Skandal korupsi di FSS, konon melibatkan sekitar 30 pejabat FSS, termasuk pejabat yang sangat senior. Mereka dituduh menerima suap sebagai 'imbalan' terhadap longgarnya pengawasan atas beberapa bank yang dianggap bermasalah. Termasuk ada pula praktik sebagai 'calo' penyaluran kredit. Sebagian pegawai FSS bahkan banyak yang tergiur menjadi auditor bank, dengan memanfaatkan koneksi teman-temannya di FSS untuk mempengaruhi hasil audit dibanknya agar terlihat tetap 'kinclong'.
Sekedar gambaran, inilah beberapa skandal suap-menyuap yang menimpa FSS. Salah satu pejabat teras FSS, dikabarkan menerima suap sebesar 120 juta Won dari salah satu bank yang bermasalah, yaitu Busan Saving Bank.
Pejabat FSS lainnya, konon meminta imbalan berupa mobil mewah, Hyundai Grandeur senilai 40 juta Won untuk tidak mengungkap praktik perbankan yang tidak sehat di Bohae Savings Bank. Bahkan, pejabat ini, yang istrinya bekerja sebagai di perusahaan asuransi, ikut 'meminta' sekitar 56 karyawan bank tersebut untuk membeli produk asuransi tempat istrinya bekerja.
Kemudian, mantan direktur jenderal FSS dikabarkan meminta suap sekitar 200 juta Won dari Bohae Savings Bank ini. Busan dan Bohae Savings Bank ini termasuk dalam 8 bank bermasalah yang dibekukan otoritas akibat modal banknya yang cekak.
Meski demikian, ada pula pihak yang menyatakan bahwa lemahnya pengawasan FSS terhadap beberapa bank bermasalah, konon juga merupakan 'arahan' staf kantor presiden terkait dengan penyelanggaraan pertemuan G-20 di Seoul November tahun lalu. Bila ini benar, bisa jadi para pejabat FSS memanfaatkan situasi ini dengan 'menekan' banknya. Only God knows.
Merebaknya skandal korupsi yang melibatkan pejabat FSS ini, menyebabkan presiden Korea Selatan, Lim Myung-Bak, marah besar. Bisa dimengerti tentunya, karena korupsi juga menjadi musuh pemerintahannya saat ini. Apalagi sang presiden dinilai lunak terhadap upaya pemberantasan korupsi dan menyebabkan indeks korupsi Korea Selatan tak juga beranjak dari level 39 dalam beberapa tahun terakhir. Terkait penyakit korupsi, industri sepakbola di Korea Selatanpun sudah pula terjangkiti budaya suap-menyuap meski kini mulai pula terungkap dan puluhan pemain dan yang terlibat di beberapa klub sepakbolanya sudah ditahan (the economist, 21 Juli 2011).
Untuk memberantas praktik korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat FSS tadi, sang presiden memerintahkan kantor perdana menteri membentuk tim investigasi independen, beranggotakan 13 orang. Tak satupun melibatkan pejabat FSS dalam tim tersebut. Selain itu, FSS akan direformasi total agar tidak menjadi lembaga 'super power' yang cenderung korup, tanpa pengawasan yang ketat.
Konon, merebaknya skandal korupsi di FSS dan kendala koordinasi kebijakan dalam merespon dampak krisis global 2008 menyebabkan pemerintah Korea Selatan berfikir untuk memperkuat kewenangan dan tanggung jawab bank sentralnya, Bank of Korea, di area pengawasan perbankan dan institusi keuangannya. Kabarnya, draft reformasi pengawasan sistem keuangan di Korea Selatan ini, sedang dibahas di parlemen.
Cukup beralasan memang kemarahan sang presiden terhadap maraknya isu korupsi yang melibatkan beberapa pejabat FSS, yang semakin dinilai tidak berhasil mengemban misi dibentuknya untuk menyehatkan industri perbankan di Korea Selatan. Padahal seperti halnya di Indonesia, ketika krisis 1998 lalu, pemerintah harus 'merekap' perbankan dengan dana cukup besar. Konon mencapai sekitar 11,5 triliun Won (sekitar 10,5 milyar dollar).
Kecenderungan pengawasan sektor keuangan di dunia memang sepertinya berlawanan arah dengan semangat pembentukan OJK saat ini. Konon, kesadaran ini muncul setelah krisis keuangan hebat menerjang tahun 2008 dan bernaung dalam dalih untuk memiliki pengawasan macro prudential. Meski tak seorangpun tahun persis binatang macam apa itu yang disebut dengan macro prudential.
Tengok misalnya yang terjadi di Inggris. Bank sentral Inggris, Bank of England (BOE) justru kembali diberikan kewenangan dan tanggung jawab pengawasan perbankan dan industri keuangan yang lebih luas. Semula hal ini berada di pundak Financial Supervisory Agency (FSA), yang dinilai gagal setelah, antara lain, mencuatnya kasus Northern Rock. Hal serupa terjadi di Amerika Serikat yang bank sentralnya, Federal Reserve, diberikan kewenangan yang lebih luas pasca tsunami pasar finansial menerjang di tahun 2008. Meski bukan berarti tendensi ini bisa begitu saja dicontoh dan ditiru.