Mohon tunggu...
Jon A Masli
Jon A Masli Mohon Tunggu... Insinyur - Penggiat Investasi dan UMKM

Jon Masli adalah profesional praktisi Perusahaan, khususnya dibidang Pengembangan Usaha, Penata Manajemen Korporasi, Go Public dan Pelobby investasi asing.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Solusi Kebijakan Ekspor Benur Lobster

1 Desember 2020   17:00 Diperbarui: 1 Desember 2020   17:20 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Jon A. Masli, Penggiat investasi dan UMKM

Los Angeles, 1 Desember 2020

Hampir setahun lalu saya sempat menonton tayangan advertorial Metro TV membedah kasus ekspor benih lobster walau saya bukan orang perikanan. Namun, sebagai pengamat investasi dan perilaku UMKM saya tertarik mencermati kasus ini. 

Dalam pembahasan tercatat bahwa salah satu alasan keran ekspor dibuka oleh Pak Edhy Prabowo menurut narasumber dari kementerian KKP adalah gencarnya penyelundupan benih lobster, sehingga menurut mereka lebih baik dilegalkan. Aneh alasan ini bukan?

Alasan lain, katanya karena Vietnam sangat menguasai teknologi budidaya lobster yang sulit kita tandingi terutama dalam menjaga populasi lobster yang rawan mati dalam perjalanan hidupnya. 

Maksud mereka kalau benur lobster tidak ditangkap angka kematiannya di lautan, 99% akan mati alami. Tetapi dengan ditangkap dan dibudidayakan angka mortality ratenaya mengecil bahkan survival ratenya tinggi sampai 70%, menurut narsum dari KKP tadi. Ini alasan sciencetific (tapi belum dikonfirmasi). Saya coba google betulkah alasan ilmiah ini. Tapi ternyata tidak ada info yang valid. Dua alasan kuat ini aneh karena sepertinya kita tidak mampu mengambil penyelesaian tuntas dan rumit tapi yang singkat dan praktis saja, mengijinkan ekspor.

Bertolak belakang dengan pendapat mantan Menteri KKP, Bu Susi Pujiastuti yang bersikeras dengan alasan bahwa ekspor benur akan membuat lobster dewasa langka dan akan menguntungkan negara lain, seperti Vietnam. Beliau juga menguatkan dengan alasan konservasi binatang/ lobster untuk melestarikan populasinya. 

Di negara-negara maju, kebijakan seperti ini cenderung sejalan dengan pemikiran Bu Susi. Contoh di AS di hampir semua states, ada undang-undang konservasi sea creatures, misalnya di Alaska, orang bebas menangkap ikan salmon, halibut, cod, dll. Jenis ikan apapun, tapi dibatasi ada ukuran minimumnya. Benur sudah pasti tidak boleh. Apalagi yang namanya Alaskan crab yang sangat dilindungi walau dikomersialkan. Padahal Alaska yang luasnya sebesar 2,7 kali Pulau Kalimantan dengan penduduk hanya 731,545 dengan luas 663,000an square miles, Kalimantan 223,000 square miles. 

Bayangkan dengan kondisi kita yang jumlah penduduknya jauh lebih banyak kita bebas menangkap ikan bahkan dicuri seenak udel. Indonesia memang Heaven on Earth, surga dunia. Banyak yang boleh, kita mudah tergoda solusi praktis jangka pendek, asal jadi duit. Beruntung kita punya Bu Susi, yang walau berpendidikan rendah tidak tamat SMA dibanding dengan Pak Edhy Prabowo yang sarjana lulusan Swiss German University dan mantan anggota DPR yang berpendidikan tinggi. Kita salut Bu Susi berpikir jauh dengan visi pelestarian sumber daya alam lobster yang berkelanjutan.

Memang tidak banyak penghasilan uang yang masuk di satu sisi seperti pemikiran pak Edhy Prabowo yang membawa misi negara butuh pemasukan berupa devisa. Seperti pesan pak Jokowi agar KKP dapat memberdayakan potensi laut secara komersial dan maksimal mengingat negara butuh fulus, penerimaan pajak lagi tersendat apalagi di era pandemi covid 19 yang berkelanjutan memberatkan penerimaan negara. 

Jadi dari sudut pandang ini ada juga benarnya alasan Pak Edhy Prabowo dalam konteks business dan ekonomi apalagi ada alasan bahwa kalau ekspor benur dilarang, mata pencaharian nelayan petani lobster akan terganggu. 

Tetapi dari ke semua ungkapan ini, kalau saya boleh ambil kesimpulan adalah Bu Susi yang benar, namun sayang pelarangan ekspor tidak ditunjang dengan uluran tangan pemerintah untuk membudidayakan benur sebagai solusi ekonomi. 

Padahal bukankan kita ada BPPT yang dapat bekerjasama dengan Hawaii Institute of Marine Biology dan Hawaii Center for Microbial Oceanography Research & Education yang nota bene adalah jagonya soal binatang laut. Mereka ini ahlinya soal budidaya lobster dan yang mengajari orang orang Vietnam teknologi berbudi daya Lobster. 

Inilah missing linknya era Bu Susi yang sudah on track melarang ekspor benur lobster namun tidak sempat memberi solusi tuntas memberi social net buat para petani dan nelayan lobster dalam menjamin nafkah mereka. 

Di sisi lain dan aneh Pak Edhy Prabowo mengatakan Vietnam lebih canggih Teknologi budidaya lobsternya seakan mengakui ketinggalan kita dari Vietnam yang sudah merdeka 75 tahun merestui mereka untuk membudidayakan benur kita dan terus menjadi pemasok buat mereka. Say what? Betul di satu sisi, tapi it does not mean we cannot do it, or obtain the technology membudidayakan lobster dengan bekerja sama dengan lembaga-lembaga di Hawaiita yang baru-baru ini dikunjungi Pak Edhy Prabowo dan rombongan termasuk Ngabalin yang bukan ahlinya namun ikut serta juga. 

Keanehan lain adalah melegalisasi ekspor karena alasan illegal ekspor yang sulit dikendalikan. Ini menunjukan betapa lemahnya semangat KKP memerangi kejahatan ekonomi oleh para penyelundup benur lobster.

Bukankah kita punya Bakamla, Polisi Laut dan Angkatan Laut? Sebagai konklusi, dan solusi sebaiknya berlakukan pelarangan ekspor seperti kebijakan Bu Susi Pujiastuti, ulurkan tangan membantu para petani dan nelayan lobster dengan stimulus kebijakan jaringan sosial memberdayakan mereka bekerja diperusahaan2 membudidayakan lobster. 

Lobby pengusaha-pengusaha lobster Vietnam untuk bekerjasama dengan perusahaan-perusahaan national kita yang sudah mempunyai fasilitas. Upaya ini sesuai dengan semangat Omnibus Law yang memudahkan PMA boleh berbudidaya lobster. Bukankah itu solusi? Giatkan investasi asing Vietnam juga yang masih sangat minim! Kita sepertinya baru sadar atau pura-pura sadar kalau kita kalah bersaing dengan Vietnam dan Thailand bahkan si miskin kere Filipina dalam hal ekspor.

Patutlah kalau Pak Jokowi ngamuk ketika membaca betapa kinerja ekspor kita ketinggalan dari mereka. Tetangga yang SDAnya kalah kaya dengan kita. Tapi kalau kita mengintrospeksi dengan kritikan begini, selalu ada saja WNI yang marah-marah defensive tersinggung. 

Kita banyak sekali orang pintar, banyak anggaran APBD dan APBN untuk menggenjot ekspor, luar biasa upaya mendukung UMKM, you name it kita punya, lebih dari tetangga-tetangga kita tadi yang lebih miskin, yang SDM-nya kalah pintar, tapi mereka lebih ulet, kreatif, mau kerja EXTRA MILE. 

Konon pejabat-pejabatnya mereka lebih lugu dari pejabat-pejabat kita yang lebih kreatif membuat aturan-aturan yang mempersulit pengusaha kita sendiri. Pejabat-pejabat mereka kurang minat membeli barang ori jam Rolex, tas Hermes, koper LV karena di sana banyak yang KW3, dan konon OTT dinegara komunis seperti Vietnam itu berat hukumannya. 

Defacto perlu kita catat, bahwa pengusaha2 Thailand dan Vietnam itu sudah piawai membeli bahan baku kita seperti: kelapa utuh, hasil laut, kayu, dll dan ulet mengolahnya menjadi nilai tambah berlipat ganda untuk diekspor. Nanti malam ILC akan membahas kasus Ekspor benur lobster yang lagi ngetop ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun