"Pak, kangen makan pempek nih. Kirimin dong dari Palembang," ujarku saat menelepon Bapak.
Karena pandemi, sudah lebih dari setahun aku tidak bertemu keluargaku di Palembang. Bukan hanya kangen tatap muka, aku juga kangen makanan khas Palembang seperti pempek. Meski ada yang juga menjual pempek di Tajurhalang dan sekitarnya, tetap saja rasa asli Palembang (terutama cukanya) tidak bisa digantikan.
"Yo sudah, ntar Bapak kirimkan pempek yang enak dari sini. Tapi basi nggak?"
"Pakai JNE saja, Pak! Yang YES!"
Pempek memang tidak punya daya tahan yang lama. Ada beberapa cara untuk menjaga agar pempek tidak basi seperti dilumuri tepung atau divakum. Namun, perlakuan semacam itu sebenarnya mengurangi rasa dari pempek. Aku tetap lebih suka pempek yang segar. Sampai di rumah langsung digoreng.
Sayangnya, sebelum pakai JNE, aku pernah punya pengalaman buruk dalam hal pengiriman pempek ini. Pempek yang dinanti-nanti tak kunjung sampai. Maklum, rumahku berada jauh dari kota. Paket yang harusnya sampai dalam sehari tertahan di Cibinong. Keesokan harinya paket pempek yang kuinginkan sudah agak berbau. Sudah tidak segar lagi alias menuju basi.
Barulah pemesanan berikutnya, teman-temanku menyarankan pakai JNE YES. Yakin Esok Sampai bukan cuma merk karena JNE berkomitmen menjaga pelayanannya. Biasanya, bakda Ashar, paket itu sampai. Karena itulah, kukatakan pada Bapak agar jangan salah pilih pengiriman. Harus JNE YES!
Pempek datang. Bersama kerupuk ikan asli Palembang. Bukan kaleng-kaleng, kualitas pempek dan kerupuk yang dikirim kualitas premium. Tanpa micin dan pemutih.Â
Bapak memang tidak pernah main-main dalam pemberian. Kalau kita ingin memberi, selalu berilah yang terbaik. Jangan yang setengah-setengah, apalagi sisa.  Prinsip hidup Bapak dalam pemberian itu ikut aku pegang sampai sekarang.
Seperti beberapa waktu lalu, saat membersihkan lemari, kami menyadari lemari itu kepenuhan. Aku minta istriku untuk memilah-milah pakaian mana yang masih bagus dan layak yang ukurannya sudah tidak sesuai dengan badan yang mengembang. Kami sumbangkan pakaian itu ke pusat penampungan pakaian bekas. Jangan sampai pakaian yang sudah lusuh yang diberikan, apalagi yang sudah koyak.
Percaya atau tidak, selalu ada kebahagiaan ketika kita bisa berbagi. Di saat yang sama, yang aku percayai, selalu ada hak orang lain dari harta yang kita dapatkan. Hak itu harus kita sisihkan secara berkala. Bila tidak, Tuhan akan mengompensasinya dengan berbagai cara. Bisa lewat rejeki kita yang berkurang, kesehatan yang bermasalah, atau hal-hal yang di luar dugaan terjadi yang berimbas pada berkurangnya keuangan kita.Â
Aku teringat pula dengan sebuah hadits, Nabi SAW bersabda, "Sesungguhnya sedekahnya orang muslim itu dapat menambah umurnya, dapat mencegah kematian yang buruk (su'ul khotimah), Allah akan menghilangkan darinya sifat sombong, kefakiran dan sifat bangga pada diri sendiri". (HR. Thabrani).Â
Kata Bourdieu, social capital adalah sumberdaya yang terdapat pada individu maupun kelompok masyarakat yang terhubung dalam sebuah jaringan, yang terkait dalam relasi yang bersifat institusional maupun non-institusional, dan saling menguntungkan satu sama lain. Simpelnya, social capital ini adalah kekuatan yang dimiliki kita semua untuk saling membantu satu sama lain.
Pandemi yang berdampak pada perekonomian ternyata membuat tak sedikit orang yang masih baik perekonomiannya membantu orang-orang yang membutuhkan. Ada gerakan untuk bersedekah makanan kepada para tukang ojek online. Ada Hajitako yang mengumpulkan sedekah untuk membeli makanan bagi para petugas kesehatan. Masih banyak gerakan serupa yang membuat setiap golongan masyarakat bahu-membahu membantu bahkan jauh lebih cepat dari bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah.
Salah satu pertanda dunia masih baik-baik saja menurutku adalah ketika kita dimudahkan dalam berbuat baik. Dalam merespons pandemi Covid-19 ini, kita dapat melakukan sedekah dan zakat online. Meski pada dasarnya, sedekah dan zakat sebaiknya diberikan kepada orang yang berada paling dekat dengan kita dulu.
Itulah yang juga diajarkan Bapak. Jika memiliki rejeki berlebih, lihat dulu saudara kita. Adakah yang kekurangan? Bantulah mereka. Setelah itu, lihatlah tetangga. Nah, waktu kecil, aku bertugas sebagai pengantar amplop zakat harta. Naik sepeda, aku mendatangi rumah demi rumah. Sebagian mereka anak yatim atau janda tua. Kita sebagai manusia punya kewajiban untuk turut menyantuni mereka. Percayalah, seperti ada sesuatu yang terangkat saat memberikan amplop itu.
Namun, bila tak ada dan kita kebingungan mau bersedekah atau berzakat kepada siapa, kita bisa mempercayakan itu pada lembaga tepercaya dan menyalurkannya online saja. Ada banyak cara saluran yang bersedia menampung kebaikan kita.
JNE juga menjadi bagian dalam "connecting happines"itu. Menyambungkan kebahagiaan yang terpisah antarpulau. Antara Bapak dan anak. Antara pemberi dan penerima. Antara yang berlebih dan membutuhkan.
Kalau mau coba, sumbangkan saja barang-barangmu di rumah yang masih bagus dan layak pakai. Bukan cuma pakaian lho. Mulai dari buku hingga ponsel atau laptop bekas untuk murid-murid yang membutuhkan dalam menjalani sekolah online. Ada banyak wadah yang akan menampung dan mendistribusikannya.
Kirimkan via JNE. Tidak perlu repot-repot datang ke counter, kurir JNE akan membantumu mengambil barang ke rumahmu. Dan kita bisa memilih layanan yang cocok untuk pengiriman. Bila berat barang yang hendak kita kirim melebihi 10 kilogram, kita bisa menggunakan layanan JNE Trucking (JTR).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H