Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Menjadi PNS Digital Ala-Ala

26 Februari 2022   12:02 Diperbarui: 26 Februari 2022   12:05 1506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hal konyol apa yang pernah kalian lakukan selama rapat? Aku tahu ini konyol, tapi selama pandemi dan kebijakan work from home dilakukan, aku jarang sekali pakai celana panjang. Ya, meski atasan sudah berkemeja rapi, aku lebih suka pakai celana pendek, atau yang biasa orang sebut sebagai kolor. Toh, para peserta rapat online yang lain tak akan tahu. Yang penting senyumku sudah sempurna di depan kamera!

Kalau boleh disebut, inilah yang dinamakan blessing in disguise itu. Berkah terselubung. Yang di dalam Alquran disebutkan di Surat Al-Insyirah. Dua kali diulang dalam ayat 5 dan 6. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Aku lebih memilih tafsir bersama kesulitan ketimbang sesudah kesulitan. Karena itu aku meyakini di dalam kesulitan macam apa pun, Tuhan menyertakan kemudahan. Dalam konteks pandemi, di satu sisi itu adalah peluang untuk merefleksikan hidup menjadi lebih baik.

Kini, aku tak perlu setiap hari naik KRL Citayam-Juanda, berangkat ketika anakku yang masih balita belum terbangun, dan pulang (sampai ke rumah) ketika dia sudah tertidur. Saat hari kerja, 12 jam paling sebentar aku di luar rumah. Sering aku bertanya-tanya, apa maknanya? Dan merindukan masa kerja di kantor vertikal di daerah seperti saat masih di Sumbawa yang menyuguhkan hidup yang lebih berkualitas, sebab begitu dekat kantor dari kami berumah tinggal, sehingga bila istirahat siang, aku bisa pulang untuk makan siang. 

Keresahan ini tentu saja bukan hanya milikku. Work-life balance. Frasa ini menjadi harapan bagi banyak pekerja. Bagaimana caranya kualitas kerja meningkat tanpa mengorbankan kualitas hidup. Kebijakan berlahiran mulai dari flexy-time yang juga ditujukan untuk memberikan kesempatan para orang tua mengantar anaknya sekolah hingga soal flexible working space. 

Ide soal flexible working space di Kementerian Keuangan sebenarnya sudah mulai didendangkan jauh sebelum pandemi. Saat ide ini kami dengar, tentu saja betapa gembira membayangkan bila hal itu dapat diwujudkan. Bangun membuka laptop, login ke aplikasi, dan daftar tugas yang harus dilakukan hari itu muncul di desktop. Dan hanya ke kantor untuk urusan yang mendesak dan tidak bisa diwakilkan.

Dalam perjalanannya ide ini bukan wacana kosong karena pembangunan infrastruktur digital untuk mewujudkan ide itu juga sudah dibuat ancang-ancangnya. Lalu boom pandemi datang, dan jujur saja aku harus sangat bersyukur dengan kantorku. Transformasi digital terjadi dengan cepat dan apa-apa yang menjadi bayangan itu terwujud nyata.

Terlebih atasanku sangat suportif menjunjung tinggi kesehatan pegawainya. "Dik, hukum tertinggi itu keselamatan rakyat. Makanya Perppu kedaruratan itu sah demi hukum," ucapnya saat menjelaskan tentang filosofi Perppu Kedaruratan waktu itu. "Begitu juga saya.... Saya akan berdosa bila saya sewenang-wenang menyuruh kalian datang ke kantor setiap hari. Yang penting, ada yang piket datang ke kantor, kalian menjaga integritas dan tanggung jawab dengan tetap bekerja baik dari rumah. Dan jaga koordinasi kita semua!"

Berkah lain dari pandemi adalah ruang yang diberikan ke kami semakin luas. Beliau meminta kami untuk ikut pada setiap rapat dan seminar yang ada (selama tidak berbenturan dengan jadwal lain), meski hanya menyimak. Alhasil, banyak sekali pengetahuan baru yang kudapatkan sebagai hanya seorang pelaksana.

Dua rapat online. Dokumentasi pribadi.
Dua rapat online. Dokumentasi pribadi.

Dalam kondisi normal, rapat yang kuikuti selain yang sifatnya umum, hanya yang terkait tugas di seksiku. Kini aku mulai memahami filosofi di balik suatu kebijakan, terutama dalam bidang keuangan negara. Salah satu sosok yang sangat berkesan menjadi narasumber dalam hal itu adalah Drs. Siswo Sujanto, DEA. Beliau adalah Ahli Hukum Keuangan Negara dan merupakan otak pembuat UU Keuangan Negara. 

Dari beliau aku belajar bahwa UU Keuangan Negara sendiri mencakup bidang dan aspek yang lebih luas yang tidak hanya persoalan administrasi negara, tetapi juga kaedah hukum tata negara karena meliputi hak-hak dan kewajiban-kewajiban pokok negara serta hubungan antara lembaga negara dalam penyelenggaraan pemerintahan.

Jadi, tidak bisa sebenarnya kita membuat kebijakan dengan hanya benchmarking ke negara-negara maju lalu ingin menerapkannya mentah-mentah. Ada konteks hukum tata negara yang harus ditaati di sana.

Dalam rapat-rapat itu, kendala yang kuhadapi adalah sinyal dan kuota. Bulan-bulan pertama aku hanya mengandalkan jaringan dari provider seluler. Ternyata, kebutuhan kuotaku tinggi sekali.

Aku baru tahu bahwa 1 jam rapat lewat zoom itu membutuhkan kuota 360 MB hingga 1,35 GB  (bahkan versi Makeuseof: 540Mb hingga 1,62GB) dengan kecepatan ideal 800 kbps -- 3 Mbps. Dan dalam sehari waktu rapatku rata-rata 4 jam. Anggaplah 1 GB/jam, maka dalam sebulan aku membutuhkan setidaknya 80GB. Itu baru kebutuhanku, belum ditambah dengan kebutuhan anakku yang juga sekolah dari rumah, dan istriku yang berjualan online.

Dan di rumahku, sinyal seluler ini tidak stabil. Pernah aku diundang Tempo Institute menjadi narasumber untuk bicara peran Chairil Anwar dalam perpuisian Indonesia. Itu memalukan sekali sih karena aku mengalami kendala sinyal. Itu membuatku tampak sangat tidak profesional.

Menyiapkan jaringan terbaik adalah bagian dari profesionalisme. Karena itu kita harus cerdas memilih provider terbaik. Pertimbangannya bukan hanya murah, tetapi juga soal stabilitas jaringan, dan kecepatan pelayanan. Beberapa bulan pertama aku sempat memakai provider X, dan bermasalah melulu. Terutama ketika hujan turun. Hampir pasti mati. Sampai akhirnya aku beralih ke IndiHome.

Jatuhnya pilihanku ke IndiHome ini berdasarkan pilihan sadar dengan beberapa data pendukung. Enciety Business Consult melakukan riset pendalaman terkait Quality of Service (QoS) provider fixed broadband melalui Direct Observation di 8 (delapan) kota di Indonesia, yakni Medan, Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Balikpapan, dan Makassar. Hasilnya bagaimana? Provider dengan rata-rata throughput performance paling baik adalah IndiHome! Selain itu, ukuran latency juga diperlukan untuk menentukan internet terbaik. Dan salah satu dari tiga provider yang menempati peringkat latency terbaik (2.0 ms) adalah IndiHome! 

Sederhananya, latency itu adalah waktu yang dibutuhkan data dari asal sampai tujuan dengan diukur dalam satuan mili detik. Istilah mudahnya adalah delay/penundaan. Contohnya, kita saat ini di Jakarta mengirim email dengan attachment foto kepada teman yang berdomisili di New York, Amerika Serikat. Saat email dikirim, akan terjadi latency sepersekian milidetik sebelum email diterima. Ukuran latency ini bakal ngaruh banget terutama buat main game.

Pada dasarnya, beberapa tahun terakhir aku sudah pasrah sebagai pelaksana biasa. Tidak ada ambisi untuk menjadi pejabat atau apa. Namun, jujur saja, rapat-rapat itu membuat pikiranku terbuka. Betapa indahnya pengetahuan dan di titik tersebut aku merasa sebagai debu yang tidak berarti. Muncul motivasi untuk kuliah lagi dan syukurlah kemudian aku mendapatkan beasiswa S2 Administrasi Publik dari Bappenas.

Perkuliahan masih dilakukan secara online. Dan intensitas nge-zoom bertambah. Dalam sehari, ada 3 mata kuliah yang kuikuti, dari jam 8 pagi hingga jam 4 sore. Sekitar 7-8 jam ngezoom, sampai-sampai guyonnya.... manusia bukan lagi zoon politicon, melainkan zoom politicon. Tentu waktu online-nya bukan hanya itu. Rata-rata aku online sampai jam 12 malam untuk mencari bahan tugas. 

Kebutuhan online keluarga kami bertambah, apalagi anakku yang besar sudah kuikutkan les di Kampung Inggris yang kelasnya setiap hari. Si Bungsu juga sudah paham mendengarkan lagu lewat Youtube. Jadi kini, paket IndiHome yang terpasang di rumahku adalah paket 50 Mbps. Paket 50 Mbps ini benar-benar mendukungku melakukan aktivitas di rumah tanpa batas, secara online.

Meskipun dalam status tugas belajar alias berkuliah lagi, atasanku secara terbuka mengizinkanku untuk ikutan rapat. Kalau tidak berbenturan dengan jadwal kuliah, aku dengan senang hati akan ikut serta. Seperti beberapa hari lalu aku menyusup untuk menyimak soal evaluasi terhadap SAKTI dari sisi proses bisnisnya. Aku juga masih diundang dalam beberapa rapat terkait spesialiasi yang kumiliki dan menjadi narasumber dalam berbagai kesempatan seperti Education Week, dll.

Jadi narsum online. Dokumentasi pribadi.
Jadi narsum online. Dokumentasi pribadi.

Tadinya aku bahkan mau bikin kelas menulis untuk menambah-tambah penghasilan. Namun ternyata, kuliah S2 tidak semudah itu, Ferguso! Tugasnya menumpuk dan kepala terasa ditimpuk. 

Bayangkan, kalau dunia tidak bertransformasi digital, apa hal-hal itu bisa kulakukan? Tentu saja tidak. Digitalisasi dalam berbagai bidang itu membuka banyak sekali kesempatan buat kita untuk menggali dan mengembangkan diri.

Namun sedalam-dalamnya aku menggali, seluas-luasnya aku berkembang, ada satu hal yang tidak berubah---dan bahkan lebih parah. Ya, aku tetap sering kuliah pakai kolor, dan kadang belum mandi kalau kuliah pagi. Yang penting kan rapi, dan kata seorang teman, "Sebab mandi itu hanya untuk orang-orang kotor...."

(2022)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun