Mohon tunggu...
Priyanto Nugroho
Priyanto Nugroho Mohon Tunggu... lainnya -

"art is long, life is short, opportunity fleeting, experiment dangerous, judgment difficult"

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Misteri Angka ‘Sembilan’ dan Menguatnya Dominasi China

15 Februari 2010   12:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   17:55 1016
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_74987" align="alignleft" width="300" caption="Photo oleh Priyanto B. Nugroho"][/caption] Peran China, kini semakin penting dan menentukan bagi perekonomian dunia. Bahkan dalam beberapa dekade ke depan, China diperkirakan akan menggantikan peran Amerika Serikat (AS) yang selama ini mendominasi dunia. Tanda-tanda kedigdayaan China mulai semakin terlihat nyata. Misalnya, di saat negara-negara maju mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif setelah dihantam krisis terbesar pasca perang dunia II, dan saat ini masih tertatih-tatih dalam proses pemulihan ekonominya, China masih membukukan pertumbuhan sebesar 8,5% di tahun 2009, di atas perkiraan banyak pengamat sebelumnya. Bersama India yang tumbuh 5,6% dan Indonesia 4,5%, ketiga negara ini mencatatkan diri sebagai sedikit negara yang masih mampu bertahan dari hantaman badai krisis. Ketiga negara tersebut mampu tumbuh positif karena ditopang oleh jumlah penduduknya yang besar.

China juga saat ini merupakan negara yang bisa dikatakan paling ditakuti negara Paman Sam, karena merupakan kreditur (pemberi pinjaman) terbesar pemerintah AS. China tercatat sebagai pemegang cadangan devisa terbesar di dunia, yang sebagian besar merupakan surat utang yang dikeluarkan AS untuk membiayai defisit anggaran negaranya, yang semakin membengkak saat ini. Cadangan devisa China saat ini sekitar 2,4 triliun US Dollar, bandingkan dengan cadangan devisa Indonesia yang hanya sekitar 60 miliar US Dollar. Namun terhadap besarnya cadangan devisa ini, pemerintah China juga sebenarnya ‘terjebak’ dalam dilema besar juga. Apabila nilai tukar US Dollar melemah, yang sudah hampir pasti di jangka panjang karena membengkaknya defisit pemerintah AS, maka China akan mengalami kerugian luar biasa. Di sisi lain, hal tersebut juga menjadi kunci bagi pemerintah China untuk menekan pemerintah AS karena penjualan surat utang pemerintah AS untuk membiayai defisit banyak tergantung dari pemerintah China. Hal ini misalnya terlihat dalam beberapa waktu terakhir, China bersama dengan beberapa negara lain, termasuk Rusia mendesak agar ada mata uang global pengganti US Dollar di masa depan.

Mata uang China sendiri, Renmimbi (RMB), melalui suatu perencanaan panjang yang konsisten khas China, mulai meluas penggunaannya di dunia internasional meski dalam prakteknya masih relatif terbatas. Hal ini terlihat dari mulai dilakukannya perjanjian swap mata uang RMB dengan berbagai mata uang negara lain sejak September 2008. Saat ini, perjanjian swap pemerintah/bank sentral China dengan pemerintah/bank sentral negara lain mencapai sekitar 100 miliar US Dollar, diantaranya dengan Bank Indonesia sekitar 15 miliar US Dollar (100 milyar RMB/175 triliun Rupiah).

Di negara-negara Asean, khususnya Indonesia, China juga semakin menjadi pembicaraan menjelang implementasi lebih luas Asean-China Free Trade Arrangement (ACFTA), perjanjian penurunan tarif atas perdagangan komoditas antar negara hingga ‘nol’ persen, yang sebenarnya sudah sejak November 2002 disepakati dan mulai diterapkan secara bertahap sejak awal 2004. Kekhawatiran utamanya menyangkut ketakutan bahwa industri domestik tak akan mampu bersaing dengan produk-produk China sehingga menambah jumlah pengangguran. Meski di sisi lain ada pula peluang untuk meningkatkan kinerja ekspor Indonesia, khususnya yang berbasis sumber daya alam (SDA) dan perluasan pasar industri UMKM. Lambatnya kesiapan untuk bersaing tersebut memaksa beberapa asosiasi industri, melalui DPR, beberapa waktu lalu mendesak pemerintah untuk menunda pemberlakuan ACFTA paling tidak hingga 2012.

Kembali ke masalah China, sukses China bukanlah proses yang singkat, melainkan cerminan proses yang sangat panjang. Salah satu kuncinya, barangkali adalah dengan perencanaan yang konsisten, teliti, penuh perhitungan dan semuanya dilakukan secara bertahap. faktor penting lain adalah kuatnya memegang tradisi, budaya dan falsafah hidup yang sejak jaman dulu teguh dipegang. Kebanggan terhadap budaya ini antara lain tercermin dalam berbagai pertemuan internasional, pejabat pemerintah China akan tetap berbicara dalam bahasa China dan menggunakan penterjemah Inggris walaupun pejabat tersebut biasanya juga lancar berbahasa Inggris.

Hal lain, dan terkesan unik dapat terlihat hingga kini adalah terkait dengan penggunaan angka ‘sembilan’. Bank sentral China, The People Bank of China (PBOC), yang secara resmi disahkan oleh State Council sebagai bank sentral China tahun 1978 masih menggunakan kelipatan angka sembilan dalam menetapkan kebijakan suku bunga. Pola ini berbeda dengan pola yang diterapkan kebanyakan bank sentral dunia, dipelopori oleh bank sentral AS (the Federal Reserve) tahun 1994, termasuk Bank Indonesia dengan BI Rate-nya sejak 5 Juli 2005, yang menggunakan kelipatan 25 basis points (0,25%) dalam kebijakan suku bunganya. Hanya sedikit bank sentral yang di luar pakem kelipatan 0,25%, yaitu bank sentral Taiwan dengan kelipatan 0.125% dan bank sentral Jepang yang meninggalkan pola kelipatan 0,25% ketika level suku bunga kebijakannya berada di level 0,50% pada 31 Oktober 2008 dan terakhir menggunakan 0.15% menjadi saat ini 0,10%.

Sampai saat ini, PBOC masih menggunakan kelipatan angka sembilan tersebut dalam menetapkan kebijakan suku bunga, yaitu suku bunga kredit dan deposito dengan jangka waktu satu tahun. Dengan demikian, perubahan suku bunga dilakukan misalnya dengan menaikkan atau menurunkan sebesar 0,09%, 0,18%, atau 0,27%. Bila dijumlahkan maka angka perubahan tersebut berakhir dengan angka sembilan (1+8 =9; 2+7 = 9). Demikian pula suku bunga yang berlaku juga merupakan kelipatan angka sembilan. Misalnya saat ini, suku bunga kredit 1 tahun ditetapkan sebesar 5,31% (5+3+1 = 9), sementara suku bunga deposito 1 tahun sebesar 2,25% (2+2+5 = 9). Perubahan suku bunga terakhir dilakukan PBOC pada 22 Desember 2008 sebesar 0,27% (2+7 = 9), dari semula untuk suku bunga kredit sebesar 5,58% (5+5+8 = 18, angka 18 ini bila dijumlahkan juga akan menghasilkan angka 9) dan suku bunga deposito sebesar 2,52% (2+2+5 = 9).

[caption id="attachment_74992" align="alignleft" width="300" caption="Sumber : Bloomberg"][/caption]

Pola perubahan kelipatan angka sembilan ini menjadi pertanyaan banyak pihak karena dianggap tidak biasa, khas China. Setelah ditilik lebih jauh, ternyata hal ini terkait erat dengan budaya dan kebiasaan yang berlaku bagi masyarakat China. Hal ini, misalnya dijelaskan oleh Joseph Yam, Pimpinan Hong Kong Monetary Authority (HKMA) yang pertama dalam artikel di kolom mingguannya yang berjudul ‘ the divisible by nine rule’ tanggal 29 juni 2006.

Masyarakat China terbiasa menggunakan jumlah hari 360 dalam setahun, berbeda dengan kebiasaaan di pasar keuangan internasional yang menggunakan 365 hari. Penggunaan angka 360 hari ini terkait dengan alat hitung abacus (sempoa), sebuah alat hitung yang sudah ada sejak 2000 tahun lalu di jaman Dinasti Han, untuk menghitung suku bunga harian. Dengan kata lain, akan lebih mudah menghitung suku bunga harian dengan jumlah hari 360 dibandingkan dengan jumlah hari 365 dalam setahun. Tujuannya hanya agar semua dapat dihitung lebih mudah dengan alat hitung tradisional tersebut (menghitung suku bunga secara manual) tanpa harus menghasilkan pecahan (desimal) yang banyak atau menghindari pembulatan yang berlebihan. Selanjutnya Joseph menguraikan bahwa karena semuanya pada akhirnya bisa dibagi 40 bila menggunakan jumlah hari dalam setahun 360, maka suku bunga tahunan pada prinsipnya cukup dibagi dengan angka sembilan. Memang sepertinya masih tidak cukup jelas, namun intinya adalah bahwa penggunaan angka Sembilan adalah terkait dengan tradisi. Bisa jadi, juga karena angka sembilan merupakan angka tertinggi, sebagaimana dalam permainan kartu ‘qiu qiu’. Siapa tahu !!!

Pola menghitung suku bunga dengan kelipatan sembilan tadi bahkan sudah secara resmi ditetapkan dalam standard akuntansi untuk menghitung suku bunga harian, bulanan dan tahunan oleh pemerintah, oleh PBOC dan Menteri Keuangan, tahun 1993.

Alasan lain penggunaan rumus dibagi Sembilan disampaikan oleh Nipa Piboontanasawat (Bloomberg, 19 Mei 2007) yang menyatakan bahwa angka sembilan memiliki makna khusus karena pengucapannya memiliki makna keabadian (‘longevity’). Nipa mengatakan bahwa ‘longevity’ ini menjadi penting bagi suatu kebijakan moneter, karena kebijakan moneter haruslah bersifat ‘sustain’ atau berjangka panjang, senada dengan forward looking dalam istilah text book kebijakan moneter). Pentingnya angka Sembilan bagi masyarakat China ini juga tercermin dari jumlah ruangan di Forbidden City sebanyak 9.999 ruangan.

Namun, rumus kelipatan angka sembilan ini rupanya tidak berlaku untuk perubahan kebijaka giro wajib minimum (GWM) yang diberlakukan bagi perbankan. GWM adalah sejumlah dana (giro) bank yang harus disisihkan oleh perbankan di bank sentral. Sebagian bank sentral masih mengandalkan GWM sebagai instrument kebijakan moneternya, termasuk PBOC. PBOC sebenarnya, seperti Bank Indonesia, juga harus mengeluarkan surat utang (semacam SBI) untuk menjaga stabilitas moneter. SBI PBOC dikenal dengan PBOC bills yang jumlahnnya jauh lebih besar dari SBI yang dikeluarkan Bank Indonesia. SBI-nya PBOC sudah mencapai di atas 15% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dengan jangka waktu sampai dengan 3 tahun, sementara SBI-nya Bank Indonesia jumlahnya sekitar 6% dari PDB.

Terakhir PBOC menaikkan rasio GWM bagi perbankannya sebesar 0,5% menjadi 16,5% bagi bank besar dan 14,5% bagi bank kecil mulai tanggal 25 Februari nanti. Kebijakan GWM di China ini berbeda dengan yang diterapkan di Indonesia, dimana bank besar dan kecil dikenakann GWM sama rata sebesar saat ini 7,5%. Langkah menaikkan rasio GWM ini ditempuh untuk mencegah memanasnya perekonomian China, memasuki tahun macan ini, karena ekspansi kredit yang luar biasa cepat di tengah banjir likuiditas yang semakin besar di sana.

By the way, tulisan ini sekedar intermeso menyambut datangnya tahun macan, tepat di hari kasih sayang. So, Gong Xi Fa Cai atau Gong Hey Fat Choy bagi yang merayakan. Semoga dunia yang semakin panas, baik secara literal maupun secara politis, dan penuh tantangan akan tetap penuh dengan kasih sayang meski berada di tahun macan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun