Tidak ada rencana untuk pulang kampung. Namun, beberapa hari menjelang lebaran, karena Bapak dan beberapa anggota keluarga terpapar Covid-19, akhirnya aku memutuskan pulang darurat. Bapak memang masuk ICU dan tidak ada yang bisa dilakukan selain berdoa dan menyerahkan segalanya kepada tenaga medis. Namun, kondisi Ibu yang harus dijaga. Agar jangan sampai tertekan. Ada kawan bicara. Plus, aku bisa bolak-balik ke rumah sakit untuk berkomunikasi dengan para tenaga kesehatan yang merawat Bapak.
Tapi tulisan ini tidak bercerita banyak tentang itu. Melainkan tentang suasana penyekatan arus balik di tol Trans Sumatra. Sebagaimana kita tahu, penyekatan arus balik diperpanjang hingga 24 Mei 2021. Namun, masih banyak yang menganggap enteng hal itu atau disinformasi, menganggap masa mudik hanya sampai tanggal 17 Mei saja. Ternyata proses penyekatan di Tol Trans Sumatra (Palembang-Bakauheuni) berjalan dengan ketat.Â
Berbekal surat jalan darurat, tadinya saya melajukan mobil dengan perasaan tenang. Tes Genose nanti rencananya akan dilakukan di pelabuhan. Selain di pelabuhan, terdapat beberapa check point untuk dilakukan tes swab antigen gratis. Seperti di Km. 87 dan Km. 20. Daripada mahal-mahal tes Antigen duluan, mending manfaatkan momen gratisan itu, pikirku.
Baru sampai di tol Kayu Agung, penyekatan pertama terjadi. Mobil disuruh berhenti. Diperiksa surat jalan. Lalu diperbolehkan lewat.
Perjalanan berlanjut sampai di tol Mesuji. Jalan tol disekat total. Mobil pun disuruh keluar tol. Di pintu keluar, ada pemeriksaan gabungan, bukan cuma polisi, tapi ada seragam-seragam lain juga. Kami ditanya apakah sudah melakukan tes swab mandiri? Kami jawab belum.Â
Surat jalan saja tidak berguna di sini. Kami tidak diperbolehkan masuk tol lagi. Katanya, ada tempat tes antigen di dekat situ. Di Simpang Pematang katanya. Ternyata, jauh sekali. Kami melewati lintas timur yang sepi dan hanya ada truk-truk besar. Mobil pribadi melintas sesekali.
Puskesmas, klinik. Semuanya tutup. Tidak melayani tes. Termasuk klinik yang dimaksudkan oleh Pak Polisi yang berbincang dengan kami. Memang, itu sekitar pukul 12 malam. Akhirnya, kami pun terus melaju melewati jalan non-tol dengan modal G-Maps.
Entah kenapa berbeda dengan yang di pemberitaan. Kenapa kami harus disuruh keluar tol padahal ada check point untuk tes antigen di dalam tol?
Dini hari yang sepi itu, kami memutuskan masuk tol kembali setelah di Manggala. Alhamdulillah bisa masuk tol dengan aman di kilometer 160-an. Nanti kami akan berhenti di km. 87 untuk tes.
Tidak antrean yang benar. Semuanya dikerjakan manual. Mulai dari mendaftarkan diri untuk tes hanya dilakukan dengan cara menulis nama dan identitas lainnya di selembar kertas. Lalu kertas tersebut dinomori. Kami dapat nomor 1600-an. Kami tanya, sudah nomor berapa. Tidak tahu. Kertas tersebut kemudian harus diberikan ke petugas berseragam TNI. Untuk meletakkan kertas tersebut saja harus menyempil di tengah kerumunan.
Setelah itu tunggu panggilan. Panggilan dilakukan secara manual. Tidak ada pengeras suara. Sehingga sangat mungkin nama terlewat saat dipanggil. Inilah yang menyebabkan kerumunan karena semua orang ingin berada di dekat sumber suara.Â
Sementara itu, petugas swab hanya ada 2 orang.Â
Rasanya lelah sekali menunggu seperti itu. Apalagi sambil berdiri. Satu jam, dua jam, tiga jam berlalu. Nama kami belum dipanggil juga. Kuajak mengobrol orang-orang di sebelahku, ternyata ada yang antrean 1400-an juga belum dipanggil.
Azan Subuh berkumandang. Petugas tes pun istirahat terlebih dahulu. Nah, di sinilah terjadi kekacauan itu.
Kertas-kertas antrean itu ditinggal dan didapati tidak tersusun berurutan. Entah bagaimana cara pemanggilannya. Hal itu memantik "inisiatif" dari para penunggu tes. Kotak berisi kertas itu diacak-acak urutannya. Ada yang baru datang dan bahkan belum antre untuk registasi, menulis namanya sendiri dan asal melabeli nomor registrasinya lalu memasukkannya ke dalam kotak.
Asli tidak ada harapan.Â
Kondisi sudah overload. Kalau mesti menunggu, entah berapa lama lagi harus menunggu. Adik iparku pun mengobrol dengan petugas kepolisian yang mengatakan di Km. 20 pun sama saja, bahkan lebih ramai. Sang petugas menyarankan kami keluar tol saja lalu tes secara mandiri.
Akhirnya, kami melanjutkan perjalanan dan keluar di Bandarlampung. Di sana kami beristirahat terlebih dahulu, sarapan, lalu mencari tempat. Sampai akhirnya menemukan Kedaton Medical Centre yang juga melayani Genose. Antrean tes juga sudah cukup ramai. Sekitar pukul 9.30 baru kami selesai tes dan kembali masuk tol. Di Km. 20 kami menunjukkan hasil tes untuk mendapatkan sticker berwarna kuning. Setelah itu barulah perjalanan lancar hingga naik ke ke kapal laut.
Perjalanan yang sungguh panjang dan melelahkan. Jadi buat kalian yang terpaksa banget harus melakukan perjalanan di Tol Trans Sumatra hingga tanggal 24 ini, sebaiknya lakukan tes yang berlaku 1x24 jam terlebih dahulu daripada harus mengalami apa yang kami alami. :D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H