Bila reinkarnasi itu ada, kau ingin dilahirkan kembali sebagai apa?
Aku ingin sekali menjadi sebatang pohon...
Pernah aku punya seorang teman yang suka sekali berbincang filosofis. Berjam-jam waktu kami habiskan untuk membicarakan hal-hal semacam itu. Namun, beberapa bulan lalu ia telah pergi lebih dahulu. Dan aku teringat ucapannya itu. Apakah ia akan terlahir kembali sebagai sebatang pohon?Â
Pertanyaannya terngiang-ngiang di kepala tatkala aku melihat sebatang pohon khaya yang tumbuh gagah di depan rumah orang tuaku. Aku ingat, bibit pohon itu kami tanam seusai PON tahun 2004.Â
Saat itu, orang tuaku masih berdinas di Dinas Perkebunan, dan kebagian sisa bibit itu. Tak kusangka, lebih dari 15 tahun berlalu, dipangkas beberapa kali, pohon itu menolak mati.
Kubayangkan, bila setiap orang mati dilahirkan kembali menjadi sebatang pohon, mungkin apa yang ditakutkan Sri Mulyani dan banyak petinggi dunia tidak akan terjadi. Ya, di ESG Capital Market Summit Juli lalu, Sri Mulyani mengungkap ancaman yang perlu dikhawatirkan bagi seluruh negara di dunia yang selain pandemi Covid-19. Itu adalah perubahan iklim.
Perubahan iklim ini terjadi, salah satunya karena berkurangnya hutan. Pohon-pohon besar ditebangi. Peneliti utama dari WCS dan University of Queensland, Sean Maxwell mengatakan, perusakan hutan tropis yang masih utuh adalah bom waktu untuk emisi karbon.Â
Data terbaru dari University of Maryland yang dapat diakses di Global Forest Watch menunjukkan bahwa daerah tropis kehilangan 12,2 juta hektar are tutupan pohon pada tahun 2020. Sialnya, 4,2 juta hektar atau setara dengan luas Belanda, termasuk kawasan hutan primer tropis basah yang memiliki peran sangat penting bagi penyimpanan karbon dan keanekaragaman hayati.Â
Diperkirakan emisi karbon yang dihasilkan akibat kehilangan hutan primer tersebut setara dengan emisi tahunan yang dihasilkan oleh 570 juta mobil atau lebih dari dua kali lipat jumlah mobil di jalan raya di Amerika Serikat.
Hal besar semacam itu tentu jauh dari jangkauanku. Biarlah otoritas yang mengurusnya. Aku hanya bisa mengajarkan keluargaku untuk menanam pohon. Saat di Citayam, aku menanam beberapa pohon. Ada mangga, rambutan, dan kersen. Daun-daun yang gugur darinya tidak kami bakar. Istriku yang kebetulan rajin mencari pengetahuan, belajar membuat kompos sendiri.Â
Dia membeli sebuah plastik kompos berwarna hijau. Di dalamnya, ia masukkan daun-daun kering terlebih dahulu. Lalu ia tambahkan sampah rumah tangga dari makanan sisa dan potongan bahan dapur dan sayuran. Tambahkan daun kering lagi. Lalu, beri tanah dan tambahkan air cuci beras sebagai bioaktivator. Sederhana bukan? Ini kami sempat videokan prosesnya:
Dan saat kami pindah ke Palembang, kami juga mulai menanam beberapa pohon lagi. Istriku yang paling rajin membeli bibit tanaman itu. Beberapa waktu lalu, dia membeli bibit tabebuya dan apel putsa.Â
Bayanganku sederhana, andai setiap rumah tangga berpikir sama. Setidaknya, mereka menanam satu buah pohon saja di rumah. Meski kenyataannya, perumahan-perumahan yang menjamur seringkali meniadakan keberadaaan lahan untuk menanam pohon.
Di sinilah, peran penting kebijakan pemerintah. Harapanku sebagai rakyat biasa adalah ada kebijakan yang mewajibkan pengembang menyediakan petak kecil dengan sebuah pohon yang telah tertanam di setiap rumah yang mereka jual.
Kebijakan Pemerintah dalam menanam pohon itu baru kutemukan di PERATURAN WALIKOTA BATU NOMOR 18 TAHUN 2020 TENTANG WAJIB TANAM POHON . Ini adalah contoh kebijakan yang bagus. Di dalam pasal 4 ayat 1 bahkan disebutkan, setiap orang atau badan wajib menanam pohon. Dan di ayat ke-2 disebutkan salah satu subjeknya adalah orang yang mengajukan Izin Mendirikan Bangunan untuk rumah hunian.Â
Ada cerita menarik soal menanam pohon ini. Beberapa hari lalu aku berkesempatan mengunjungi Toba. Di sana, aku berkunjung ke Taman Eden 100. Taman Eden 100 adalah wisata dengan nuansa alami dan pada saat pembentukannya ditanami oleh 100 jenis tanaman. Di sana kita juga bisa beraktivtias menanam pohon andaliman, rempah khas Toba.
Marandus Sirait, pengelola Taman Eden 100, menyulap lahan semak belukar menjadi sebuah taman hidup yang sangat indah. Karena perjuangannya, beliau pun pernah mendapat Kalpataru.Â
Namun ironisnya, penghargaan terhadap peraih Kalpataru, dari segi nominal sangatlah kecil. Padahal, mereka telah menyumbangkan oksigen bagi manusia, yang tak kalah berharganya dari mengharumkan nama bangsa.
Kesadaran soal perubahan iklim ini memiliki 2 dimensi penting, yaitu borderless issue dan long-term time span.
Borderless issue ini berarti bahwa bencana atau peristiwa yang berdampak perubahan iklim di suatu tempat atau belahan dunia, akan berdampak di tempat kita berada, atau sebaliknya. Tak hanya sisi negatifnya, tapi ada sisi positif, yaitu bila kita percaya untuk menghijaukan pekarangan kita, itu juga akan berdampak baik bagi dunia.Â
Bayangkan bila setiap rumah tangga memilih untuk tidak meng-konblok semua pekarangan mereka atau memanfaatkan semua lahan untuk bangunan, tetapi menyediakan petak kecil untuk sebatang pohon yang akan tumbuh rindang dan mampu meneduhkan dari terik matahari?
Yang kedua, adalah long-term time span issue, bahwa proses perubahan iklim terjadi dalam kurun waktu yang panjang, antara 50 sampai 100 tahun. Menanam pohon itu menjadi sebuah warisan panjang untuk anak cucu kita kelak.
Dalam hal ini, kita patut juga mengingat kisah Mbah Sadiman. Pria asal Wonogiri itu sendirian secara konsisten menanam pohon di bukit di dekat rumahnya. Pohon yang ditanam adalah pohon beringin. Meski dianggap gila, ia tidak peduli dan terus menanam pohon di lereng bukit hingga 250 hektar are. Lebih dari 11 ribu pohon sudah tumbuh besar dan tanaman lain mulai bisa berkembang di lereng bukit itu. Wilayah yang tadinya tandus itu kini pun asri dan berair.
Kita tidak perlu segila itu. Cukup satu jiwa tanam satu pohon, bahkan satu rumah satu pohon saja. Cita-cita Net-Zero Emissions yang populer semenjak Konferensi Tingkat Tinggi Iklim di Paris pada 2015 yang mewajibkan negara industri dan maju mencapai nol-bersih emisi pada 2050 itu akan lebih mudah diraih.
Kita lakukan hal-hal kecil yang bisa kita lakukan saja. Menanam pohon, membuat kompos dari limbah rumah tangga, menghemat listrik di rumah, menggunakan bahan bakar dengan oktan tinggi (yang tidak bersubsidi, karena itu juga bukan hak kita), kurangi konsumsi air minum dalam kemasan, hingga semakin paperless.Â
Selanjutnya, hal-hal besar, kebijakan dan semacamnya, kita percayakan kepada pemerintah dan tugas kita menaati aturan-aturan yang telah ditetapkan itu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI