Mohon tunggu...
prisma susila
prisma susila Mohon Tunggu... Human Resources - Semoga menghibur

sekolah alam semesta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Orang Sehat Buat Negara, Bukan?

13 September 2017   00:26 Diperbarui: 13 September 2017   01:15 409
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebenarnya siapa yang butuh orang sehat. Apakah orang-orang jalang ini, yang setiap harinya menghabiskan waktunya di jalanan. Mondar mandir kesana kemari hanya untuk sebuah kepastian hidup ini. Atau, negara ini yang membutuhkan orang sehat. Lantas, kalau memang negara ini butuh orang-orang sehat layaknya cita-cita yang selalu di gemborkan bahwa akan menciptakan sebuah kehidupan sejahtera. Loh, terus kenapa kok seolah-olah untuk sebuah kesehatan selalu di persulit. Bahkan di era yang katanya sudah dalam era digital serba "simple". 

Ironisnya kasus-kasus tentang kesehatan tidak begitu saja berhenti. Dari korupsi penyediaan alat medis, malpraktek, dan sampai yang terakhir katanya seorang bayi harus kehilangan nyawa karena tidak segera mendapat penanganan dari rumah sakit. Duh duh, memang sangat ngeri fenomena seperti ini dikalangan para pemegang kekuasaan. Entah itu kekuasaan yang sebelumnya sampai yang sekarang. Tapi, bagi kami kaum jalang hal-hal seperti itu sudah seperti makanan di pagi hari sambil ditemani kopi panas dan sebatang rokok. Ya seperti itu memang, yang diinginkan lengkap tapi selalu saja tidak lengkap. 

Pernah dalam satu pengalaman, saya sakit demam berdarah.Berhubung siklus demam berdarah tak seperti penyakit yang lain jadi beberapa hari keadaan tidak menentu. Lantas, yang unik adalah saya adalah  salah satu pengguna jaminan kesehatan yang direkomendasikan oleh pemerintah katanya. Ya namanya kalau rekomendasi pasti baiklah, kualitas di atas rata-rata. Tapi pada kenyataannya, ketika saya sakit tadi, saya bolak balik ke Puskesmas kemudian kerumah sakit saya tidak segera di beri penanganan. Sampai akhirnya, saya dalam kondisi buruk waktu itu, baru saya mendapat penanganan. 

Lah, yang unik lagi salah satu tetangga juga menggunakan jaminan kesehatan yang sama dengan saya. Waktu itu pun, tetangga saya dalam keadaan hamil. Kemudian melahirkan, setelah melahirkan tetangga saya mendapat pelayanan dari jaminan kesehatan tersebut. Tapi bukan membaik, tapi memburuk keadaannya. Sampai akhirnya, beliau tidak mau menggunakan lagi jaminan itu. 

Lah, terus ini pepatah "sedia payung sebelum hujan" kemana. Apakah hanya akan menjadi sebuah hiasan sekolah. Atau akan menjadi sebuah angan-angan.  Lea kalau memang mau sedia patungan, ada selalu alternatif yang di tawarkan untuk mencegah terjadinya hal-hal itu. Tapi tidak disini. Di negeri ku ini. Semua orang harus sekarat, harus koma, atau paling tidak lupa lah baru akan mendapatkan penangganan cepat. 

Terus mau menyalahkan siapa? Dokter tak mungkin, saat ini dokter juga sebagai penjualan sistem. Terus rumah sakit, siapa juga yang ada dirumah sakit pasti akan tidak jelas. Obat, ya tidak mungkin toh orang awam seperti kita juga tak pernah tau kegunaan obat tersebut. 

Ya mungkin yang bisa disalahkan ya sistem setan ini. Sistem yang hanya mencari pemenuhan akan dirinya sendiri. Sistem yang menonjolkan kemewahan, tapi selalu menyebut dirinya dermawan. Sedangkan uang yang ia keluarkan entah kesiapa. 

Lantas, kalau sudah seperti ini. Mau tanya siapa? Mau meminta kejelasan siapa. Atau harus buat video dulu, kemudian video itu di unggah ke dunia serba Maya. Kemudian sembari merenung mencari-cari jawaban dan menunggu jawaban. Haduh memang selalu rumit. Rumitnya sudah melawan sistem perkaya diri. Penguat diri. Penguasaan diri. Pelan-pelan kemudian menghancurkan orang-orang lain. 

Semoga kesadaran bahwa negara ini yang sebenarnya butuh orang pintar, orang sehat, orang sejahtera. Baik fisik maupun psikis. Keduanya yang selalu bercinta itu. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun