Mohon tunggu...
Priyanto Nugroho
Priyanto Nugroho Mohon Tunggu... lainnya -

"art is long, life is short, opportunity fleeting, experiment dangerous, judgment difficult"

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Efisiensi Bank, Polemik Suku Bunga LPS dan Riwayatnya

20 Januari 2012   09:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:39 894
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suku bunga penjaminan yang dikeluarkan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS Rate) menjadi 'kambing hitam' ketika tuntutan ke perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit (lending rate) dan marjin keuntungannya meningkat akhir-akhir ini.


Banyak kalangan menilai saatnya perbankan Indonesia semakin efisien, sehingga keuntungan yang diraih, yang masih tergolong paling menggiurkan di dunia, diperoleh dengan keahlian tingkat pengelolaan yang lebih tinggi agar pembiayaan ekonomi juga semakin efisien.


LPS Rate dianggap sebagai salah satu penyebab sulit turunnya suku bunga kredit, baik oleh otoritas (Bank Indonesia) maupun perbankan sendiri. Sementara, LPS sebagai lembaga yang mengeluarkan suku bunga penjaminan bertahan dengan dengan argumennya sendiri.


Sigit Pramono, Ketua Perbanas, misalnya mengatakan bahwa bank tentu akan berlomba menghimpun dana masyarakat mendekati batas LPS Rate ('Dana bank tergantung LPS Rate', Bisnis Indonesia 20 Januari 2012). Pernyataannya sebagai bankir tentunya berlandaskan pada argumen bisnis yang masuk akal dan wajar bagi kepentingan bank.


Namun pernyataanya itu juga mengukuhkan keanehan fenomena bahwa, di tengah sekitar '500 triliun' dana perbankan yang menganggur yang setiap hari ditempatkan di Bank Indonesia, bank masih berlomba berebut dana masyarakat dengan beragam hadiah. Fenomena yang tidak terlihat di tempat lain di dunia.


Pernyataannya juga sebenarnya kurang sejalan bila melihat fakta bahwa dana masyarakat yang memenuhi kriteria dijamin oleh LPS, yaitu dana simpanan dengan jumlah maksimum 2 milyar, 'hanya' mencakup sekitar 59% dari total dana masyarakat di perbankan sebesar 2.685 triliun. (data LPS per November 2011).


Bila melihat bahwa dana sebesar 500 triliun, yang berarti sekitar 19% dari total dana msyarakat yang dihimpun perbankan, ternyata hanya diparkir di Bank Indonesia, semakin aneh bila kenyataanya perbankan masih juga berebut dengan cara yang tidak sehat. Meskipun dengan memiliki sejumlah bantalan dana likuid di Bank Indonesia tersebut bank tentunya akan merasa lebih aman dan nyaman dalam menghadapi risiko yang paling mematikan bagi perbankan, yaitu risiko likuiditas. Modalnyapun akan terlihat lebih kuat karena penempatan di Bank Indonesia risikonya 'nol', tentu dengan tingkat bunga yang juga jauh lebih rendah dari pendapatan bunga kredit yang disalurkan perbankan.


Fakta tersebut ibaratnya, perbankan membayar 'premi asuransi' yang sangat mahal demi rasa aman. Padahal bila perbankan semakin ahli mengelola risiko likuiditas dan tidak enggan berhubungan dengan bank lain di pasar uang antar bank, akan jauh lebih murah 'biaya asuransi likuiditas'nya.


Bisa jadi, karena sangat pragmatisnya perbankan dalam mencari rasa aman tadi yang juga sebenarnya merupakan kunci mengurai sulitnya suku bunga kredit untuk turun. Meski tentunya juga tidak akan instan dan seketika.


Perlu dicatat bahwa dana '500 triliunan' yang menganggur tersebut sebagian tentunya berasal dari dana milik Pemerintah sendiri, Pusat dan Daerah, serta milik beberapa BUMN. Terkait dengan yang terakhir, bahkan Menneg BUMN, Dahlan Iskan juga geram (dan mungkin khawatir) dengan besarnya dana BUMN yang ditempatkan di perbankan. Dia konon diberitakan sedang mengupayakan agar dana-dana tersebut ditempatkan di instrumen jangka panjang sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap upaya Bank Indonesia mendorong penurunan suku bunga kredit. (Detik Finance, 18 Januari 2012).


Bukan tanpa ada referensi sebenarnya untuk mencari terobosan terkait upaya meningkatkan efisiensi perbankan dan kaitannya dengan besarnya dana masyarakat di perbankan yang menumpuk.


Tengok misalnya di Thailand dan Philipina. Di kedua negara tersebut, untuk mencegah perbankannya malas dan menjadi tidak efisien, bank sentralnya bahkan langsung menyerap dana masyarakat dalam bentuk deposito atau instrumen utang (semacam SBI). Di Thailand, Bank of Thailand (BOT) menerbitkan 'BOT Saving Bond' sejak tahun 2007 dengan jangka waktu 4 dan 7 tahun yang bisa dibeli masyarakat. Sementara bank sentral Philipina (Banco Sentral Ng Pihilipina atau BSP) menerbitkan 'Special Deposit Account' atau SDA yang bisa dibeli BUMN. SDA ini pada dasarnya serupa dengan 'term deposit' yang dikeluarkan Bank Indonesia untuk perbankannya.


Bank Indonesia, sebagai otoritas yang sampai beroperasinya OJK nanti masih sebagai pengatur dan pengawas bank, memang terlihat sangat menggebu untuk mendorong perbankan agar menurunkan suku bunga kredit dan marjin keuntungan perbankan, agar pembiayaan perekonomian juga lebih efisien. Meskipun disadari bahwa peran pembiayaan perbankan melalui kredit semakin menurun dengan makin berkembangnya pasar modal.


Semua pendekatan sudah ditempuh Bank Indonesia, mulai dari perbankan diminta bersepakat tidak boleh berperang dengan suku bunga deposito pada Agustus 2009 lalu, kemudian melalui upaya meningkatkan transparasi untuk mendorong kompetisi yang lebih sehat dengan meminta perbankan mempublikasikan suku bunga dasar kredit (SBDK). Termasuk tentunya dengan alat utamanya, yaitu BI Rate, setiap kali tekanan inflasi dinilai tidak menjadi masalah. Kini bahkan BI Rate sudah mencapai level 6%, terendah sepanjang sejarah! Bahkan yang terakhir dengan alat penunjang lainnya ketika batas bawah suku bunga antar bank, Deposit Facility (DF) Rate diturunkan 0,5% menjadi 4% minggu lalu.


Bisa dimengerti bila kemudian terus dicari faktor apa yang membuat suku bunga kredit perbankan tak juga beranjak turun. Terakhir, Darmin Nasution, Gubernur Bank Indonesia, menunjuk LPS Rate yang disinyalir kurang mendukung upaya mendorong penurunan suku bunga kredit.


Potensi kerancuan LPS Rate, yang kini menjadi 'kambing hitam' tentunya bukan tak disadari sejak awal lahirnya.


LPS Rate lahir terkait dengan respon Indonesia dalam menghadapi krisis perbankan tahun 1998, ketika 16 bank harus ditutup. Untuk mencegah semakin hilangnya kepercayaan masyarakat, Pemerintah waktu itu, januari 1999, mengeluarkan kebijakan 'blanket guarantee' untuk menjamin dana masyarakat yang ada di perbankan, termasuk penjaminan atas transaksi antar-bank pada awalnya.


Dalam periode sampai dengan tahun 2005, sebelum terbentuknya LPS yang efektif bekerja sejak 22 September 2005, penjaminan pemerintah tersebut pelaksanaannya dilakukan Bank Indonesia. Pengaturannya ada dalam Surat Keputusan Direksi (SK Dir) Bank Indonesia pada bulan Mei 1998, sebelum akhirnya dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan detailnya ada di dalam Surat Edaran (SE) sejalan dengan berlakunya UU Bank Indonesia yang baru.


Dalam peraturan tersebut, ditetapkanlah suku bunga maksimum penjaminan. Hal yang tidak banyak diterapkan di negara lain, meskipun skim penjaminan merupakan hal yang sangat lazim. Bahkan, negara seperti Singapura, Malaysia dan Hong Kong masih menerapkan blanket guarantee scheme saat krisis 2008 lalu. Lazimnya, suku bunga yang dijamin ditentukan secara diskresi oleh otoritas dengan hanya menyebutkan suku bunga yang 'wajar'. Hal yang justru dinilai tidak lazim, atau sulit diterapkan, di Indonesia karena dinilai tidak pasti dan bisa jadi dianggap tidak 'govern'.


Awalnya, suku bunga penjaminan dana masyarakat ditetapkan berdasarkan marjin tertentu dari suku bunga SBI 3 bulan hasil lelang yang dilakukan Bank Indonesia. Sebagai catatan, acuan ke rate SBI 3 bulan juga digunakan untuk kupon Surat Utang Negara jenis variable rate (VR) sebelum akhirnya menggunakan yield SPN beberapa waktu lalu. Pada saat itu belum ada BI Rate (BI Rate pertama kali digunakan pada bulan Juli 2005).


Penetapan rate penjaminan yang harus dikeluarkan Bank Indonesia, tentunya disadari kemungkinan akan menimbulkan risiko kerancuan sinyal suku bunga di pasar, akan terjadi semacam dualisme. Ini terlihat dari penetapan marjin yang semula di atas rate SBI dan kemudian marjin di bawah rate SBI.


Perubahan marjin ini bisa jadi dilandasi oleh argumen bahwa kalau suku bunga penjaminan ditetapkan di atas rate SBI, akan membuat bank semakin nyaman dengan mengambil spread antara suku bunga deposito dengan suku bunga penempatan dananya di SBI dan semakin malas menyalurkan kredit.


Sejalan dengan digunakannya BI Rate sebagai sinyal kebijakan moneter Bank Indonesia, besarnya marjin suku bunga penjaminan kemudian dijangkar ke BI Rate. Tentunya, sejak awal hal inipun sudah dilematis karena akan 'membingungkan' mengingat seolah ada dua acuan suku bunga bagi perbankan dan masyarakat. Apalagi pengumuman keduanya tidak dalam waktu yang bersamaan. Suku bunga penjaminan biasanya ditetapkan setelah BI Rate dikeluarkan.


Setelah LPS berdiri dan efektif  bekerja pada September 2005, suku bunga penjaminan ditetapkan oleh LPS dan kemudian tidak lagi dalam bentuk marjin tertentu terhadap BI Rate melainkan dalam 'angka' tertentu melalui Siaran Pers. Saat ini misalnya, saat BI Rate berada di 6%, suku bunga penjaminan di 6,5%.


Namun demikian, hal tersebut ternyata tidak juga menyelesaikan masalah. Bagaimanapun dengan pola penetapan suku bunga yang serupa, lazimnya kelipatan 0.25%, suku bunga penjaminan tidak akan bisa dilepaskan dengan BI Rate.


Hal tersebut terbukti dengan polemik menyangkut suku bunga penjaminan yang saat ini tengah terjadi. Tidak lazim memang di sebuah negara, ada dua institusi yang mengeluarkan 'pedoman' suku bunga. Lazimnya, hanya bank sentral yang mengeluarkan kebijakan suku bunga, sekalipun ada program penjaminan.


Bisa jadi hal-hal yang fundamental seperti harus mulai dipikirkan dan dicarikan jalan keluar yang lebih baik sebagai langkah sinergis untuk mendorong perbankan semakin efisien dan pada waktunya untuk menurunkan suku bunga kredit. Tentu tak boleh juga dilupakan untuk melihat apakah struktur Neraca perbankan sudah menunjukkan komposisi yang efisien. Juga bagaimana perkembangan dan peran pasa uang antar bank.


Jelas akan sangat tidak efisien bila masing-masing bank mengandalkan dirinya sendiri dan enggan bertransaksi saling pinjam dengan bank lain, juga seolah tabu memanfaatkan pasar uang meski tidak juga boleh terlalu mengandalkan hidupnya dari pasar uang.


Yang pasti, upaya untuk mencapai efisiensi perbankan dan perekonomian, harus banyak dimensi memang yang dilihat dan disentuh, tentunya tidak boleh juga berharap selesai dalam 'semalam'.


Bukan hal yang mudah untuk itu dan bukan pula tak berisiko, namun tidak juga mustahil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun