Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Akhirnya, Sindiran-sindiran K-Rewards Itu Menemukan Titik Terang

27 Oktober 2021   19:20 Diperbarui: 27 Oktober 2021   19:28 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa minggu lalu, seorang Kompasianer tiba-tiba menyapa saya di Whatsapp. "Mas Pring, apa lagi tes ombak?"

Dia bertanya hal itu tepat setelah saya juga menulis hal yang dalam beberapa bulan terakhir menjadi hal yang paling banyak dibaca di Kompasiana. Tentu saja, saya penggemar komik itu sejak komik itu terbit, dan rela menjadi leecher di Comlabs ITB, menunggu episode baru animenya, menantikan chapter terbarunya. Jadi saya pun mencoba ikut-ikutan. Mana tahu viewsnya lumayan. 

Hasilnya, jauh dari harapan. 

Pengalaman sebagai admin medsos sebuah penerbit membuat saya akrab dengan fitur ads, terutama di Facebook. Sedikit-banyak masih pahamlah soal bagaimana memaksimalkan sosial media lewat fitur iklan. Saya pun mencoba fitur itu, mengatur sasaran/target, dan saya tahu mengundang aksi klik web itu adalah hal paling sulit dari fitur iklan media sosial, jauh lebih sulit dari membangun engagement untuk like dan share. Iklan harian untuk Facebook adalah minimal Rp20 ribu (ditambah dengan PPN 10%). Saya pun mencobanya.

Hasilnya, tetap jauh dari harapan.

Datanglah seorang Kompasianer yang lain lagi. Dia menyuarakan kegelisahannya, kecurigaannya, bahwa ada orang-orang yang pakai tools tertentu untuk menaikkan view.

Yang bikin penasaran, tools apakah yang dipakai supaya bisa terhitung di Google Analytic?

Fitur ads di sosial media rasanya tidak mungkin untuk mendapatkan view yang lumayan, kecuali seseorang itu bertaruh, beriklan dalam jumlah yang cukup besar. Karena bisa saja nggak balik modal.

Maka, saya pun mencari kemungkinan-kemungkinan yang ada:

Platform Views for Views

Lewat platform ini, kita bisa mendapatkan jumlah view dengan membayar sejumlah tertentu. Begitu pun kalau kita melakukan views ke laman orang lain, kita bisa mendapatkan bayaran. Tarifnya beragam, tergantung jumlah waktu views. Dari 10-ratusan rupiah/views.

Hanya saja, platform ini ternyata memiliki kelemahan besar. Saya coba di blog. Bukannya menaikkan pendapatan Adsense, tetapi malah ada notifikasi di Adsense, bahwa saya bisa saja kehilangan pendapatan. We found your ad code on one or more sites that aren't on your Sites list. To avoid lost revenue, make sure you add all your sites to this list. Artinya, saya harus pasang kode Adsenseku di platform itu dong ya.

Jadi, bisa saja, sebenarnya Kompasiana mengalami kerugian juga. Pengunjung terlihat di Analytic tetapi pendapatannya tidak tercatat di Adsense. Ini hanya dugaan sih.

Tools Menaikkan Pengunjung

Selain plaform tersebut, sebenarnya ada tools menaikkan pengunjung. Pasalnya, saya berdiskusi dengan teman itu, dan tidak tahu tools apa yang bisa menaikkan jumlah pengunjung secara signifikan. Saya bilang ke teman itu, akan saya cari toolsnya. Akhirnya saya googling dua harian, dan menemukan tools yang cukup murah. Kamu bisa mendapatkan 1000 pengunjung dengan biaya hanya Rp2700.

Saya berdiskusi dengan teman yang lain lagi. Dia bilang jangan coba-coba menerapkan itu di blogmu meski tercatat di Analytic. Logaritma Google itu jauh lebih pintar dari dugaan kita. Kalau pakai tools, maka kinerja blog kita di SERP google akan turun drastis. Alias Google akan mengidentifikasi bahwa blog kita tidak kredibel.

Apakah itu juga terjadi di Kompasiana? Tidak tahu.

Admin Kompasiana Lambat Banget

Sebenarnya admin ini hadir di berbagai grup WA, mulai dari grup K sampai grup komunitas. Sudah disindir-sindir soal views yang mencurigakan.

Risiko terberat dari semua ini adalah branding K itu sendiri. Kompasiana menjadi UGC receh, tertinggal dari UGC lain yang lebih berinovasi.

Dulu, K dihormati orang karena bobot tulisannya toh. Kalau viewers sudah melebihi 10 ribu, itu berarti tulisan tersebut menjadi Headline dan mengundang dialektika baik di medsos maupun di kolom komentar dan reaksi. Tapi kita melihat ada tulisan dengan jumlah pengunjung puluhan ribu, tapi boro-boro komentarnya banyak, bahkan ada yang 0. Nggak ada yang komentar. Saya cek di medsos pun tidak mengundang engagement yang memadai.

Untuk orang awam sepertiku yang ga bergulat dengan IT saja segera sadar, oh ini red flag, gimana admin K yang sudah kerjanya begitu?

Kalau Kompasianival digelar lagi, lalu bikin kolase tulisan-tulisan yang populer, mau ditaruh di mana mukanya? Mengingat kolase-kolase yang pernah ada di tahun-tahun sebelumnya adalah tulisan-tulisan yang  patut disimak dan diperbincangkan.

Masa sih harus disindir-sindir terus atau menunggu banyak orang mengarbit tulisan-tulisannya biar viewnya banyak? Ya, akhirnya sindiran-sindiran itu menemukan titik terang. Dan semoga kebijakan ini menjadi sebuah langkah mengembalikan Kompasiana ke jalan yang lebih baik. Bila tidak demikian, relakanlah Kompasiana terdegradasi menjadi UGC receh, semata tempat orang nulis untuk ngumpulin tugas, mengarbit tulisan, atau menulis hanya bila ada lomba.... Janganlah....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun