Mohon tunggu...
Priyasa Hevi Etikawan
Priyasa Hevi Etikawan Mohon Tunggu... Guru - Guru SD || Pecinta Anime Naruto dan One Piece

Penulis buku Asyiknya Menjadi Penulis Pemula (2023) | Antologi 1001 Kisah Guru (2023)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menakar Masalah Mutu Guru Indonesia

4 Oktober 2023   16:16 Diperbarui: 6 Oktober 2023   01:17 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mutu pendidikan guru rendah (Kompas.id/Heryunanto) 

Saya sebagaimana para pembaca semua tentu termasuk kategori orang yang sangat menghargai jasa para guru. Betapapun tidak tanpa bimbingan dan arahan serta ilmu yang disampaikan para guru kita tentu hari ini kita tidak akan menjadi apa-apa. Kita bisa membaca, menulis dan berhitung tentu karena saat kecil dulu kita diajari oleh guru-guru kita. Maka sangat pantas jika guru disebut sebagai pahlawan pencerdas bangsa dan pahlawan insan cendekia.

Terlebih jika dikaitkan berbagai komponen yang ada di dalam dunia pendidikan tentu guru mempunyai peranan yang sangat krusial. 

Sebuah kurikulum yang didesain dengan sangat bagus oleh pemerintah tidak akan dapat dilaksanakan secara optimal jika para guru dan komponen sekolah lainnya tidak dapat mengejawantahkan serta mengimplementasikan dengan tepat. Ya karena ujung tombak dari pelaksana teknis kurikulum itu sendiri adalah guru dan sekolah.

Namun sayangnya dari beberapa riset yang ada ternyata mutu pendidikan di Indonesia agaknya masih jauh panggang dari api. 

Pemerintah telah menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk sektor pendidikan kita juga nyatanya tidak bisa mendongkrak mutu pendidikan di Indonesia. 

Sri Mulyani Menteri Keuangan Republik Indonesia saat di wawancarai dalam acara Mandiri Investmen Forum 2023 mengatakan bahwa anggaran pendidikan Indonesia tahun 2023 mencapai Rp 612,2 triliun dan tercatat dalam pembiayaan paling tinggi sepanjang sejarah.

Ilustrasi Guru dan Murid | Dokpri edited by Canva
Ilustrasi Guru dan Murid | Dokpri edited by Canva

Besarnya anggaran tersebut ternyata tidak sejalan dengan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. Berdasarkan data UNESCO dalam Global Education Monitoring (GEM) Report 2016 dijelaskan bahwa Indonesia menempati urutan ke-10 dari 14 negara berkembang, sedangkan kualitas guru di Indonesia menempati urutan ke 14 dari 14 negara berkembang (Yunus, 2018). 

Hal serupa juga dikemukakan oleh salah satu situs Youth Corps Indonesia yang menjelaskan bahwa Indonesia menempati peringkat 62 dari 72 negara.

Sungguh ironis memang dimana anggaran pendidikan yang digelontorkan begitu besarnya namun kualitas pendidikan yang diharapkan masih jauh dari harapan. 

Menteri keuangan republik Indonesia, Sri Mulyani Indrawati juga dalam rapat Persatuan Guru Republik Indonesia pada bulan Juli 2018 menyatakan bahwa tunjangan guru dalam bentuk dana sertifikasi profesi nyatanya tidak mencerminkan kualitas pendidik. Hal tersebut diperparah dengan hasil Uji Kompetensi Guru (UKG) yang menunjukkan bahwa nilai rata-rata nasional berada pada angka 56,69. Dari 34 provinsi hanya terdapat 10 provinsi yang berhasil mencapai pasing grade, sisanya sekitar 75 % masih di bawah rata-rata (Maulipaksi, 2015).

Penyebab Rendahnya Mutu Guru

Persoalan rendahnya kualitas pendidikan tidak bisa hanya dijawab dengan cara mengubah kurikulum, meningkatkan anggaran pendidikan, atau mengganti menteri dan dirjen pendidikan. 

Kualitas pendidikan di Indonesia hanya bisa dijawab dengan peningkatan kualitas guru. Tanpa perbaikan kualitas guru maka peningkatan mutu pendidikan kita hanya sebatas angan semata. 

Mengutip pendapat Anis Baswedan yang mengatakan bahwa kurikulum berubah, tidak otomatis kualitas pendidikan meningkat. Namun jika kualitas guru meningkat, kualitas pendidikan pasti meningkat. Itu kuncinya dan memang demikian adanya. Guru adalah nyawa dari pendidikan itu sendiri. 

Maka peningkatan mutu dan kualitas guru mestinya menjadi isu utama dan menjadi titik tolak kebijakan perbaikan mutu pendidikan di Indonesia secara umum. 

Hal ini sejalan dengan pendapat Syarif Yunus (2018) yang menyatakan bahwa memang persoalan peningkatan mutu guru di Indonesia bukanlah perkara gampang. 

Syarif Yunus memetakan setidaknya ada empat penyebab rendahnya mutu kompetensi guru di Indonesia :

Pertama, tentang cara pandang guru itu sendiri terhadap profesinya. Banyak guru di Indonesia yang beranggapan bahwa pekerjaan sebagai guru adalah ladang untuk mencari uang semata. 

Banyak guru mengerjakan proyek sampingan atau mengajar di banyak tempat untuk mencari tambahan penghasilan. Hal ini menyebabkan kurang optimalnya perhatian terhadap peningkatan pelayanan dan mutu pembelajaran mereka. Alhasil berpengaruh terhadap hasil pembelajaran yang dicapai siswa. 

Seorang teman dalam sebuah tulisannya mengatakan bahwa banyak orang menjadi guru di jaman sekarang hanya berdasarkan motivasi materi saja. Tidak betul-betul tulus ingin mengabdi dan memajukan pendidikan. Mereka mau menjadi guru karena guru di jaman sekarang gajinya besar dan hidupnya sejahtera. Maka berbondong-bondonglah orang menjadi guru. Setujukah pembaca sekalian dengan pendapat ini?

Kedua, banyaknya di Indonesia guru dengan kualifikasi belum sarjana. Menjadi permasalahan tersendiri karena standar keilmuan yang dimiliki guru belumlah cukup memadai untuk mengajar mata pelajaran yang menjadi ampuannya. Padahal Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen mengamanatkan bahwa guru harus mempunyai kualifikasi ijazah minimal setara sarjana (S1/D4).

Ketiga, banyak guru yang enggan mengikuti program pelatihan peningkatan kompetensi profesi. Keengganan dan kemalasan untuk mengembangkan diri terkait karier keprofesiannya disebabkan karena banyak guru yang lebih suka berada pada zona nyaman. 

Mereka lebih menyukai status quo dan merasa apa yang sudah dimiliki selama ini sudah cukup. Padahal zaman semakin maju dan berkembang. 

Situasi dan kondisi pendidikan juga berubah, maka sudah sewajarnya guru juga harus berubah mengikuti perkembangan jaman dalam melaksanakan tugas keprofesiannya. Mindset merasa cukup dan tidak mau keluar dari zona nyaman ini lah yang menyebabkan kompetensi guru tidak berkembang.

Keempat, rekrutmen guru yang belum efektif. Tengok saja perekrutan guru ASN sekarang ini. Dari sekian gelombang perekrutan guru ASN PPPK berjalan dengan aturan yang selalu berubah-ubah. Belum lagi dengan dalih linearitas dimana seseorang bisa menjadi guru ASN PPPK meskipun basic ijazahnya tidak sesuai dengan formasi yang dilamar. 

Bagaimana mungkin seorang guru dapat dikatakan profesional jika latar belakang pendidikannya tidak sesuai dengan bidang pekerjaannya? Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen pada Bab III Pasal 7 tentang prinsip profesionalitas poin 1 diktum (c) dijelaskan bahwa profesi guru dan profesi dosen merupakan bidang pekerjaan khusus yang dilaksanakan berdasarkan prinsip memiliki kualifikasi akademik dan latar belakang pendidikan sesuai dengan bidang tugas. 

Dan bukankah Undang-Undang ini masih berlaku sampai sekarang? Karena undang-undang Sisdiknas yang digadang-gadang menjadi pengganti undang-undang ini toh masih belum disahkan.

Upaya-Upaya Yang Dilakukan

Dahulu pada saat era filsafat Yunani kuno mengalami puncak kejayaannya di Athena muncul para filsuf beraliran sofis yang dimotori oleh Protagoras dan Georgias (abad ke-5 SM). 

Para kaum sofis ini sejatinya adalah guru pengajar ilmu-ilmu filsafat pada masa itu. Kaum sofis kebanyakan berasal dari luar Athena sehingga di Athena posisi mereka sebagai pendatang. Mereka tidak punya properti, sawah ladang untuk ditanam dan akhirnya mereka mengomersialkan ilmunya untuk mendapatkan penghasilan guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. 

Para kaum sofis ini mengajar para murid dari golongan berduit di Athena. Mereka menetapkan bayaran mahal untuk ilmu yang diajarkan. 

Pada titik ini bisa dimaklumi karena toh para kaum sofis itu tetaplah manusia biasa sama seperti kita yang butuh makan, minum, pakaian tempat tinggal dan sebagainya sebagaimana umumnya manusia hidup. Akan tetapi jika jauh dilanjutkan jiwa materialistis serta kapitalis seperti ini pada akhirnya akan menjadi racun yang menjalar dan mengkontaminasi jiwa serta keluhuran pendidikan itu sendiri.

Materi itu penting tetapi dalam hidup tidak selamanya segala sesuatu itu diukur dengan materi. Apalagi ditarik dalam konteks dunia keguruan dewasa ini. Tidak sedikit guru hidup berkecukupan dengan gaji tetap setiap bulan ditambah tunjangan profesi. Betul dan tidak menutup mata kalau di sisi lain masih banyak rekan guru honorer yang gajinya tidak seberapa. Gaji satu bulan hanya cukup untuk membeli sabun dan shampo. 

Meskipun toh pemerintah akhir-akhir ini juga sedang menggencarkan rekruitmen guru ASN melalui berbagai saluran. Setidaknya ini menjadi upaya nyata untuk mengangkat kesejahteraan rekan-rekan guru honorer.

Cara pandang guru terhadap profesinya haruslah berangkat dari nilai etis filsafat mengajar itu sendiri. Bahwa motivasi tertinggi untuk ikut memajukan dan mewarnai dunia pendidikan sejatinya harus tetap ada dan tertanam di lubuk sanubari terdalam. 

Tidak ada cara lain untuk mengubah mindset cara pandang guru terhadap profesinya sendiri selain dari motivasi internal yang lurus dan luhur. Terdengar klise memang tapi itulah kebenaran yang tetap harus disuarakan.

Peningkatan kualifikasi pendidikan ataupun program-program pelatihan bagi peningkatan kompetensi guru juga dewasa ini semakin marak ada dimana-mana. 

Ambil saja contoh Universitas Terbuka (UT) yang menyelenggarakan perkuliahan jarak jauh untuk meningkatkan kualifikasi guru dalam jabatan. Bisa menjadi salah satu alternatif solusi. Belum lagi terkait pelatihan, bimtek atau diklat sekarang dimana-mana ada. Baik offline maupun online. 

Pemerintah melalui Kemendikbud Ristek juga gencar mengajak para guru untuk meningkatkan kompetensinya melalui Platform Merdeka Mengajar (PMM) yang bisa diakses lewat perangkat smartphone dan laptop masing-masing. Disana terdapat banyak pelatihan yang bisa ikuti guru disela-sela aktifitas mengajar sehari-hari. 

Salah satu cara mengusir rasa malas belajar juga bisa dilakukan dengan terlibat aktif pada komunitas-komunitas belajar yang ada disekitar. Dengan bergabung pada komunitas tersebut setidaknya ada ruang dan tempat serta support system yang mendukung pengembangan diri ke arah kemajuan.

Carut marutnya rekruitmen guru merupakan PR terbesar bagi pemerintah. Pemerintah wajib melaksanakan rekruitmen yang berkeadilan, transparan serta profesional. Hendaknya asas linearitas dikedepankan dengan asumsi bahwa membentuk guru profesional harus diawali dengan kesamaan latar belakang keilmuan dan ijazah dengan bidang tugas yang akan digeluti. 

Ambil contoh di negara Jepang, seorang guru disana harus melakukan uji kompetensi setiap tahun untuk mengukur tingkat kelayakan pedagogik dan profesionalnya. Memang di negara kita masih sulit untuk menerapkan itu tetapi setidaknya dari awal perekrutan sudah betul-betul disaring dengan kualifikasi yang sesuai.

Akhir kata tulisan ini hanyalah celotehan pengisi waktu senggang dari seorang guru SD yang sedang belajar menulis. Didasari atas pemikiran dan perhatian penulis terhadap dunia pendidikan serta harapan semoga ke depan dunia pendidikan kita akan semakin baik dan lebih baik lagi. 

Pendidikan akan maju jika para gurunya juga maju dan bermutu. Itu saja.. Maju terus pendidikan Indonesia....Jayalah guru Indonesia...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun