjuang para guru Indonesia. Tetap semangat mendidik generasi penerus bangsa. Salam blogger persahabatan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun