Mohon tunggu...
Priyanto Nugroho
Priyanto Nugroho Mohon Tunggu... lainnya -

"art is long, life is short, opportunity fleeting, experiment dangerous, judgment difficult"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Brazil di Mata Budiman Sudjatmiko

12 Juni 2011   13:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:35 1036
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam tulisannya di Kompas edisi Sabtu, 11 Juni 2011 berjudul ‘Sosialisme ala Lula’, Budiman Sudjatmiko menyoroti keberhasilan kepemimpinan presiden Brazil berhaluan sosialis, Luiz Inácio Lula da Silva. Presiden Lula, demikian tokoh ini popular dipanggil, memang dinilai sebagai tokoh yang berhasil dalam meningkatkan perekonomian negaranya selama 2 periode kepemimpinannya. Majalah Newsweek bahkan menyebutnya sebagai politisi paling terkenal di Bumi, the most popular politician on Earth, (Newsweek, 22 September 2009).

[caption id="attachment_113635" align="aligncenter" width="300" caption="Brazil - Rio De Janeiro (Priyanto B. Nugroho)"][/caption]

Meski demikian, artikel Budiman Sudjatmiko tadi terasa kurang lengkap karena tidak menyorot pula besarnya ‘ongkos’ kebijakan yang harus ditanggung Brazil untuk mewujudkan pencapaiannya saat ini. Keutuhan ini penting agar acuan keberhasilan presiden Lula menjadi semakin utuh, termasuk tentunya ‘keberaniannya’ sebagai pemimpin dalam memilih prioritas progam dan mengeksekusinya.

Dengan ‘jabatan’ Budiman Sudjatmiko saat ini sebagai anggota DPR dan terlebih saat ini Komisi XI DPR sedang mulai membahas APBN 2012, pandangan yang menyeluruh atas referensi pilihan kebijakan ekonomi jelas akan sangat membantu dalam mengkritisi politik anggaran yang diajukan pemerintah. Dengan melihat secara utuh, akan lebih realistis dalam menggambarkan pilihan-pilihan aliran pembanguan ekonomi dan biaya serta konsekuensinya.

Kita tahu, Brazil bersama dengan 4 sekawan lainnya yang tergabung dalam Brics (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) memang menjadi simbol kekuatan ekonomi baru dunia, juga dalam konteks percaturan geopolitik. Juga ketika gerakan berbau sosialis semakin mengemuka, setelah sistem kapitalis liberal terbukti runtuh saat krisis 2008 lalu.

Betapa pentingnya Brazil Ini misalnya, terlihat dari kandidat managing director IMF terkuat saat ini, Christine Lagarde dari Perancis, yang menjadikan Brazil sebagai negara pertama yang dikunjunginya untuk memperoleh dukungan dari kelompok negara berkembang. Di sisi lain, Brazil tidak menunjukkan dukungan secara terbuka terhadap satu-satunya kandidat dari negara berkembang, yang juga adalah tetangganya, yaitu Agustin Carsten, gubernur bank sentral Mexico. Strategi Brazil dalam kancah geopolitik seperti ini memang sangat menarik dan menunjukkan bagaimana Brazil ingin menjaga ‘peran pentingnya’ dalam percaturan ekonomi dan politik dunia.

Maka tepat sekali bila Politisi muda Indonesia yang menjanjikan ini, yang namanya mencuat sejak kericuhan di markas PDIP 27 Juli 1996 yang melibatkan organisasinya waktu itu, Partai Rakyat Demokratik (PRD) dan kini ‘berbalik’ bergabung dengan PDIP, menjadikan Brazil sebagai salah satu contoh keberhasilan. Apalagi, kini presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) juga sedang dalam masa pemerintahannya yang kedua.

Sayangnya, dalam tulisannya di Kompas, Budiman tidak secara eksplisit membandingkan hasil nyata kemajuan yang dicapai antara Lula dan SBY yang sama-sama memiliki dua periode kepemimpinan. Sebenarnya hal ini akan semakin relevan mengingat saat ini, tuntutan bukti konkrit atas keberhasilan program-program pemerintaha SBY semakin menguat.

Bukan itu saja, Indonesia juga akhir-akhir ini seringkali dibandingkan dengan Brazil dari sisi kekuatan ekonominya. Beberapa analis ekonomi dunia beberapa kali menyebutkan Indonesia akan segera layak mengisi huruf ‘I’ yang lain dalam Brics, menjadi Briics misalnya. Bahkan, seorang analis ekonomi Deutsche Bank yang bermarkas di Singapura, Taimur Baig, baru-baru ini mengeluarkan analisis berjudul ‘Is Indonesia the next Brazil?’ (CNBC, 24 Mei 2011).

Analis Deutsche Bank tersebut mencoba membandingkan perekonomian Indonesia dengan perekonomian Brazil sepuluh tahun yang lalu. Tentu dari kacamata kepentingan investor.

Brazil dan Indonesia, bersama dengan beberapa negara berkembang memang sedang menjadi sasaran pemburu rente sedunia untuk meraup keuntungan setelah perekonomian negara maju luluh lantak sejak krisis global 2008 yang lalu. Menurutnya, Indonesia berpotensi akan mencapai tingkat perekonomian seperti Brazil saat ini, dalam dekade mendatang. Tentu dengan sejumlah ‘PR’ yang kita semua sudah hafal, utamaya ‘institutional building’, atau reformasi birokrasi. dan tentunya kepastian hukum. Dikatakannya, Indonesia saat ini mirip dengan situasi Brazil 10 tahun yang lalu.

Saya ingin menyorot dua aspek yang dijadikan contoh keberhasilan program pembangunan presiden Lula oleh Budiman Sudjatmiko.

Pertama, terkait dengan perbankan Brazil dan upaya presiden Lula untuk mematahkan mitos ‘neoliberal’ bahwa pemerintah harus mengutamakan ekspor.

Untuk melawan mitos tadi, yaitu mengurangi ketergantungan pada kekuatan ekspor semata, presiden Lula memerintahkan perbankannya untuk mendorong kegiatan ekonomi domestik dengan memberikan kredit murah kepada sektor pertanian. Konon bunganya hanya 3% per tahun.

Selain itu, bank-bank milik negara juga diperintahkan untuk memberikan kredit kepada para petani dengan suku bunga ‘negatif’! (paragraph 6).

Sangat sulit saya membayangkan bahwa kebijakan ini bisa berjalan. Apalagi suku bunga Brazil termasuk yang tertinggi di dunia saat ini. Jauh lebih tinggi dari suku bunga di Indonesia, dengan tingkat inflasi yang saat ini hampir sama, sekitar 6% (inflasi di Brazil per Mei 2011 sekitar 6,5%, sementara Indonesia 5,98%). Berapa suku bunganya?

Suku bunga yang ditetapkan bank sentral Brazil saat ini (disebut Selic Rate, semacam BI Rate di Indonesia) adalah 12,25%! Bayangkan, ada selisih lebih dari 6 % terhadap tingkat inflasinya untuk sebuah negara yang sudah tergolong ‘investment grade’ dan sedang berupaya menahan pula penguatan mata uangnya akibat aliran hot money. Bandingkan dengan BI Rate yang saat ini ‘hanya’ 6,75%. Padahal Indonesia belum secara ‘de jure’ masuk dalam kategori ‘investment grade’.

Kebijakan suku bunga Brazil ini, yang merupakan cerminan komitmen Brazil yang menjadikan inflasi sebagai musuh utama bangsa, tentunya tak ringan ongkosnya.

Bayangkan apa yang terjadi di bank sentralnya, yang meskipun juga memiliki status independen dalam menjalankan kebijakan moneternya, namun struktur politiknya menjadikan bank sentral Brazil sebagai anggota dari ‘dewan moneter’. Setiap dollar yang dibeli untuk intervensi menahan penguayan nilai tukar Brazilian Real agar tidak terlalu menguat, akan mengalami kerugian (negatif spread) sebesar lebih dari 10%. Dollar yang dibeli sebagai hasil intevensi ini sering disebut sebagai cadangan devisa dan oleh bank sentralnya sebagian besar ditanamkan dalam surat utang pemerintah AS (US Treasury).

Cadangan devisa Brazil saat ini sekitar 328 milyar US Dollar, sementara Indonesia sedikit di bawah 120 milyar. Bisa dibayangkan besarnya ‘kerugian’ yang harus dialami bank sentral Brazil sebagai ongkos kebijakannya. Tak heran, setiap tahun bank sentral Brazil mencatat kerugian secara akuntansi yang cukup besar. Dan di sana, kerugian seperti ini langsung menjadi beban Negara.

Nah, kembali ke kebijakan terhadap perbankannya tadi. Dengan suku bunga domestiknya sebesar 12.25%, sementara bank diminta menyalurkan kredit ke sektor pertanian dengan bunga 3% dan bahkan ‘negatif’ kepada para petani, sulit membayangkan bagaimana perbankannya bisa bertahan. Apalagi ini juga tanpa risiko bagi pemerintah Brazil karena di neraca bank komersialnya, ada sekitar 50% asetnya berupa surat utang negara (SUN kalau di sini).

Konon, memang referensi untuk melihat struktur dan karakter neraca perbankan yang ‘pas’ untuk Indonesia adalah perbankan Brazil. Di perbankan Indonesia, khususnya bank-bank yang dulu di rekap, jumlah SUN dan juga penempatan kelebihan dana di Bank Indonesia mencapai sekitar 30%.

Namun bisa jadi, perbankan Brazil ini hanya ‘menyalurkan’ dana pemerintah sehingga tetap mendapatkan ‘fee’, meski kecil, atas penyaluran kredit ke sektor pertanian dengan bunga 3% tersebut. Jelas, ongkos kebijakan ini besar bagi negara bila demikian. Meski memang keberpihakannya jelas. Paling tidak, manfaat dinikmati oleh industri pertanian dan para petani, bukan oleh para bankirnya. Tak banyak memang negara yang berani tegas dan keras, mengatur perbankannya seperti di Brazil.

Pertanyaannya tinggal apakah kebijakan ini bisa akan terus bertahan?

Brazil memang seringkali dinilai mengambil kebijakan yang ‘ekstrim’ dan pertanyaan serupa banyak ditujukan ke Brazil saat ini. Termasuk dalam bagaimana Brazil mengendalikan hot money yang mengalir deras masuk ke negaranya. Yang pasti, negara ‘sesosialis’ seperti Brazilpun tak menerapkan ‘capital control’ atau melarang modal asing!

Satu lagi, utang Pemerintah Brazil saat ini juga lebih tinggi dari Indonesia yang saat ini sekitar 30% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sementara itu defisit anggaran Pemerintah Brazil mencapai 1,9% dari PDB, sedangkan Indonesia masih lebih rendah.

Sementara itu, neraca perdagangan Brazil mengalami defisit beberapa tahun terakhir, sehingga sering dikatakan sebagai mengalami double deficit. Hal yang olehbanyak pihak dinilai sebagai penjelasan atas kenapa suku bunga domestik Brazil harus sedemikian tingginya, 2 kali lipat dari suku bunga di Indonesia. Tingginya suku bunga Brazil jelas mencerminkan ‘trade-off’ yang sangat mahal antara memerangi inflasi dengan mencegah derasnya aliran modal asing yang masuk.

Kedua, program bantuan langsung tunai ke rakyat miskin sebagai bagian dari Program Bolsa Familia. Program ini mengingatkan kita pada program Bantuan Langsung Tunai (BLT), yang oleh petinggi partai dimana Budiman Sudjatmiko saat ini bergabung, sebagai ‘mendidik jiwa pengemis’ meski belakangan pernyataan tadi dikoreksi.

Bedanya dengan BLT, penyaluran dana tunai ke masyarakat ini di Brazil dilakukan dengan memberikan kartu ATM kepada masyarakat miskin. Dengan demikian, mudah pengawasannya dan terhindar dari kemungkinan penyalahgunaan oleh aparat,, termasuk untuk kepentingan propaganda politik. Sementara di Indonesia, penyaluran dilakukan melalui perangkat pemerintahan di daerah-daerah.

Apapun, Brazil memang layak dijadikan acuan, meskipun tak mudah membaca seluruh rangkaian program atau kebijakan ekonomi makronya. Ibaratnya, merupakan sebuah ‘puzzle’ yang rumit yang tidak akan akurat sebagai acuan bila tak melihatnya secara utuh. Yang pasti, keberanian pemimpinnya dalam mengambil pilihan kebijakan dan mengeksekusinya patut ditiru. Tentu ini juga tak lepas dari tingkat kematangan pemimpin bangsa dan para politisinya.

Bovespa, bursa saham Brazil, yang disebut pula oleh Budiman Sudjatmiko sebagai contoh kemajuan pasar keuangan dan menjadi bursa saham penting di Amerika Latin (dan dunia), kemajuannya tak lepas dari langkah privatisasi yang ditempuh pemerintahan sebelum masa presiden Lula. langkah yang sebenarnya tidak disukai oleh presiden Lula. Di sini, kedewasaan berpolitik presiden Lula terlihat dari pernyataannya, yang menyatakan: ‘I think privatization was a mistake, but I had to work to do. I couldn't afford to spend my mandate fighting with the old government’.

Lula juga tidak kecanduan dengan kekuasaan, sehingga tidak tergoda untuk mengamandemend UU sekedar untuk menduduki tahta ketiga kalinya. Hal yang semula banyak diragukan. Lula terlihat benar menyadari bahwa dibalik setiap kekuasaan dan kewenangan adalah tanggung jawab.

Satu hal yang memang layak menjadi panutan dari kepemimpinan presiden Lula ada jiwa besarnya untuk melihat ke depan, tidak terbelenggu dengan masa lalu. Juga, bukti kepemimpinannya secara nyata.

Berangkat dari Brazil dan pola kepemimpinan negara-negara di Amerika Latin yang cenderung berjiwa sosialis, atau model ekonomi state capitalism yang terus menguat dewasa ini, bukan tak mungkin bahwa dalam pemilu 2014 nanti, kandidat yang memiliki karaker berani dan tegas serta faham ekonomi yang ‘berbau’ sosialis akan memiliki peluang yang besar untuk memang.

Namun yang lebih penting dari semua itu adalah bahwa kemajuan pembangungan suatu bangsa yang nyata, akan lebih ditentukan oleh kematangan para pemimpin dan para politisinya. Kemana mereka berpihak dalam arti yang sebenarnya.

Ars Longa Vita Brevis ...

(sumber: Kompas, Newsweek, CNBC, Bloomberg)

Artikel terkait:

Sucre, pengganti US Dollar ala Amerika Latin

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun