Kita harus terlebih dahulu melihat rinciannya sih. Kita lihat sisi baiknya dulu, dari Belanja Pemerintah Pusat, Belanja Bantuan Sosial mencatat kinerja yang lebih baik karena ada peningkatan bantuan Program Indonesia Pintar (PIP), Program Keluarga Harapan (PKH) tahap 1 dan bantuan Kartu Sembako untuk penyaluran bulan Januari dan Februari serta percepatan bantuan bulan Maret. Ini sangat penting karena menjadi penyangga agar rakyat tidak jatuh ke jurang kemiskinan akibat krisis ini.
Sementara itu untuk belanja modal dan belanja barang, geraknya masih terlihat "hati-hati", dan ini masih menjadi PR besar dari Pemerintah untuk mempercepat penyerapan di kedua jenis belanja tersebut. Jangan sampai menumpuk di akhir tahun terutama untuk belanja modal karena tidak akan berpengaruh banyak terhadap pertumbuhan ekonomi pada tahun berjalan.
Nah, untuk akibat dari kondisi geopolitik dunia tadi, tecermin dalam belanja subsidi. Ternyata negara sudah cukup "terbebani" dengan tekanan tadi, dan yang pasti akan lebih berat dalam bulan-bulan mendatang.
Realisasi belanja subsidi sampai dengan akhir Februari 2022 mencapai Rp21,65 triliun (10,46 persen dari pagu APBN 2022), atau meningkat 75,29 persen (yoy). Realisasi belanja subsidi tersebut meliputi subsidi energi sebesar Rp21,64 triliun atau naik 75,23 persen (yoy).
Sebab per kemarin, Pertalite sudah masuk dalam bahan bakar bersubsidi. Tentu beban pemerintah akan semakin bertambah karena itu. Menarik kita simak kebijakan apa yang akan diambil Pemerintah dalam beberapa waktu mendatang mengingat subsidi energi ini akan berdampak pada harga listrik, harga BBM, dan harga gas, yang menjadi salah satu elemen penting inflasi. Ditambah sebentar lagi ada inflasi musiman bulan puasa dan lebaran.Â
Kondisi tersebut masih mencatatkan nilai Realisasi APBN surplus sebesar 0,11 persen terhadap PDB (sampai dengan 28 Februari 2021 defisit APBN sebesar 0,37 persen terhadap PDB).Â
Kalau surplus harusnya nggak utang? Ini agak susah dijelaskan, tapi kita tetap punya realisasi utang.
Realisasi Pembiayaan didominasi oleh Pembiayaan Utang sebesar Rp92,91 triliun. Lebih rinci, realisasi Pembiayaan Utang tersebut terdiri atas realisasi Surat Berharga Negara (Neto) sebesar Rp67,67 triliun dan Pinjaman (Neto) sebesar Rp25,24 triliun. Pinjaman ini berasal dari Pinjaman Luar Negeri sebesar Rp25,44 triliun.Â
Buat apa? Pada Februari 2022, Pemerintah melakukan pembayaran Cicilan Pokok Pinjaman Dalam Negeri sebesar negatif Rp206,00 miliar. Sementara itu, Pemerintah melakukan penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto) sebesar Rp32,48 triliun. Namun, Pemerintah juga melakukan pembayaran Cicilan Pokok Pinjaman Luar Negeri sebesar negatif Rp7,04 triliun. Di samping Pembiayaan Utang, Pemerintah juga merealisasikan Pembiayaan Investasi sebesar negatif Rp9,94 triliun dari Investasi kepada BLU sebesar negatif Rp10,00 triliun.
Penerimaan Kembali Investasi sebesar Rp57,90 miliar, Pemberian Pinjaman sebesar Rp953,90 miliar dan Pembiayaan Lainnya sebesar Rp38,20 miliar. Sederhananya, ini ilmunya World Bank, Keynes, bahwa cicilan utang dibayar dengan utang baru. Karena cost of fund rupiah murni itu lebih tinggi dari utang baru.
Lebih lengkapnya, silakan unduh APBN Kita ya.