Melonjaknya kasus pandemi Covid-19 akhir-akhir ini, membuat hampir seluruh sistem sosial mengalami fase dilema untuk yang kesekian kalinya. Pandemi Covid-19, sudah berjalan hampir 1,5 tahun setelah diumumkannya kasus pertama yang diduga berasal dari negri tirai bambu, China pada akhir 2019.Â
Revolusi terjadi hingga kini, menyebabkan segala aktivitas yang berlangsung harus diupayakan dengan pembaharuan budaya atau sekarang dikenal dengan istilah New Normal.Â
Tindakan demi tindakan saat ini mulai terbatas dan dikontrol oleh pihak yang bertugas, karena virus yang merajalela ini cukup mudah untuk ditularkan terhadap siapapun terlebih belum adanya penawar yang menjanjikan dalam menuntaskan problematika global ini.
Di Indonesia, pandemi kembali mewarnai dan membentuk siklus yang ada, sejak Maret 2020 kebijakan pemerintah diberlakukan, yaitu PSBB. Kebijakan yang berubah-ubah mulai dari PSBB mikro ataupun makro, lockdown, menerapkan WFH, kelas virtual, hingga mengizinkan untuk memasuki fase New Normal.Â
Perubahan-perubahan yang ada, kerap membuat individu ataupun kelompok sosial merasa bimbang. Pengesahan yang dilontarkan oleh pemerintah, mengenai salah satu aspek dalam organisasi sosial ini, seperti CV, Firma maupun Perseroan Terbatas, telah diizinkan untuk melakukan aktivitas kembali dengan menaati protokol kesehatan secara ketat, dan membuat peraturan untuk organisasi tersebut dalam menjalankan kegiatan produksinya sesuai dengan prosedur yang ada.Â
Seperti menggunakan masker, menjaga jarak, hingga menerapkan usulan dalam ketetapan pemerintah, yaitu dengan hanya melakukan kegiatan produksi dengan total 50% dari seluruh pegawai di perusahaan tersebut.
Pembuatan serta pemberlakuan atas hal tersebut dianalisa mampu mengurangi penyebaran virus yang ada, karena gejala virus ini cenderung hampir mirip dengan flu biasa, namun penyebaran cenderung lebih tinggi.Â
Selain itu, penerapan model New Normal dalam perusahaan juga dirasa tepat bagi pemerintah, karena selain untuk keberlangsungan perusahaan, ekonomi negara dalam memerangi pandemi ini juga akan terbantu dengan kewajiban setiap perusahaan, yaitu Tanggung Jawab Sosial Perusahaan atau CSR (Corporate Social Responsibility). CSR merupakan salah satu kewajiban yang dimiliki oleh perusahaan dalam aktivitas produksinya. Tujuan diberlakukannya CSR ini sesungguhnya menguntungkan pihak-pihak yang bersangkutan, seperti perusahaan, pemerintah maupun masyarakat sekitar. Keuntungan yang diperoleh dari masyarakat, ialah mendapatkan bantuan baik dana sosial, pemberdayaan sosial, investasi sosial seperti pelatihan yang diselenggarakan oleh perusahaan. Sementara yang diperoleh dari perusahaan ialah nama baik perusahaan di dunia bisnis. Pemberlakuan CSR ini sangat tepat karena memiliki 3 prinsip, yaitu people, planet dan profit yang dilihat sebagai satu kesatuan akan kepedulian perusahaan. Menurut Elkington dalam Herlina (2012) berdasarkan 3 prinsip tersebut. Selain didirikannya suatu perusahaan untuk mencari keuntungan (profit), perusahaan tersebut juga harus memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan manusia seperti menyediakan program beasiswa bagi pelajar sekitar perusahaan, pendirian sarana pendidikan dan kesehatan, maupun penguatan ekonomi lokal (people).Â
Serta perusahaan harus peduli terhadap lingkungan hidup dan keberlangsungan keragaman hayati, seperti upaya penghijauan, penyediaan air bersih, perbaikan pemukiman, ataupun pengembangan pariwisata (ekoturisme) untuk recovery dampak yang dihasilkan dari produksi aktivitas perusahaan tersebut (planet).
Jika ditilik dalam situasi serta kondisi yang terjadi belakangan ini, perusahaan sedang mengalami fase dilema dalam menjalankan aktivitas produksinya.Â
Kegelisahan dalam tetap menjalankan kegiatan produksi untuk mencari keuntungan dan mempertahankan keberlanjutan perusahaan di masa pandemi atau mengutamakan kesehatan pegawainya dengan memberlakukan WFH. WFH memiliki dasar hukum yang tertuang dalam UU No. 13 tahun 2013 pasal 86 tentang Ketenagakerjaan, dimana setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memeroleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja.Â
Kebijakan pemerintah yang menugasi pemimpin perusahaan untuk melaksanakan WFH kerap membuat perekonomian perusahaan mengalami resesi atau kemerosotan.Â
Karena faktor tersebutlah, banyak perusahaan yang harus mengambil keputusan dalam menindaklanjuti persoalan tersebut, seperti melakukan PHK atau Pemutusan Hubungan Kerja bagi karyawannya, karena dirasa sulit mengupahi mereka disaat perusahaan berhenti sejenak dalam melakukan kegiatan produksinya.Â
Namun, sesungguhnya PHK tidak bisa dilakukan secara sepihak dalam situasi apa pun, termaksut dalam situasi darurat seperti ini, karena telah tercantum dalam UU No. 13 Tahun 2003 yang berbunyi bahwa pihak perusahaan, serikat pekerja, maupun pekerja dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja. Tetapi realita yang terjadi banyak perusahaan yang melakukan PHK terhadap karyawannya semasa pandemi ini, dengan alasan-alasan yang cukup konkrit sebagai bukti bahwa perusahaan melakukan tindakan yang tepat untuk menghadapi situasi seperti ini.Â
Saling berkaitan, karena banyak perusahaan yang memutus hubungan pekerjaan dengan karyawannya, maka meningkat pula pengangguran di Indonesia serta memengaruhi ekonomi Indonesia dan siklus tersebut berulang.
Situasi serta kondisi yang menjebak ini, wajib dijalankan oleh seluruh perusahaan, meski diibaratkan dengan istilah maju kena mundur kena, perusahaan harus tetap konsisten dalam mengambil keputusan dengan pertimbangan yang matang dengan perspektif dari perusahaan itu sendiri, kebijakan pemerintah, pegawai dan juga masyarakat.
Periode berlangsungnya New Normal sudah mengembalikan sedikit dari produktivitas perusahaan dalam menjalankan aktivitasnya dengan mematuhi protokol kesehatan. Hal tersebut sangat ditekankan melihat sirkulasi pada saat bekerja cukup sempit dan ditempatkan di ruangan yang sama dengan berbagai individu yang bisa saja telah terkontaminasi saat perjalanan menuju perusahaan. Mengesampingkan transformasi pekerjaan, informasi baru telah dilansir pada 1 Juli 2021 dilaman folkative, pemerintah akan menerapkan PPKM (Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat) darurat, karena didasari dengan lonjakan kasus Covid di setiap daerah yang sangat tinggi hingga sempat menginjak diangka 21.000 kasus positif sehari pada tanggal 26 Juni silam yang dilansir oleh cnnindonesia. Penerapan PPKM darurat ini diberlakukan pada Jawa dan Bali mulai tanggal 3-20 Juli nanti, dengan kriteria WFH 100% untuk sektor nonessential, pembelajaran daring, tidak melayani makan ditempat bagi restaurant dan juga penutupan mall, PPKM tersebut dianggap menjadi langka nyata dan tegas untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19.
Dilema kembali singgah terhadap dunia bisnis, pasalnya new normal dalam menjalani aktivitas produksi dibeberapa perusahaan terhitung baru dilaksanakan, namun kini harus kembali menjalankan amanat yang disampaikan oleh Presiden. Pulau Jawa khususnya daerah jabodetabek merupakan pusat industry dan juga menjadi daerah dengan kasus positif Covid yang tinggi, melihat daerah ini padat penduduk sehingga memberikan peluang yang besar dalam meningkatkan kasus Covid tersebut.
Penurunan penghasilan banyak perusahaan mengakibatkan ketidaksesuaian dengan apa yang dibutuhkan, seperti pepatah mengatakan, lebih besar pasak daripada tiang, maka hal tersebut menjadi problematika internal perusahaan, dengan melibatkan banyak individu yang menggantungkan kehidupannya berdasarkan hasil upah dari perusahaan atas tenaga yang dikeluarkan untuk bekerja, dan juga kewajiban perusahaan dalam menaati kewajibannya mengenai CSR. Waktu terus berjalan hingga perusahaan harus mengambil keputusan lagi di tengah kondisi yang sulit ini, awalan untuk mengembalikan posisi perusahaan sebelum adanya pandemi, kini tertunda lagi karena kasus yang semakin hari kian melonjak.
Berdasarkan tuntutan dan kewajiban yang dimiliki perusahaan disaat keadaan seperti ini, membuat perusahaan bimbang dalam mengambil keputusan, baik dalam menaati peraturan pemerintah demi memutus rantai penyebaran Covid-19 yang melibatkan kesehatan pegawai meski ketetapan batas waktu yang belum terjamin atau masih bisa diperpanjang berdasarkan grafik penyebaran yang terjadi dihari depan, ataupun membiarkan perusahaan terjadi kerugian yang besar hingga pahitnya perusahaan gulung tikar karena berkurangnya penghasilan karena intensitas pekerjaan yang menurun tetapi tetap harus mengupahi karyawan yang ada. Problematika tersebut dirasakan oleh seluruh perusahaan baik yang bergerak dalam bidang kuliner, jasa, manufaktur, industry, dan sebagainya. Dilansir pada laman Gajimu.com, solusi yang hadir untuk menyelesaikan komplikasi yang ada, perusahaan bisa mengajukan upaya penangguhan pembayaran upah sesuai dengan UMP ke Gubernur dengan ketentuan mampu membuktikan dan membuka laporan keuangan perusahaan tersebut secara transparan ke Gubernur karena keuangan perusahaan terdampak pandemi. Bila pengajuan disetujui, dan dibuat ketetapan oleh Gubernur, maka perusahaan dapat membayar upah pegawai di bawah standar UMP. Namun, hal tersebut berlaku hanya pada saat pandemi berlangsung, dan perusahaan wajib membayarkan kekurangannya sesuai dengan UMP di tahun berikutnya.
Daftar Pustaka:
Astri, Herlina. 2012. Pemanfaatan Corporate Social Responsibility (CSR) Bagi Peningkatan Kualitas Hidup Manusia Indonesia. Jurnal Aspirasi. 3(2): 151-165.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H