Mohon tunggu...
Otomotif Pilihan

APTB dan Transjabodetabek, Sudahkah Menjadi Bus Kota Ramah?

6 Desember 2018   09:16 Diperbarui: 6 Desember 2018   13:04 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Transportasi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Wirestock

Tarif yang dipatok pun lebih tinggi. Untuk tiba di Semanggi, saya harus merogoh kocek sebesar 13.000 rupiah. Jumlah yang jauh lebih tinggi apabila dibandingkan dengan bus Transjabodetabek, terhitung tiga kali lipat lebih mahal daripada tarif Transjabodetabek. Namun sudah tentu bukannya tanpa alasan yang konkret mengapa saya cenderung "berpihak" pada APTB apabila dibandingkan dengan Transjakarta. 

APTB tidak terlalu banyak singgah, langsung melewati tol, sehingga durasi perjalanan menjadi lebih cepat. Terlebih, kelonggaran sektor regulasi sebenarnya dapat dikatakan adalah sebuah "berkah" tersendiri bagi saya. Jika pengemudi Transjabodetabek seperti membatasi laju kendaraannya untuk alasan keamanan, APTB tidak demikian. 

Jika sang pengemudi sedang dalam suasana hati yang tepat untuk memacu bus lebih cepat dari biasanya, tak jarang saya harus berulangkali membetulkan posisi duduk karena bus yang berulang kali direm mendadak. 

Hal unik lain yang saya temui ketika menumpangi APTB adalah diperbolehkannya penumpang untuk duduk di koridor bus, hal yang amat dilarang apabila dilakukan di bus Transjabodetabek karena ruang yang kosong wajib ditempati dengan cara berdiri, manajemen Transjabodetabek percaya bahwa penumpang yang duduk di koridor hanya akan mengganggu kenyamanan penumpang lain.

Ketepatan waktu menjadi alasan saya lebih memilih untuk menggunakan jasa APTB ketimbang Transjabodetabek. Kecuali jika saya sedang tidak terburu-buru baru saya akan memakai jasa Transjabodetabek. Walaupun saya seperti menggadaikan aspek keamanan dan kenyamanan saya sendiri, menurut versi saya yang disebut kenyamanan adalah ketika dapat tiba di tujuan sesegera mungkin. Jika berwisata menggunakan kapal pesiar, bisa jadi saya akan amat sangat mencintai perjalanan yang saya tempuh. 

Namun untuk berjejalan dengan jiwa-jiwa yang sama letihnya dalam memikirkan urusannya masing-masing, jujur saja saya tidak betah berlama-lama ada di sana. Menjadi saksi hal semacam itu hanya akan membuat saya semakin sering berasumsi bahwa ada benarnya jika anda akan merasa lebih beruntung jika saja tidak dilahirkan di dunia. 

Pikiran semacam itu adalah racun. Racun yang meskipun mengalir dengan senyap, kemudian melahirkan asumsi jenaka bahwa selain Mbak-Mbak Uniqlo, hanya Bus Tayo saja yang menawarkan keramahan sejati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Otomotif Selengkapnya
Lihat Otomotif Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun