[caption id="attachment_334449" align="aligncenter" width="546" caption="Managing Director Bank Dunia, Sri Mulyani Indrawati, bersaksi dalam sidang mantan Deputi Bidang IV Pengelolaan Devisa Bank Indonesia, Budi Mulya, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Jumat (2/5/2014). | Ilustrasi/ Kompasiana (TRIBUNNEWS/DANY PERMANA)"][/caption]
“Senator, you asked me my opinion as an economist. Unfortunately, this is a matter for psychology" Demikian jawaban Ben Bernanke, Pemimpin Federal Reserve, dalam dengar pendapat dengan Kongres Amerika Serikat, September 2008” (dikutip dari artikel Chris Panggabean, “Mencegah Kritis menjadi Krisis”, Kompas, 22 Januari 2010)
Tepat di hari pendidikan nasional 2 Mei 2014, sidang kasus Century di pengadilan Tipikor menghadirkan saksi Sri Mulyani, kini managing director World Bank dan mantan Menteri Keuangan sekaligus ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) pada saat bank Century diputuskan sebagai bank gagal berdampak sistemik pada bulan November 2008.
Dalam kesaksiannya hari ini, Sri Mulyani dicecar Jaksa dengan berbagai pertanyaan, dari yang cenderung teknis seperti perhitungan dana talangan untuk menambah modal yang awalnya sebesar 632 milyar Rupiah, perbedaan likuiditas dan solvabilitas suatu bank, hingga yang menyangkut pertimbangan pengambilan kebijakan saat itu.
Pada kesaksiannya, Sri Mulyani menyatakan bahwa keputusan untuk bailout bank Century ditujukan untuk mencegah dampak rambatan (contagion) krisis global yang bermula di AS ke Indonesia, agar krisis seperti yang terjadi di Indonesia tahun 1997/98 tidak terulang. Agar apa yang terjadi di bank Century tidak menular ke bank-bank lain di Indonesia, karena ada beberapa bank kecil yang kondisinya ‘rawan’ seperti bank Century (dalam kesaksiannya, dia menyebutkan ada 18 + 5 bank).
Dia juga menyatakan bahwa kebijakan itu sudah mempertimbangkan manfaat dan mudaratnya, biaya dan implikasinya. Menurutnya, biaya untuk bailout lebih kecil dari risiko atau akibat yang ditumbulkan bila hal itu tidak dilakukan, yaitu gambaran krisis seperti 1997/98 akibat masyarakat panik dan tidak percaya ke perbankan.
Argumen Sri Mulyani tersebut sepertinya tak mudah diterima. Dalam artikel Chris Panggabean di atas, argumen yang disampaikan Sri Mulyani digambarkan sebagai perilaku menghindari ketegangan psikologis berubah menjadi kepanikan masyarakat. Perilaku ‘homo economicus’ ini merupakan emosi cemas hasil penilaian kognisi akan situasi lingkungan dengan merujuk pada pemikiran John Locke (filsuf Inggris).
Menurut Chris Panggabean, perilaku ini juga sejalan dengan eksperimen Travesky dan Kahneman membuktikan bahwa rasio individu cenderung menghindari situasi yang merugikan dan memilih situasi yang menguntungkan; sekalipun peluang terjadi atau nilai yang diperoleh dari masing-masing situasi sama besarnya.
Yang menjadi pertanyaan tentunya adalah apakah ‘perasaan’ tersebut hanya ada di pejabat publik, ataukah juga ada di masyarakat?
Dimensi situasi seperti diuraikan di atas menarik, mengingat di luar forum seminar dan texbook, tak ada satupun perundangan di dunia yang mendefinisikan suatu kondisi yang disebut krisis (merujuk pada krisis keuangan atau ekonomi). Ini tentu berbeda dengan bagaimana khalayak yang tak akan berbeda pendapat manakala menilai ancaman ‘krisis’ yang timbul dari bencana alam (banjir atau gunung meletus, misalnya).
Tak heran bila kemudian kini banyak yang mencoba meng-kuantifikasi kondisi ekonomi yang menimbulkan rasa cemas tersebut, meski hal ini bukan berarti tak juga akan menimbulkan kerumitan tersendiri di kemudian hari manakala keputusan diambil semata berdasarkan hal tersebut.
Kasus bailout Century memang sudah berlangsungcukup lama. Nyaris sepanjang umur masa Pemerintahan presiden SBY yang kedua, sejak Pansus Century dibentuk di DPR pada awal 2010. Apapun keputusan pengadilan terkait kasus ini, tentu akan memberikan pelajaran yang sangat berharga, walaupun pahit, bagi para pejabat publik di republik ini di kemudian hari.
Pelajaran terkait dilema kebijakan publik tersebut sebenarnya sudah coba disampaikan sebelum kasus bailout Century terjadi. Seorang pejabat publik di Australia, Ken Henry (Australian Secretary of the Treasury) yang pernah menjadi bulan-bulanan media dan politisi terkait kebijakannya untuk melakukan ‘hedging’ utang luar negeri pemerintah Australia yang dinilai merugikan ‘negara’, meski tak sampai harus dikriminalisasi ataupun dihadapkan ke pengadilan.
Dalam pidatonya yang berjudul ‘political awareness’ pada 9 Februari 2007, dia menekankan sangat pentingnya pejabat publik untuk perlu melakukan edukasi publik sejak dini dan terus-menerus, atas berbagai hambatan dan risiko yang mungkin timbul di masa mendatang, terkait dengan kebijakan – terutama yang langsung terlihat berimplikasi pada biaya - jauh sebelum hal-hal tersebut terjadi. Hal ini tidak saja menunjukkan bahwa segala sesuatunya sudah diperhitungkan secara awal dengan cermat, namun juga bahwa agar publik sudah jauh-jauh hari mendengar isunya (aware), memahami konteksnya, sehingga tidak kaget dan mudah diarahkan oleh opini yang menyesatkan.
Dengan kata lain, komunikasi kebijakan tidak cukup hanya untuk menenangkan masyarakat bahwa segala sesuatunya sudah dijaga, namun juga agar masyarakat sejak awal sadar, memiliki informasi yang memadai, risiko apa yang mungkin timbul, atau coba dihindari.
Ken Henry menekankan pentingnya hal itu karena menurutnya apa yang ‘dinilai’ merugikan masyarakat/negara pada akhirnya akan menyapu semua keberhasilan yang pernah dicapai. Kegagalan atau kerugian akan memperoleh tempat yang jauh lebih besar dan dominan daripada keberhasilan kebijakan lain yang pernah diambil. Selain itu dia mengingatkan bahwa “In political jousting, facts play poorly relative to perceptions. And the jousters don’t always care about the ‘collateral damage’ that may be inflicted on the professional reputations of public servants”
Selain itu, ada baiknya pada saat kebijakan yang diambil bersifat luar biasa dan melibatkan tax payers’ money, komunikasi dilengkapi pula dengan menjelaskan hasil yang hendak dicapai dan bagaimana biaya kebijakan diperkirakan akan kembali. Sekedar untuk contoh misalnya, komunikasi publik yang dilakukan pemerintah Inggris atau AS. Ini misalnya misalnya pada pidato presiden Obama yang dengan ‘PD’-nya menyatakan “After months in which public dollars were flowing into our financial system, we're finally beginning to see money flowing back to taxpayers” (‘remark by the president on financial rescue and reform’, 14 September 2009), juga pada bagian ‘progress and cost’ yang dipublikasikan kementrian keuangan AS ini, hingga bisa mengatakan “The government will likely earn a significant profit on the financial crisis response” ...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H