Mohon tunggu...
Prisca Yulanda
Prisca Yulanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kajian Pembuktian dalam Hukum Acara Perdata di Indonesia

6 Maret 2024   22:05 Diperbarui: 6 Maret 2024   22:19 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Alat bukti surat jenis ini tidak sengaja dibuat sebagai alat bukti sehingga tidak selalu dibubuhi tanda tangan. Terhadap surat yang tidak termasuk akta ini tidak terdapat pengaturan khusus mengenai kekuatan pembuktian yang melekat pada surat tersebut sehingga kekuatan pembuktiannya diserahkan kepada pertimbangan hakim (Sudikno Mertokusumo, 2002). 

Pada prakteknya, dalam persidangan banyak diajukan alat bukti surat berupa salinan atau fotokopi. Mengenai hal ini diatur dalam Putusan MA No. 3609 K/Pdt/1985 yaitu apabila surat asli dari fotokopi tidak pernah diajukan atau eksis , maka surat tersebut harus dikesampingkan sebagai alat bukti. Adapun Putusan MA No. 112 K/Pdt/1996 menyatakan bahwa fotokopi surat yang tidak dapat disertai dokumen aslinya dan tanpa diperkuat atai didukung  oleh keterangan saksi dan alat bukti lainnya tidak dapat digunakan sebagai alat bukti (Albert Aries,2013). 

ALAT BUKTI KETERANGAN SAKSI

Saksi adalah pihak yang memberikan keterangan di hadapan pengadilan mengenai apa yang mereka ketahui, lihat dan alami sendiri sehingga melalui kesaksian tersebut, suatu perkara menjadi jelas (Darwan Prinst, 1996). Dalam memberikan kesaksian, maka saksi akan memberikan penjelasan secara lisan dan pribadi (tidak dapat diwakili oleh pihak lain) di persidangan kepada hakim mengenai peristiwa yang disengketakan. 

Dalam hal apabila ada seorang saksi testimonium de auditu, yang berarti ia memberikan keterangan berdasarkan apa yang ia dengar dari orang lain, maka seharusnya kesaksian tersebut tidak dapat dipertimbangkan sebagai alat bukti saksi. Akan tetapi, dalam hal hakim merasa perlu, maka kesaksian tersebut dapat digunakan untuk menyusun persangkaan dan melengkapi keterangan saksi yang dapat dipercaya (Sudikno Mertokusumo, 2002). Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa kekuatan pembuktian keterangan saksi adalah bebas sesuai dengan kebijaksanaan hakim. 

Seperti halnya dengan Hukum acara Pidana, pada Hukum Acara Perdata juga diterapkan asas Unus Testis Nullus Testis yang berarti bahwa satu saksi bukanlah saksi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 169 HIR. Artinya, dalam membuktikan sesuatu dengan saksi, maka setidak-tidaknya harus ada minimal dua orang saksi. 

Dalam Pasal 171 HIR, agar keterangan seorang saksi dapat dianggap benar, maka saksi tersebut juga harus dapat menjelaskan sebab ia mengetahui peristiwa yang diterangkannya. Kekuatan pembuktian dalam hal alat bukti keterangan saksi tidak mengikat hakim. Dalam Pasal 172 HIR dijelaskan bahwa dalam pertimbangan mengenai dipercaya atau tidaknya suatu kesaksian, hakim harus mempertimbangkan kesesuaian antar-saksi dan juga dengan alat bukti lainnya yang diajukan. 

selain itu, yang perlu diperhatikan juga adalah mengenai hubungan kesaksian dengan perkara yang disengketakan, adat-istiadat dan martabat saksi, dan segala hal yang dapat dijadikan dasar dipercayai atau tidaknya suatu kesaksian. Apabila ada alasan bagi hakim untuk tidak mempercayai suatu kesaksian, maka hakim dapat menolak kesaksian tersebut.

Kewajiban yang dimiliki oleh orang yang dipanggil sebagai saksi dalam persidangan adalah wajib untuk menghadap, wajib untuk bersumpah, dan wajib untuk memberikan keterangan (H. Enju Juanda, 2016). Akan tetapi, terdapat beberapa golongan orang yang tidak diperbolehkan untuk bertindak sebagai saksi, yang secara umum dapat dibagi menjadi mereka yang dianggap tidak mampu secara mutlak dan yang tidak mampu secara nisbi. 

Mereka yang tidak mampu secara mutlak tidak diperbolehkan memberikan kesaksian kepada hakim. Saksi yang tidak mampu secara mutlak terdiri dari keluarga sedarah dan keluarga semenda menurut garis keturunan yang lurus. Pasal 145 ayat (1) HIR, Pasal 172 ayat (1) RBG, dan Pasal 1910 KUHPerdata memberi batasan tersebut karena mereka dianggap tidak objektif dalam memberikan kesaksian serta untuk menjaga hubungan keluarga yang baik. 

Akan tetapi, dalam Pasal 145 ayat (2) HIR, Pasal 172 ayat (2) RBg, dan Pasal 1910 KUHPerdata, kesaksian mereka tidak dapat ditolak dalam perkara yang menyangkut kedudukan keperdataan serta dalam perkara perjanjian kerja. Sebaliknya, dalam kasus pemberian nafkah dan pencabutan kekuasaan orang tua, mereka tidak dapat mengundurkan diri dalam memberikan kesaksian (Pasal 1910 KUHPerdata). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun