Dari arah dapur Maspiroh datang sambil membawa dua cangkir kopi. Meskipun kesal, Maspiroh tetap melaksanakan kewajibannya untuk melayani Mangir.
"Mas, kamu itu sekarang sudah menjadi seorang suami. Kamu itu imam rumah tangga. Harusnya kamu yang ngajakin aku buat sholat berjamaah. Bukan malah aku yang tiap hari sibuk bangunin kamu buat sholat subuh."
"Apa sih kamu ini, pagi-pagi sudah marah-marah aja."
"Gimana gak marah coba kalau lihat kamu tiap hari kayak gitu. Subuh telat, sholat yang lain waktunya sering dipepetin, ngaji gak pernah. Kaya gitu kok pengen rejekinya lancar."
"Eh..apaan nih..kok bahas soal agama segala."
"Perempuan itu surganya ada di suami, kalau suami masuk surga, ya aku ikut ke surga. Suami masuk neraka, ya aku ikut ke neraka, suargo nunut neroko katut!"
"Tapi kan kamu sudah mengingatkan. Ya sudah gugur donk kewajiban kamu."
"Ya gak segampang itu lah mas!"
"Halah udah lah, perkara agama itu urusan masing-masing manusia dengan Tuhan. Sesama manusia cuma wajib mengingatkan."
Tak mau berdebat panjang, Mangir meninggalkan Maspiroh yang masih terus menggerutu di teras.
Untuk urusan sholat, Maspiroh memang lebih rajin daripada Mangir. Hampir tiap terdengar adzan, ia langsung akan buru-buru ambil air wudhu untuk melaksanakan sholat. Sedangkan Mangir lebih sering menunda. Bahkan tak jarang ia melwatkan sholat subuh karena bangun siang.