Mohon tunggu...
Priyanto Nugroho
Priyanto Nugroho Mohon Tunggu... lainnya -

"art is long, life is short, opportunity fleeting, experiment dangerous, judgment difficult"

Selanjutnya

Tutup

Money

Jejak Volcker di Indonesia

5 Februari 2010   08:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:04 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ibarat pendekar tua nan sakti yang kehadirannya dibutuhkan di saat-saat sulit, Paul Adolph Volcker, nama mantan Gubernur bank sentral Amerika Serikat (Chairman of the FED) era Jimmy Carter dan Ronald Reagen ini kembali mencuat. Kepiawaiannya, dengan latar belakang pendidikan di bidang ekonomi dan administrasi publik, kembali menjadi salah satu kartu As bagi pemerintahan Barack Obama dalam menyikapi situasi pasca terjadinya krisis terbesar di pasar keuangan dan perekonomian global sejak Perang Dunia II.

[caption id="attachment_139672" align="aligncenter" width="473" caption="Paul Volcker"][/caption]

Volcker, diusianya yang sudah cukup senja (lahir 5 September 1927), masih cukup cemerlang pemikirannya dan didengar suaranya. Pemikiran Volcker, yang kini menjadi penasehat ekonomi Presiden Barack Obama, yang sudah beberapa waktu dikemukakan akhirnya diterima. Tanggal 21 Januari 2010 lalu, Barack Obama menyampaikan ke publik kebijakan perbankan dan pasar keuangan yang hendak ditempuh pemerintahannya, berdasarkan saran Volcker. Dia menyarankan untuk mengembalikan bisnis perbankan kembali ke khitahnya. Langkah ini dinilai sebagai langkah kunci untuk mencegah perilaku moral hazard para bankir dan agar bank tidak menjadi terlalu besar sehingga terlalu besar pula ongkos yang harus ditanggung rakyat bila bank tersebut bangkrut. Secara politis, langkah ini jelas akan mendapat dukungan di tengah ‘trend’ kemarahan para politisi kepada para bankir, meski ada beberapa politisi yang menyebut sarannya terlalu ambisius.

Jauh sebelum sarannya diterima Obama, pemikirannya mengenai perlunya dilakukan reformasi terhadap pengaturan pasar finansial global sudah mengemuka. Melalui suatu kelompok profesional, yang disebut sebagai the Group of Thirty, yang dikomandoinya telah mempublikasikan apa yang disebut sebagai “Financial Reform: A Framework for Financial Stability” pada 15 Januari 2009 lalu.

Rekam jejak Volker dimulai ketika – sebagai Gubernur bank sentral AS - berhasil membawa turun tingkat inflasi tinggi di AS akhir tahun 1970-an. Inflasi yang sempat meroket di level 13% - an berhasil diturunkan menjadi sekitar 3% di tahun 1980-an. Cara yang ditempuh Volker saat itu adalah dengan menaikkan suku bunga yang mencapai puncaknya di level 20% di tahun 1981. Pada era ini, Volker menghadapi serangan politisi yang cukup hebat atas langkahnya menaikkan suku bunga secara drastis tersebut. Pengalaman menghadapi kritik pedas dari politisi inilah rupanya yang menjadi salah satu modal baginya untuk memberikan solusi permasalahan yang secara politis feasible.

Jejak Volcker ini ternyata juga terlihat di Indonesia dan bahkan implikasinya masih terasa sampai sekarang. Bahwa apakah solusi tersebut sesuai dengan pandangan para politisi atau paradigma ekonomi yang berkembang saat ini, adalah soal lain. Yang pasti, sarannya mampu menyelesaikan ‘kemelut’ yang secara politis dinilai akan mengganggu proses pembangunan ekonomi yang sudah beberapa tahun menggantung pasca terjadinya krisis ekonomi moneter (krismon) tahun 1998 yang lalu. Perwujudan dari saran Volcker-lah yang menjadi cikal bakal solusi biaya penanganan krisis tahun 1998, yang tertuang dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Pemerintah dan Gubernur Bank Indonesia tanggal 1 Agustus 2003, yang juga diterima secara politis pada saat itu. Inti dari SKB tersebut adalah pembagian beban (burden sharing) biaya penanganan krisis antara pihak Pemerintah dan Bank Indonesia,karena Bank Indonesia menjadi lembaga negara yang berstatus independen sejak tahun 1999.

Produk utama dari SKB tahun 2003 tersebut adalah apa yang dikenal sebagai surat utang pemerintah (SUP), antara lain berupa obligasi special rate Bank Indonesia (SRBI) senilai 144,5 triliun dengan jangka waktu 30 tahun dengan tingkat bunga 0,1%. Jejak SRBI sampai saat ini masih terlihat di neraca Bank Indonesia dan tercatat sebagai salah satu komponen utang Pemerintah. Cikal bakal dari SRBI ini awalnya merupakan ‘perpetual promissory notes’ (PPN) atau ‘capital maintenance note’ yang disodorkan oleh Volcker.

Skema penyelesaian beban krisis tahun 2003 tersebut, bisa jadi, langsung ataupun tidak langsung, berpengaruh pula pada berbagai produk UU yang keluar pada tahun 2003 dan 2004.

Keterlibatan Paul Volcker di Indonesia bermula di era pemerintahan Gus Dur dan kemudian berlanjut pada era pemerintahan Megawati. Gus Dur yang dikenal memiliki pemikiran dan pandangan yang jauh melampaui jamannya, saat itu membentuk penasehat ekonomi yang dikenal dengan Internasional Advisory Panel (IAP). IAP memiliki empat anggota, yaitu Paul Volcker, Lee Kwan Yew (mantan PM Singapore), Ulrich Cartellieri (Deutsche Bank) dan diplomat senior Jepang, Nobuo Matsunaga.

Kini Amerika juga mengeluarkan biaya yang luar biasa besar untuk mengatasi krisis. Bank sentral dan Pemerintah telah menggelontorkan dana lebih dari satu triliun US Dollar. Jelas tak terbayang banyaknya angka nol apabila dana sebesar itu dirupiahkan. Bisa jadi, Volcker akan terlibat pula dalam membuat skema pembagian beban, yang pasti akan ribut secara politis, antara Pemerintah dan bank sentral di sana di tahun-tahun mendatang. Menengok pengalaman Indonesia, penyelesaian atas apa yang terjadi di Amerika, yang kini juga mengalami banjir likuiditas, akan berlangsung puluhan tahun. Bank sentral Amerika besar kemungkinan akan senasib dengan Bank Indonesia, yang harus menghadapi dilema. DI satu sisi harus mengeluarkan instrument semacam SBI untuk menyerap banjir likuiditas yang terjadi untuk menjaga inflasi, sementara di sisi lain harus mendorong bank-banknya untuk menyalurkan kredit.

Sementara di sini, dengan bergantinya pemerintahan dan politisi yang berkuasa, beberapa media kembali mulai memberitakan akan adanya pembahasan di DPR menyangkut beberapa surat utang pemerintah (SUP) di Bank Indonesia. Seolah kembali ke masa tahun 2003 silam. Bisakah kali ini, masalah pelik dan rumit yang muncul kembali diselesaikan secara mandiri dengan musyawah dan mufakat serta santun? Atau, haruskah, Indonesia kembali harus melibatkan ‘penengah’ pihak asing, sebagaimana keterlibatan Volcker yang lalu?

(Tulisan ini disarikan dari berbagai sumber. Antara lain, The New York Time, The Wall Street Journal, Tempo, Sinar Harapan, Wikipedia, website white house, website Bank Indonesia dan website Departemen Keuangan)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun