Mohon tunggu...
Priyanto Nugroho
Priyanto Nugroho Mohon Tunggu... lainnya -

"art is long, life is short, opportunity fleeting, experiment dangerous, judgment difficult"

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kuba Beranjak Menuju Kapitalis?

15 September 2010   05:58 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:14 2116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kuba bisa jadi merupakan contoh terakhir negara dengan sistem ekonomi sosialis. Sebuah negara komunis yang kendali Pemerintah mencengkeram sangat kuat. Sayangnya, lagi-lagi bukan merupakan contoh yang dinilai sukses dalam membangun negeri dan menyejahterakan rakyatnya.

Tidak banyak yang diketahui mengenai Kuba, karena memang merupakan negara yang sangat tertutup. Padahal, konon negeri Kuba sangat eksotik, dengan bangunan tua yang kokoh dan masih apik. Pengaruh dunia luar dan modernisasi masih sangat minim. Salah satu yang kesohor dii dunia dari Kuba adalah cerutu (cigar). Cerutu Kuba konon memiliki kualitas terbaik di dunia. Merk cerutu seperti ‘Cohiba’ atau ‘Romeo y Julieta’ merupakan idaman. Lintingan tembako ‘hand made’ dari Kuba sebesar jempol orang dewasa, yang kalau diisap membuat bibir harus monyong ini memang memiliki aroma yang luar biasa. [caption id="attachment_258294" align="aligncenter" width="300" caption="Cerutu Kuba : www.cigarclubnews.com"][/caption] Selain itu, Kuba juga dikenal memiliki resort lengkap dengan hotel bintang lima yang indah. Banyak selebritu dunia yang menjadikan Kuba dengan Havana sebagai ibu kotanya sebagai tempat berlibur. Penulis terkenal dunia, Ernest Hemingway bahkan pernah tinggal selama beberapa tahun di Kuba hingga tahun 1960-an saat pecah perang revolusi di bawah pimpinan Fidel Castro di sana. Di luar itu, tak banyak yang diketahui dunia luar.

Lebih dari setengah abad, Kuba berada di bawah kepemimpinan sang legenda, Fidel Castro. Baru sejak empat tahun terakhir kepemimpinan beralih ke adiknya, Raul Castro. Peralihan kepemimpinan ke adiknya, yang diawali dengan rumor menurunnya secara drastis kesehatan Fidel Ramos beberapa tahun lalu, memberikan harapan akan perubahan bagi sekitar 12 juta masyarakat Kuba, yang sekitar 5 juta diantaranya merupakan tenaga kerja. Juga, harapan akan dicabutnya embargo ekonomi dari Amerika Serikat (AS) yang sudah berlangsung sekitar setengah abad lamanya. [caption id="attachment_258296" align="aligncenter" width="300" caption="Cuba daily life by Meyson-Kapuero deviantart.com"][/caption] Embargo ekonomi AS memang cukup terasa bagi perekonomian Kuba. Pertumbuhan ekonominya bisa dikatakan stagnan, sekitar 1,4% per tahun. Sementara tingkat kenaikan harga-harga barang dan jasa (inflasi) masih sedikit lebih tinggi, yaitu sekitar 1,5% setahun.

Perbincangan mengenai perubahan sistem ekonomi di Kuba semakin mencuat belakangan ini. Setelah presiden Raul Castro menyampaikan perlunya perubahan mendasar di Kuba untuk memajukan ekonomi Kuba yang masih terpuruk dan makin merebaknya ekonomi bawah tanah serta pasar gelap. Di hadapan pimpinan nasional (National Assembly), sang presiden menyatakan bahwa negara harus mencabut sebagian subsidi ke masyarakat dan mulai memberikan peran pihak swasta. Swasta akan diberikan kesempatan untuk menguasai dan mendayagunakan tanah yang selama ini sepenuhnya dikuasai pemerintah. Sektor pertanian juga akan mulai diliberalisasi secara bertahap.

Kuatnya niat untuk berubah tercermin dari pernyataan presiden Raul Castro di hadapan National Assembly, yang antara lain menyatakan: ‘We have to erase forever the notion that Kuba is the only country where one can live without working ’.

Sebagai langkah awal, jumlah pegawai negeri akan dirampingkan. Dalam waktu dekat akan ada pengurangan jumlah pegawai negeri hingga 500 ribu orang. Suatu jumlah yang cukup besar untuk ukuran Kuba. Bila ini tanpa diikuti dengan kecepatan sektor swasta menyediakan lapangan kerja, jelas akan merupakan masalah sosial yang cukup signifikan meski kontrol pemerintah masih sangat kuat terutama di bidang keamanan negara. Saat ini sekitar 80% tenaga kerja berada di sektor pemerintah, sementara baru sekitar 20% berada di sektor swasta yang memang masih sangat terbatas.

Niat presiden Raul ini juga didukung oleh sang kakak, Fidel Castro. Dalam sebuah wawancara dengan jurnalis barat dari ‘the Atlantic magazine’ yang langka dilakukan beberapa waktu lalu, dia juga menyatakan perlunya Kuba melakukan perubahan sistem ekonominya. Meski demikian, dia membantah bahwa sistem ekonomi sosialis ala Kuba telah gagal dan akan beralih ke sistem kapitalis ala Amerika Serikat.

Dia menyatakan jurnalis barat tersebut salah mengerti apa yang dia maksudkan. Dia bersikeras menyatakan bahwa sistem ekonomi kapitalis sudah terbukti gagal, baik di Amerika Serikat maupun negara lain di dunia, dengan adanya krisis ekonomi yang terus berlangsung. Spirit sosialis menurutnya masih relevan.

Menurutnya, yang pasti bukan sistem kapitalis yang akan dianut Kuba, juga bukan sistem ekonomi sosialis yang semuanya serba terpusat ke negara seperti sistem yang dianut saat ini. Yang diperlukan adalah sistem sosialis baru dimana negara bukan lagi sebagai pelaku utama ekonomi, melainkan lebih sebagai pengatur. Bentuknya konkritnya seperti apa memang belum jelas benar.

Banyak pihak masih meragukan bahwa perubahan signifikan akan terjadi di Kuba. Juga bagaimana pola perubahan yang akan terjadi. Yang pasti, barangkali apapun perubahan yang akan dilakukan, semestinya akan bertahap dan bisa jadi akan sangat lambat.

Akankah Kuba mengikuti pola negara komunis besar seperti China? Atau lebih radikal seperti di Rusia? Sejauh ini masih menjadi misteri.

Yang pasti, semakin terbukti bahwa terpaan angin perubahan memang sedang melanda seluruh dunia. Juga upaya pencarian sistem ekonomi suatu negara. Tak terkecuali bagi negara yang tergolong sangat tertutup seperti Kuba. (The New York Time, AFP, The Detroit News, the Wall Street Journal, Wikipedia,www.newsstateman.com, www.guardian.co.uk)

Lihat juga:

Konsensus Jakarta: bukan ala Washington, bukan pula Beijing?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun