Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Kampuan Nang Jauah di Mato

25 April 2023   20:34 Diperbarui: 25 April 2023   20:37 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi. Salah seorang sahabat, sekarang doi Dokter Spesialis Anak. 

Siapa yang masa kecilnya sering mendengar lagu Kampuang Nan Jauah di Mato? Saat itu aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Penyanyinya Cikita Meidy. Siapa sangka bertahun-tahun kemudian aku menjadi urang sumando, menikah dengan gadis Minangkabau?

Hal ini memperkaya (sekaligus memperumit) jawaban bila aku ditanya hendak ke mana aku pulang kampung pada saat lebaran? Sebab, ada 3 pilihan jawaban. Yang pertama, pulang kampung ke Palembang, tempat keluarga besarku berada. Yang kedua, ke Banyumas, tanah leluhurku. Dan yang ketiga, ke Talang Babungo di Solok, Sumatra Barat yang merupakan kampung istriku. 

Maka pertanyaan selanjutnya adalah apa yang paling dirindukan dari kampung halaman itu? Jawabannya sangat sederhana, tetapi menyimpan keharuan. Ya, orang tua. Alasan utama perantau pulang ke kampung halaman adalah untuk menengok orang tua. Melihat wajah mereka yang kian menua dan mengenang masa kecil bersama mereka. 

Kampung halaman tanpa orang tua tak akan pernah lagi sama. Setidaknya itu yang kumaknai dari melihat interaksi antara orang tuaku dengan orang tuanya. Bapakku adalah seorang perantau yang menginjak tanah Sumatra sejak kecil bersama orang tua angkatnya. Orang tua kandungnya ada di Banyumas. Empat bersaudara yang merantau ke Sumsel, dan masih teringat semasa kakek-nenekku masih ada, setidaknya sekali dalam 2 tahun, kami akan konvoi mudik. Biasanya lebaran kedua-ketiga berangkat dari Palembang ke Jawa. Kemudian rutinitas itu menghilang ketika tahun 2005, nenekku meninggal, menyusul kakekku. Tersisa bude dan bulik saja di Banyumas. Hanya tahun 2014, keluarga Sumatra kami konvoi lagi ke Banyumas saat lebaran. Selain itu, sifatnya silaturrahim yang tentatif.

Karena itulah, jika tidak ada halangan yang berat, sebisa mungkin kami mudik. Meski saat itu pernah kami tinggal di Sumbawa, NTB. Mudik tetap kami jalani. Sumbar-Sumsel yang total ditempuh sekitar 20 jam, kami tempuh untuk bergiliran sungkem kepada orang tua masing-masing. Tak peduli tabungan habis untuk tiket pesawat, waktu bersua dengan orang tua tak bisa dinilai dengan harga.

Tentu, ada hal-hal lain yang menyertai kepulangan. Ada yang dinapaktilasi karena hal-hal tersebut tidak bisa didapatkan di tanah rantau. Kuliner berada menonjol dalam napak tilas lidah itu. Kalau ke Palembang, tentu saja yang namanya pempek tidak boleh dilewatkan. Walau di Jabodetabek sudah banyak yang menjual pempek, soal rasa tidak bisa tergantikan. Selain pempek, makanan Palembang lain yang langsung dicoba adalah pindang. Mulai dari pindang patin, pindang lais, hingga pindang tulang. Tak peduli varian pidang Sekayu, pindang pegagan, hingga pindang Musi Rawas, semuanya aku suka. Dan yang ketiga yang wajib mampir di lidah adalah martabak telur khas Palembang. Kalau yang ini biasanya aku sengaja makan di dekat sekolahku di SMAN 3 Palembang. Rasa nostalgia jajan di sana saat masa sekolah menjadi bumbu penyedap yang luar biasa.

Lain Palembang, lain Minang. Istriku selalu merindukan kerupuk leak. Opak yang ditaruh kuah sate padang. Sate padangnya pun menggoyang lidah. Selain itu, ada miso pical. Ini makanan agak aneh karena mi dikasih bumbu pecel. Kalau makanan Minang yang kugemari adalah masakan ibu mertuaku. Mulai dari rendang hingga ayam lado merahnya lebih enak dari resto Padang bermerk di Jakarta. Dan yang menjadi favoritku adalah ikan bilis. Konon ikan ini hanya ada di Danau Singkarak dan Danau Maninjau. Enak sekali.

Dokumentasi pribadi.
Dokumentasi pribadi.

Dari segi pemandangan, tidak ada yang spesial di Palembang. Paling-paling hanya melipir sejenak ke Benteng Kuto Besak sambil menikmati pemandangan Jembatan Ampera. Cuacanya yang panas tak beda dengan Jakarta. Makanya, kalau pulang ke Palembang aku lebih banyak di rumah atau mengunjungi saudara-saudaraku. Beda kasus kalau pulang ke Talang Babungo, alamnya memang sangat indah. Dari kebun teh hingga Danau Kembar, sawah menghijau ala Tegal Lalang hingga air terjun, semua ada. Sayangnya satu, kalau pulang saat musim liburan, ya kita tidak bisa menjelajah Sumbar secara lebih luas karena pasti macet. Jadi kami cuma berada di kampung saja, menjelajahi alam yang masih asri.

Pantai Menganti. Dokumentasi pribadi.
Pantai Menganti. Dokumentasi pribadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun