Tengok misalnya di Thailand dan Philipina. Di kedua negara tersebut, untuk mencegah perbankannya malas dan menjadi tidak efisien, bank sentralnya bahkan langsung menyerap dana masyarakat dalam bentuk deposito atau instrumen utang (semacam SBI). Di Thailand, Bank of Thailand (BOT) menerbitkan 'BOT Saving Bond' sejak tahun 2007 dengan jangka waktu 4 dan 7 tahun yang bisa dibeli masyarakat. Sementara bank sentral Philipina (Banco Sentral Ng Pihilipina atau BSP) menerbitkan 'Special Deposit Account' atau SDA yang bisa dibeli BUMN. SDA ini pada dasarnya serupa dengan 'term deposit' yang dikeluarkan Bank Indonesia untuk perbankannya.
Bank Indonesia, sebagai otoritas yang sampai beroperasinya OJK nanti masih sebagai pengatur dan pengawas bank, memang terlihat sangat menggebu untuk mendorong perbankan agar menurunkan suku bunga kredit dan marjin keuntungan perbankan, agar pembiayaan perekonomian juga lebih efisien. Meskipun disadari bahwa peran pembiayaan perbankan melalui kredit semakin menurun dengan makin berkembangnya pasar modal.
Semua pendekatan sudah ditempuh Bank Indonesia, mulai dari perbankan diminta bersepakat tidak boleh berperang dengan suku bunga deposito pada Agustus 2009 lalu, kemudian melalui upaya meningkatkan transparasi untuk mendorong kompetisi yang lebih sehat dengan meminta perbankan mempublikasikan suku bunga dasar kredit (SBDK). Termasuk tentunya dengan alat utamanya, yaitu BI Rate, setiap kali tekanan inflasi dinilai tidak menjadi masalah. Kini bahkan BI Rate sudah mencapai level 6%, terendah sepanjang sejarah! Bahkan yang terakhir dengan alat penunjang lainnya ketika batas bawah suku bunga antar bank, Deposit Facility (DF) Rate diturunkan 0,5% menjadi 4% minggu lalu.
Bisa dimengerti bila kemudian terus dicari faktor apa yang membuat suku bunga kredit perbankan tak juga beranjak turun. Terakhir, Darmin Nasution, Gubernur Bank Indonesia, menunjuk LPS Rate yang disinyalir kurang mendukung upaya mendorong penurunan suku bunga kredit.
Potensi kerancuan LPS Rate, yang kini menjadi 'kambing hitam' tentunya bukan tak disadari sejak awal lahirnya.
LPS Rate lahir terkait dengan respon Indonesia dalam menghadapi krisis perbankan tahun 1998, ketika 16 bank harus ditutup. Untuk mencegah semakin hilangnya kepercayaan masyarakat, Pemerintah waktu itu, januari 1999, mengeluarkan kebijakan 'blanket guarantee' untuk menjamin dana masyarakat yang ada di perbankan, termasuk penjaminan atas transaksi antar-bank pada awalnya.
Dalam periode sampai dengan tahun 2005, sebelum terbentuknya LPS yang efektif bekerja sejak 22 September 2005, penjaminan pemerintah tersebut pelaksanaannya dilakukan Bank Indonesia. Pengaturannya ada dalam Surat Keputusan Direksi (SK Dir) Bank Indonesia pada bulan Mei 1998, sebelum akhirnya dituangkan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) dan detailnya ada di dalam Surat Edaran (SE) sejalan dengan berlakunya UU Bank Indonesia yang baru.
Dalam peraturan tersebut, ditetapkanlah suku bunga maksimum penjaminan. Hal yang tidak banyak diterapkan di negara lain, meskipun skim penjaminan merupakan hal yang sangat lazim. Bahkan, negara seperti Singapura, Malaysia dan Hong Kong masih menerapkan blanket guarantee scheme saat krisis 2008 lalu. Lazimnya, suku bunga yang dijamin ditentukan secara diskresi oleh otoritas dengan hanya menyebutkan suku bunga yang 'wajar'. Hal yang justru dinilai tidak lazim, atau sulit diterapkan, di Indonesia karena dinilai tidak pasti dan bisa jadi dianggap tidak 'govern'.
Awalnya, suku bunga penjaminan dana masyarakat ditetapkan berdasarkan marjin tertentu dari suku bunga SBI 3 bulan hasil lelang yang dilakukan Bank Indonesia. Sebagai catatan, acuan ke rate SBI 3 bulan juga digunakan untuk kupon Surat Utang Negara jenis variable rate (VR) sebelum akhirnya menggunakan yield SPN beberapa waktu lalu. Pada saat itu belum ada BI Rate (BI Rate pertama kali digunakan pada bulan Juli 2005).
Penetapan rate penjaminan yang harus dikeluarkan Bank Indonesia, tentunya disadari kemungkinan akan menimbulkan risiko kerancuan sinyal suku bunga di pasar, akan terjadi semacam dualisme. Ini terlihat dari penetapan marjin yang semula di atas rate SBI dan kemudian marjin di bawah rate SBI.
Perubahan marjin ini bisa jadi dilandasi oleh argumen bahwa kalau suku bunga penjaminan ditetapkan di atas rate SBI, akan membuat bank semakin nyaman dengan mengambil spread antara suku bunga deposito dengan suku bunga penempatan dananya di SBI dan semakin malas menyalurkan kredit.