Kesehatan gizi kronis yang terjadi pada balita merupakan permasalahan malnutrisi yang sering dikenal dengan istilah stunting. Permasalahan ini terjadi sejak bayi dalam kandungan dan pada masa awal setelah lahir, akan tetapi kondisi ini akan terlihat sejak bayi berusia 2 tahun (TNP2K, 2017). Stunting adalah kondisi dimana balita mengalami panjang atau tinggi badannya yang kurang jika dibandingkan dengan umur.Â
Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif di masa yang akan datang (Kemenkes RI, 2018).
Prevalensi di dunia yang mengalami stunting pada tahun 2017 yaitu sebesar 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita. Lebih dari setengah angka stunting di dunia berasal dari Asia sebesar 55%, sepertiganya dari Afrika sebesar 39% (Candra, 2020).Â
Negara Indonesia terdapat tiga provinsi dengan stunting tertinggi yaitu provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 43,82%, Sulawesi Barat sebesar 40,38%, dan Nusa Tenggara Barat 37,85%. Sedangkan provinsi dengan pravelensi terendah yaitu provinsi Bali sebesar14,42%, Kepulauan Riau sebesar16,82%, dan Bangka Belitung sebesar 19,93% (Kementerian Kesehatan RI, 2019).
Berdasarkan prevalensi stunting di Indonesia dapat diketahui bahwa permasalahan stunting perlu di cegah sejak dini karena pada masa janin sampai anak usia dua tahun terjadi proses tumbuh kembang yang cepat. Dampak yang sering terjadi yaitu risiko kekurangan gizi yang menyebabkan terganggunya perkembangan otak, kecerdasan, gangguan pertumbuhan fisik, dan gangguan metabolisme dalam tubuh.Â
Dampak dari kekurangan gizi panjang juga dapat menyebabkan menurunnya kemampuan kognitif dan prestasi dalam belajar, menurunnya kekebalan tubuh sehingga mudah sakit, dan berisiko tinggi munculnya penyakit degeneratif (Simanjuntak & Wahyudi, 2021).
Stunting disebabkan sebagai risiko malnutrisi jangka panjang diawali dari masa prakonsepsi hingga 1000 HPK. Faktor yang terjadi pada stunting biasanya yaitu faktor genetik dari orang tua, status ekonomi disebabkan kemampuan keluarga dalam membeli makanan yang baik juga rendah sehingga kualitas dan kuantitas makanan tidak terpenuhi.Â
Jarak kelahiran juga mempengaruhi pola asuh orang tua terhadap anaknya cenderung kurang optimal dalam merawat anak sehingga nutrisi anak tidak mencukupi.Â
Riwayat BBLR menandakan janin mengalami malnutrisi didalam kandungan dan anemia pada ibu juga saat hamil mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan malnutrisi pada janin. Defisiensi zat gizi menjadi asupan gizi makro yang paling mempengaruhi kejadian stunting (Candra, 2020).
Starategi dalam penurunan prevalensi stunting yaitu pendekatan keluarga melalui pendampingan keluarga berisiko stunting untuk mencapai target sasaran yaitu calon pengantin/catin, pasangan usia subur, ibu hamil dan menyusui sampai dengan pasca salin, dan anak 0-59 bulan.Â
Dalam pelaksanaan pencegahan stunting diperlukan kolaborasi tenaga kesehatan berupa bidan, tim penggerak pemberdayaan dan kesejahteraan keluarga serta kader keluarga berencana untuk melaksanakan pendampingan keluarga berisiko stunting.Â
Dengan adanya tim penggerak maka akan mempermudah proses percepatan penurunan stunting dari hulu sehingga pencegahan stunting secara dini dapat dilakukan bagi masyarakat yang memiliki pengetahuan rendah mengenai stunting (PKK, 2021).
Rendahnya pengetahuan stunting pada calon orang tua yang menyebabkan angka stunting meningkat sehingga diperlukan edukasi dalam pencegahan secara dini. Program pencegahan dapat dilakukan dengan mempersiapkan pernikahan yang baik, pendidikan gizi, suplementasi ibu hamil, suplementasi ibu menyusui, suplementasi mikronutrien untuk balita, dan mendorong peningkatan aktivitas anak diluar ruangan.Â
Dengan adanya edukasi dan program terarah dapat meningkatkan derajat kesehatan, mencegah penyakit injuri, memperbaiki atau mengembalikan kesehatan, meningkatkan kemampuan koping terhadap masalah kesehatan demi mewujudkan perilaku sehat (Waliulu, 2018)
Permasalahan stunting pada anak dapat dicegah secara dini dengan pemberian edukasi kepada calon orang tua agar pola asuh terhadap anak benar. Salah satunya pemberian edukasi kepada catin atau calon pengantin yang merupakan suatu strategi untuk mempersiapkan status gizi calon ibu sehat sehingga menghasilkan keturunan berkualitas.Â
Agar terhindar dari malnutrisi pada wanita usia subur perlu perencanaan dan penanganan yang tepat untuk mempersiapkan keturunan yang berkualitas dengan cara menjaga kesehatan dan benar pola makan ibu (Simanjuntak & Wahyudi, 2021).
Calon pengantin (catin) salah satu kelompok sasaran untuk meningkatkan pengetahuan pasangan suami istri untuk mendapatkan buah hati yang berkualitas. Khususnya peningkatan pengetahuan terkait 1000 HPK yang berkontribusi besar dalam program pencegahan stunting.Â
Program 1000 HPK perlu didukung oleh calon suami dalam rangka pencegahan stunting dalam menjaga pola makan catin yang bergizi. Perubahan perilaku yang sehat dapat diawali dengan pengetahuan catin mengenai makanan yang sehat dan bergizi dimulai sebelum kehamilan (Simanjuntak & Wahyudi, 2021).
Perlunya edukasi dalam menangani permasalahan stunting pada catin dilakukan dengan teratur dan terjadwal agar angka kejadian stunting menurun. Salah satu pemberian edukasi berupa kampanye. Pada pemberian edukasi ini dapat membantu mengingatkan ibu dalam menjaga asupan gizi serta pola hidup sehat dalam mengembangkan pertumbuhan dan perkembangan anak sejak didalam janin (Mahmood dkk., 2019). Â
Permasalahan kesehatan pada ibu dan bayi begitu kompleks sehingga perlu diselesaikan dengan sistem kesehatan yang mumpuni. Paradigma yang mengutamakan pencegahan hendaknya ditekankan promosi kesehatan agar beban pengobatan berkurang sehingga biaya kesehatan tidak melonjak besar dalam pembiayaan pengeluaran mengenai kesehatan. Perlunya dukungan pemerintah dalam hal pembiyaan, pelatihan petugas, maupun pendampingan terkait implemantasi program stunting di lapangan sehingga bisa mencapai tujuan yang diharapkan.Â
Dukungan pihak terkait juga berupa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan swasta memungkinkan program stunting dapat berjalan dengan efektif dan berkesinambungan. Permasalah stunting bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga tanggung jawab semua pihak.
     Â
Â
DAFTAR PUSTAKA
Candra, A. (2020). Epidemiologi Stunting.
Kementerian Kesehatan RI. (2019). Laporan Pelaksanaan Integrasi Susenas Maret 2019 dan SSGBI Tahun 2019.
Mahmood, H., Fatimah, R., Wali, A., Alam, A., Sheraz, S. Y., Yaqoob, A., Saleem, H. N., Mahmood, H., Dibley, M. J., & Hazir, T. (2019). Efektivitas intervensi kesehatan keliling pada pemberian makan bayi dan anak kecil di antara anak-anak 24 bulan di pedesaan Islamabad selama enam bulan [ versi 3 ; peer review : 1 disetujui , 2 disetujui dengan reservasi ] Subhana Akber. 74, 1–23.
PKK, K. D. N. T. K. K. T. K. D. P. T. B. T. T. (2021). Panduan Pelaksanaan Pendampingan Keluaga dalam Upaya Percepatan Penurunan Stunting di Tingkat Desa/Kelurahan.
Simanjuntak, B. Y., & Wahyudi, A. (2021). Edukasi tentang 1000 hari pertama kehidupan dalam meningkatkan pengetahuan dan sikap calon pengantin laki-laki. AcTion: Aceh Nutrition Journal, 6(1), 100. https://doi.org/10.30867/action.v6i1.426
TNP2K. (2017). 100 Kabupaten/Kota Prioritas untuk Intervensi Anak Kerdil (Stunting).
Waliulu, S. H. (2018). Pengaruh Edukasi Terhadap Tingkat Pengetahuan Dan Upaya Pencegahan Stunting Anak Usia Balita. Jurnal Penelitian Kesehatan Suara Forikes, 9(4), 269–272.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H