Syahdan, tokoh kita bernama Mat Degan. Asli dari Sungai Lilin. Setelah beranjak dewasa, Mat Degan penasaran dengan tanah leluhurnya di Banyumas. Ya, meski sudah totok berlogat Sungai Lilin, sebuah wilayah di Musi Banyuasin, Mat Degan punya darah Jawa dari kakeknya yang dibawa Belanda ke tanah Sumatra sebagai pekerja.
Mat Degan tahu dia harus naik kereta di Palembang sampai ke Lampung. Berangkatlah Mat Degan ke Stasiun Kertapati, ditemani dua sahabatnya yang bernama Subur dan Maehan beberapa hari sebelum lebaran.
Dulu, pengawasan di stasiun kereta belum seketat sekarang. Stasiun sangat ramai. Siapa saja boleh masuk ke area tunggu tanpa diperiksa tiket keretanya.
Mereka bertiga sampai ke Kertapati menjelang Magrib. Menunggu kereta datang pukul delapan malam, mereka berbuka terlebih dahulu. Merokok. Bersenda gurau.
Ya, senda gurau ala orang Sumatra Selatan seringkali berlebihan. Sampai bisa lupa waktu karena begitu serunya. Kereta datang mereka masih asik bercanda. Paling-paling masih belum berangkat, pikir mereka.
"Mat, kemarin puasaku batal," ujar Subur yang tubuhnya sesuai namanya.
"Lah ngapo?" tanya Mat Degan.Â
"Itulah, aku tidur siang. Kelamaan. Bangun-bangun dengar suara azan, terus langsung minum dan makan. Tahu-tahunya belum Magrib. Masih Ashar," jelas Subur.
"Kok bisa cak itu?" tanya Maehan.
"Iya, soalnya kok azan Ashar sama kayak azan Maghrib."
Ternyata Subur cuma berkelakar.
"Ai, aku juga pernah batal puasa waktu awal-awal puasa kemarin. Pening kepalaku. Aku kira minum Bodrex nggak akan batal. Tahunya batal." Kali ini Maehan yang bercerita.
"Siapa yang bilang minum Bodrex nggak batal? Salah kamu nian itu."
"Itu di iklan, katanya Bodrex boleh diminum kapan saja dan di mana saja."
***
Lagi asik berkelakar, sambil makan gorengan, tiba-tiba kereta yang sudah lama parkir itu berbunyi. Kereta akan segera berangkat. Terkejutlah mereka, terlebih makanan yang mereka pesan belum habis semua. Subur apalagi, masih sibuk mengunyah gorengan. Mereka segera ke kasir untuk membayar makanan, tapi sang kasir tidak punya kembalian sehingga harus mencari kembalian di toko sebelahnya terlebih dahulu.
"Cepatlah, Mbak, kereta la nak berangkat ini!" teriak Mat Degan panik.
Benar saja, kereta pun mulai berjalan. Sang kasir dengan tergesa memberikan kembalian. Namun, kereta sudah mulai berjalan. Mereka bertiga pun mulai berlari membawa barang-barang yang mau dibawa ke Jawa. Secepat mungkin mereka berlari. Maehan yang memang badannya paling ideal dengan cekatan bisa menyambar pintu gerbong. Masuklah ia ke dalam gerbong. Subur, meski gemuk, juga berhasil menyusul Maehan setelah menyambut uluran tangan Maehan. Hampir ia terjungkal saat melompat ke gerbong kereta.
Sementara kereta semakin mengebut. Mat Degan yang tadi menunggu uang kembalian punya asma. Tiba-tiba sesak dadanya saat mengejar kereta. Terduduk ia, tak sanggup berlari lagi. Kereta pun melaju meninggalkan Mat Degan.
Mat Degan yang napasnya tak beraturan terlihat pasrah. Para petugas stasiun yang melihat adegan itu bergerak hendak menghampiri Mat Degan. Begitu dekat, para petugas terhenyak melihat Mat Degan yang harusnya bersedih atau bahkan menangis malah tertawa terbahak-bahak.
Karena penasaran, salah satu petugas bertanya, "Hei, kenapa kamu malah tertawa? Bukannya sedih ketinggalan kereta...."
Mat Degan menjawab, "Bukan begitu, Pak. Memang aku ketinggalan kereta. Tapi seharusnya yang berangkat tuh cuma aku. Kawanku berdua tadi cuma mengantarku saja..."
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H