Ribut masalah suku bunga penjaminan deposito, terkait seruan banyak pihak agar suku bunga kredit bank turun sepertinya hanya terjadi di Indonesia. Polemik seperti ini tidak dijumpai di tempat lain meskipun upaya untuk menurunkan suku bunga kredit bank dan praktik penjaminan deposito banyak dijumpai di negara lain.
Bila demikian bisa jadi ada yang kurang pas di Indonesia dan jangan-jangan apa yang diributkan bukan pokok permasalahan yang sesungguhnya. Artinya, apa yang diperdebatkan di publik justru tidak terfokus kepada hal yang lebih mendasar, yang sebenarnya perlu diatasi agar suku bunga kredit bank bisa lebih rendah dan ekonomi bisa lebih efisien.
Tidak lazim sebenarnya dalam suatu negara ada institusi berbeda yang sama-sama mengumumkan suku bunga, meskipun dimaksudkan untuk alasan dan tujuan yang berbeda karena bisa membuat bingung masyarakat.
Skim penjaminan dana masyarakat di perbankan sesungguhnya merupakan hal yang biasa diterapkan di banyak negara dan semakin menjadi perhatian setelah terjadi krisis global 2008 lalu. Skim ini dimaksudkan untuk menjaga kepercayaan terhadap industri perbankan, dengan menjamin simpanan sebagian besar masyarakat dan merupakan bagian dari upaya menjaga stabilitas sistem keuangan.
Semangatnya, agar bila ada bank yang bangkrut maka dana masyarakat tetap terlindungi. Namun juga jangan sampai membuat masyarakat terbuai sehingga tak ambil pusing dengan kondisi banknya. Untuk menyeimbangkan ini, biasanya ditetapkanlah aturan secara transparan dana masyarakat dengan kriteria seperti apa yang dijamin yang mencakup sebagian besar kalangan masyarakat penyimpan dana di bank.
Di Indonesia, skim ini dijalankan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Lembaga serupa banyak ditemui di berbagai negara,seperti di Amerika, Eropa maupun negara tetangga di Asia. Mereka tergabung dalam sebuah 'komunitas' yang disebut sebagai International Association of Deposit Insurer (www.iadr.org).
Memang tidak ada satu bentuk yang seragam di dunia seperti apa pendekatan dan mekanisme penjaminan dilakukan karena tentunya dipengaruhi oleh sejarah, budaya dan sistem hukum masing-masing negara. Misalnya, hasil studi Bank for International Settlement (BIS) yang bekerja sama dengan IADR yang diterbitkan pada Juni 2009, hanya mencantumkan prinsip-prinsip utama suatu sistem penjaminan deposito yang efektif sesuai dengan filosofi dan semangan penjaminan, yang disebut dengan core principles for effective deposit insurance systems (bisa ditemukan di sini). Di dalamnya mencakup 18 pedoman yang harus diperhatikan.
Meski demikian, sepertinya tidak ada negara yang menerapkan penjaminan simpanan nasabah yang desertai dengan penetapan batas maksimum 'suku bunga' simpanan masyarakat yang dijamin.
Lazimnya, hanya sebatas kriteria seperti apa dana masyarakat yang dijamin dan batas maksimum yang dijamin. Untuk LPS, hal ini bisa ditemukan di dalam informasi 'Simpanan yang dijamin' (bisa ditemukan di sini) yang sejak Oktober 2008 ditetapkan maksimum 2 milyar.
Di Singapore, SDIC, Â yang merupakan LPS-nya misalnya, hanya menetapkan jumlah maksimum yang dijamin adalah 50 ribu Singapore dollar. Di Inggris, FSCS hanya menetapkan batas maksimum yang dijamin sebesar 85 ribu Pound sterling. Sementara di Malaysia, PIDM, batas maksimum simpanan yang dijamin adalah 250 ribu Ringgit.
Tak satupun mereka yang menambahkan kriteria batas maksimum suku bunga yang mereka terima dari bank. Jadi berapapun suku bunga yang mereka peroleh dari bank, sepanjang saldo simpanannya maskimum sejumlah yang ditetapkan akan dijamin oleh Pemerintah.
Skim seperti di berbagai negara tersebut sebenarnya lebih praktis dan simpel dan tidak berpotensi menimbulkan polemik seperti yang terjadi di Indonesia, karena hanya bank sentral satu-satunya instansi yang mengeluarkan kebijakan suku bunga. Harian Bisnis Indonesia mengangkat artikel berjudul 'Andai bunga penjaminan lebih rendah' (Rabu, 25 Januari 2012, halaman 11).
Kalaupun ada pihak-pihak tertentu yang bisa memperoleh tingkat bunga yang sangat tinggi dari bank, maka tetap saja total jumlah yang dijamin adalah maksimum sebesar batas yang telah ditetapkan.
Meski demikian, tentu ada alasannya mengapa dulu LPS harus tidak saja berpatokan pada batas maksimum penjaminan senilai 2 milyar, melainkan merasa perlu menambahkan kriteria suku bunga. Bisa jadi, karena melihat ada kemungkinan 'moral hazard' dari pihak-pihak tertentu yang memiliki cukup kuasa untuk meminta imbalan suku bunga yang tinggi dari bank. Jadi merasa perlu bahwa meskipun jumlah maksimum di bawah angka 2 milyar, namun bila suku bunga yang didapat dari bank lebih tinggi dari yang ditetapkan tidak akan dijamin.
Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kekhawatiran tersebut relevan dan efektif menghindarkan moral hazard?
Apakah misalnya bilapun ada pihak yang bisa meminta suku bunga khusus dari bank dengan dana di bawah 2 milyar, tidak juga bisa mengetahui bila suatu bank akan bangkrut dan dengan demikian akan mentransfer dananya ke bank lain terlebih dulu, atau menariknya secara tunai?
Rasanya, pendekatan tersebut sudah semakin tidak relevan dengan perkembangan saat ini. Apalagi dalam kondisi perbankan dinyatakan sudah semakin kuat dan situasi juga semakin transparan. Dengan demikian, pendekatan dengan menambahkan kriteria batas maksimum suku bunga selain batas maksimum simpanan yang dijamin, bisa dikatakan sudah semakin tidak efektif.
Di sisi lain, konsekuensi dari pendekatan tersebut yaitu potensi distorsi atas adanya pengumuman suku bunga semakin mengemuka.
Selain itu bisa-bisa hal tersebut justru membuat akar persoalan sesungguhnya yang menghambat upaya penurunan suku bunga kredit bank dan seruan untuk mendorong efisiensi bank semakin kabur.
Nah, agar persoalan rumit tadi bisa semakin jelas dilihat dan nantinya diurai setahap demi setahap dari pusat masalah yang sebenarnya, bagaimana kalau suku bunga penjaminan simpanan oleh LPS dihilangkan saja?
Lihat juga: Efisiensi bank, Polemik LPS Rate dan Riwayatnya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H