Guru juga dibekali dengan berbagai macam pendekatan untuk menanamkan karakter ataupun meluruskan hal-hal yang bengkok dalam diri muridnya. Misalnya dengan konsep segitiga restitusi yang sekarang tengah digaungkan di era implementasi kurikulum merdeka. Tetapi kembali lagi bahwa murid itu sendiri adalah subjek hidup. Ia bisa belajar dan mencontoh dari siapa saja dan dari mana saja.
Jika menilik pada konsep tripusat pendidikan yang dicetuskan Ki Hajar Dewantara, guru dan sekolah hanyalah menjadi satu bagian kecil dari keseluruhan bagian yang ada. Guru dan sekolah manapun pasti mengajarkan nilai-nilai kebaikan dan budi pekerti luhur dalam pembelajarannya. Tetapi apakah itu semua juga sinergi dengan keluarga dan kondisi sosial masyarakat itu perkara lain. Sekolah memang sejatinya menjadi miniatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Tapi terkadang acapkali apa yang diajarkan di sekolah justru tidak sama dan sebangun dengan apa yang murid-murid temui dalam lingkungan keluarga dan masyarakatnya. Terutama dalam konteks penanaman nilai karakter dan budi pekerti. Ada kontradiksi antara penanaman budi pekerti di sekolah dengan fakta realita di tengah masyarakat.
Ambil contoh, sekolah manapun jelas melarang muridnya untuk merokok karena merokok itu merugikan kesehatan. Faktanya banyak ditemui murid-murid yang sudah gemar merokok sedari kecil. Karena di tengah masyarakat juga rokok dijual dengan bebas. Siapapun boleh membeli asal punya uang. Tidak perduli dia kecil, besar, laki-laki, perempuan, anak sekolah atau orang umum, bebas saja. Yang penting punya duit.
Contoh lain misalnya. Maraknya remaja SMP yang membawa sepeda motor ke sekolah padahal mereka belum cukup umur untuk mengendarai kendaraan bermotor. Bahasa gampangnya belum mempunyai Surat Ijin Mengemudi (SIM). Tapi faktanya banyak remaja SMP sederajat jika berangkat ke sekolah mengendarai sepeda motor. Sekolahnya mungkin tahu dan pasti tahu tapi tidak bisa berbuat apa-apa karena ini sudah membudaya. Apalagi ditambah dengan masyarakatnya yang mengambil keuntungan dengan menyediakan lahan parkir misalnya. Dealer-dealer sepeda motor juga sangat gencar mempromosikan penjualan motor dengan berbagai macam kemudahan-kemudahannya. Masyarakat akhirnya tergiur untuk membeli dan membiarkan anaknya menggunakan sepeda motor meskipun belum cukup umur. Selesai sudah. Yang penting cuan, praktis, simple meskipun mengabaikan norma-norma yang ada.
Apa yang dilakukan Jiraiya dalam konteks cerita di atas sejatinya memang adalah bagian dari tanggung jawab moral seorang guru pada muridnya. Tetapi harap diingat bahwa tanggung jawab untuk mendidik murid ataupun anak-anak bukannya semata tanggung jawab seorang guru saja. Ada tanggung jawab dan peran bersama antar keluarga, sekolah (guru) dan masyarakat. Menilik kembali teori Tabula Rasa milik John Locke bahwa seorang anak diibaratkan seperti kertas putih. Dia akan menjadi merah, kuning, hijau atau berwarna warni karena pengaruh lingkungan-lingkungannya. Maka sudah menjadi tugas dan kewajiban kita bersama untuk bersinergi menciptakan lingkungan yang baik dan kondusif untuk tumbuh kembang anak-anak kita. Akhir dongeng saya teringat kalimat mutiara dari KH. Maimoen Zubair, beliau berkata, "Yang paling hebat bagi seorang guru adalah mendidik, dan rekreasi yang paling indah adalah mengajar. Ketika melihat murid-murid yang menjengkelkan dan melelahkan kadang hati teruji kesabarannya, namun hadirkanlah suatu gambaran bahwa diantara satu dari mereka kelak akan menarik tangan kita menuju surga."
Semoga kita berkahi kesabaran dan keikhlasan di dalam mendidik murid-murid kita yang semakin banyak tantangan dan hambatannya. Tetap sehat dan tetap semangat. Salam hangat untuk semua guru Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H