Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Lulus SD tapi Belum Bisa Baca?

30 November 2023   20:30 Diperbarui: 30 November 2023   21:04 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada suatu sore yang cerah bersama teman, saya berkunjung ke rumah salah seorang teman guru. Orang muda baru dua tahun lulus dari universitas dan sekarang bekerja menjadi salah satu tenaga pengajar di sebuah SD negeri. 

Saya kerap kali berkunjung ke rumahnya. Disamping untuk mengusir penat karena rutinitas sehari-hari, juga karena kesamaan profesi dan minat. Agaknya membuat kami cukup ngeklik. Istilah kerennya satu frekuensi.

Selalu ada saja hal menarik saat saya berbincang dengannya. Mulai dari urusan pekerjaan sampai dengan masalah pribadi juga kerap kami diskusikan. Apalagi jika diskusi sudah merembet ke dunia pekerjaan.

Jadilah obrolan kami ini mirip seperti podcast abal-abal. Saya katakan abal-abal karena obrolan kami lakukan secara sersan (serius tapi santai). Ada proses berdialog, berpikir, berargumen dan berdialektika. Namun tentu tidak pernah disiarkan di berbagai sosial media. Namanya saja abal-abal alias asal-asalan. Berbagai masalah kerap kami bicarakan bertiga dengan kritis dan guyon. 

Ada canda tawa di sela keseriusan obrolan kami. Tak jarang juga menertawakan diri sendiri. Pokoknya asyik saja kalau ngobrol dan diskusi bersama mereka.

Pada hari itu teman saya si tuan rumah bercerita bahwa belum lama dia mendapatkan hadiah. Sebuah pemberian dari salah satu walimurid berupa tas. 

Dia bercerita walimurid tersebut merasa senang dan bersyukur lantaran anaknya yang dulu saat kelas 1 sama sekali belum bisa membaca dan menulis, setelah duduk di kelas 2 anaknya mengalami perkembangan baca tulis yang cukup signifikan. Alias sudah bisa membaca dan menulis dengan lancar. Karena begitu bahagianya maka walimurid ini memberikan hadiah kepada sang guru sebagai bentuk rasa terimakasihnya.

Karena penasaran maka saya tanya. Bagaimana cara teman saya ini dalam mengajari siswanya tadi. Sampai yang tadinya sama sekali belum bisa membaca dan menulis setelah naik kelas ke kelas 3 sudah dapat membaca dan menulis dengan lancar. 

Panjang lebar dia ceritakan. Intinya dia melakukan pendampingan dan bimbingan individu secara intensif khususnya dalam hal baca tulis saat jam istirahat. Dia melakukan identifikasi terhadap siswanya di kelas 2 yang belum bisa membaca dan menulis untuk dia berikan treatmen khusus pada saat jam istirahat.

Saya kembali tanya mengapa tidak pada saat jam pulang saja? teman saya menjelaskan jika saat jam pulang para siswa tadi juga ingin ikut pulang bersama teman yang lain. Jadi dia ambil inisiatif menggunakan waktu jam istirahat untuk membimbing beberapa siswanya yang belum lancar membaca dan menulis.

Sambil sesekali makan jajan tidak masalah. Yang penting latihan baca tulisnya tetep jalan. Anak malah merasa lebih enjoy latihan membaca dan menulis sembari sesekali makan jajannya. Begitu ungkapnya pada saya.

Seketika saya berikan acungan jempol disertai gelak tawa sebagai tanda apresiasi kepadanya. Kreatif dan inovatif juga telaten itu kesan dalam hati saya. Di saat rekan guru yang lain beristirahat dia justru dengan tekun membimbing siswanya untuk latihan baca tulis. Salut dan patut mendapat acungan dua jempol. Totalitas dari seorang guru muda.

Anak SMP Belum Bisa Baca

Maka teringatlah saya pada kisah anak-anak SMP di Pangandaran. Banyak sumber dan portal berita online melaporkan terdapat 29 siswa yang belum bisa membaca. Sontak kabar ini menjadi viral dan menggegerkan dunia maya beberapa bulan lalu. Berbagai pihak ikut berkomentar. 

Mulai dari guru sekolah yang bersangkutan, pihak dinas pendidikan terkait sampai praktisi pendidikan mengomentari fenomena tersebut. Dominan berpendapat keterlambatan kemampuan siswa SMP tersebut karena faktor pandemi Covid-19 sehingga kegiatan pembelajaran tidak dapat berlangsung secara efektif, terjadi loss learning, dan seterusnya. Namun apakah benar demikian?

Saya pribadi tidak merasa kaget dan heran. Karena sejatinya fenomena semacam itu sudah ada sejak lama. Tetapi mungkin tidak ter-blow up oleh media. Karena persoalan anak belum bisa baca sebetulnya adalah persoalan klasik.

Di beberapa sekolah dasar tidak jarang ditemui anak sudah menginjak di kelas tinggi (kelas 4, 5 dan 6) belum cakap dan lancar dalam membaca. Pandemi Covid-19 hanyalah trigger yang membuat masalah klasik ini meledak sampai ke permukaan. Memang kemampuan baca tulis sejatinya adalah kemampuan dasar yang harus dikuasai saat anak belajar di tingkat SD sederajad.

Meskipun banyak masyarakat beranggapan jika anak mereka lulus dari TK maka sewajarnya sudah bisa membaca dan menulis. Ini anggapan yang kurang tepat. Karena prinsip dasar anak belajar di taman kanak-kanak adalah bermain sambil belajar dan belajar seraya bermain yang mengutamakan aktivitas bermain sebagai metode pembelajaran yang menyenangkan, mengasyikkan serta mengembangkan aspek fisik serta psikis pada anak. Bukan penekanan pada membaca, menulis dan berhitung (calistung).

Sedangkan usia ideal anak untuk mulai belajar membaca dan menulis adalah pada usia 6-7 tahun. Karena pada usia ini, anak sudah memiliki kesiapan mental dan fisik untuk mempelajari huruf, suku kata, kata, dan kalimat. 

Usia 6-7 tahun adalah usia anak bersekolah di Sekolah Dasar (SD). Sehingga dapat kita simpulkan secara umum bahwa keterampilan anak dalam membaca dan menulis sejatinya mulai dipelajari pada jenjang SD terutama pada kelas bawah (kelas 1, 2 dan 3).

Lalu mengapa bisa terjadi anak sudah lulus SD belum bisa membaca dan menulis? Penyebabnya banyak dan beragam. Mulai dari gangguan yang bersifat bawaan (berasal dari dalam diri anak itu sendiri) atau gangguan yang bersifat eksternal seperti kurangnya stimulasi yaitu keadaan di mana anak tidak mendapatkan kesempatan atau dorongan untuk belajar membaca. 

Hal ini bisa dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti kurangnya buku, media, atau aktivitas yang berkaitan dengan membaca di rumah atau sekolah.

Upaya Yang Bisa Dilakukan

Bagaimanapun juga seperti kata peribahasa "mencegah lebih baik daripada mengobati". Tentu dalam konteks belajar membaca juga menulis sebisa mungkin anak dididik dan dilatih agar bisa menguasai keterampilan baca tulis sesuai dengan tahap perkembangannya. Yaitu pada usia 6-7 tahun. Atau pada usia-usia SD kelas bawah. 

Disini membutuhkan ketekunan dan ketelatenan dari guru kelas bawah untuk dapat membimbing dan mengajari anak dalam mengenal huruf, memahami bunyi huruf dan cara pengucapannya, pengenalan suku kata, sampai pada pengenalan kata dan kalimat. Semua memang harus dilakukan dengan tekun.

Guru dapat melakukannya di tengah jam pelajaran, saat istirahat atau pada saat jam pelajaran selesai dengan memberikan bimbingan khusus pada anak-anak yang teridentifikasi gagap membaca. Juga diperlukan komunikasi, kolaborasi dan kerjasama dengan pihak orangtua agar guru dan orangtua bisa bersama-sama mendampingi anak dalam proses belajar membaca. 

Bukan sesuatu yang mudah karena kemampuan dan kecepatan setiap anak memang berbeda. Tapi tentu hal ini akan lebih baik jika terdapat kerjasama antara guru dan orangtua.

Kalau sekiranya orangtua kurang menguasai metode mengajarkan anak membaca atau menulis maka orangtua dapat memasukkan anaknya pada bimbingan belajar khusus membaca dan menulis. Ini upaya paling rasional dan masuk akal. 

Agar anak mendapatkan pembelajaran tentang cara membaca dan menulis dengan lebih efektif dan intensif di luar sekolah. Ini juga akan mempercepat proses belajarnya. Intinya orangtua tidak boleh acuh terhadap perkembangan belajar anak.

Akan semakin ruwet jika anak sudah semakin besar, naik di kelas tinggi (kelas 5 atau 6) atau bahkan sudah di SMP tapi belum bisa membaca. Biasanya anak akan merasa rendah diri apalagi jika teman-teman sekelasnya sudah lancar membaca semua. Tentunya akan menjadi tekanan mental tersendiri bagi anak. Dan tak jarang anak menjadi malu dan mogok berangkat sekolah atau minta pindah sekolah.

Ujung pangkalnya memang ada pada ketelatenan dan kerja sama antara pihak guru dan orangtua. Seperti pada awal tulisan saya di atas bahwa dibutuhkan usaha yang lebih dari seorang guru untuk membimbing siswanya yang belum lancar membaca dengan menyediakan waktu khusus untuknya. Juga didukung dengan peran serta orangtua di rumah dalam mendampingi anak-anaknya belajar membaca dan menulis.

Mencegah lebih baik daripada mengobati. Agar tidak terjadi lagi anak sudah lulus SD dan masuk SMP tetapi belum bisa membaca. Salam hangat dan salam hormat untuk seluruh guru di seantero nusantara. Tetap semangat dan maju terus demi pendidikan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun