Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengenang Pertemuan dengan Sapardi Djoko Damono

19 Juli 2020   17:17 Diperbarui: 19 Juli 2020   22:02 545
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selamat Jalan, Sapardi Djoko Damono.

Kabar itu kudengar dan seketika hati mencelos mengingat buku terakhir kolaborasinya bersama Rintik Sedu ku-review dengan nada yang tak begitu positif. Bukan karena tak respek, justru karena kedudukan Sapardi di hati saya begitu tinggi.

Penyair mana yang tak kenal Sapardi Djoko Damono?

Pertemuan pertamaku dengan beliau terjadi tahun 2009, ketika masih duduk di bangku kuliah. Beliau bak Kakek Legenda yang buku-bukunya wajib dibaca, namun langka.

Kesempatan bertemu itu datang di Sastra Reboan ketika beliau menjadi bintang tamu. Bersama teman-teman dari Aksara STAN, aku menyaksikan beliau. Duduk sambil mengopi, dan tak disangka begitu ramahnya, kami bisa bercakap-cakap dengan Sapardi Djoko Damono.

Lalu itu bukan pertemuan yang terakhir. Sebab, kami kemudian mengundang beliau untuk menjadi pembicara sebuah kegiatan sastra di STAN. Waktu itu, Sapardi datang bersama Linda Christanty. Di sebuah ruangan di Gedung G STAN, beliau membagikan banyak hal. Inspirasi tak bertepi.

Buat saya pribadi, Sapardi selalu magis.

Karya-karyanya begitu memengaruhi proses kepenyairan saya. Imajisme. Seperti Ezra Pound. 

Justru buku beliau yang pertama kali saya baca adalah Ayat-ayat Api. Versi digital. 

Saat itu buku beliau sangat langka. Belum diterbitkan dengan skala besar seperti sekarang. Beliau mencetak sendiri bukunya. Beliau melayout dan mendesain sendiri sampul bukunya. Beliau juga langsung memegang penjualan bukunya.

Waktu itu, Bung Epri Tsaqib ikut menjadi distributor buku-buku Sapardi. Harganya sedikit mahal unuk anak STAN zaman dulu (yang memang sobat miskin). Sehingga baru menjelang kelulusan saya membeli 1-2 buku beliau.

Justru saya mendapatkan buku beliau berjudul KOLAM yang memenangkan Katulistiwa Literary Award itu dari penyair asal Singkawang, Hanna Fransisca. Buku yang juga saya cintai.

Buku-buku lain yang kemudian saya koleksi, yang saya dapatkan dari hunting di toko-toko buku underground seperti di Blok M Plasa, antara lain Hujan Bulan Juni dan Ayat-ayat Api.

Bertemu Lagi di Festival Pembaca Indonesia 2015

Kemudian saya lulus kuliah dan ditempatkan di Sumbawa. Tak ada kesempatan untuk ikut acara-acara sastra lagi.

Baru pada tahun 2015, ketika kembali ke Bintaro, untuk melanjutkan kuliah, saya bisa bertemu beliau lagi.

Nasib beliau berubah. Pembaca buku makin menerima sastra. Buku-buku Sapardi dicetak ulang semuanya oleh Gramedia. Dan waktu itu beliau menerbitkan buku Melipat Jarak.

Seorang teman memberikan buku itu kepada saya.

Saya menonton beliau memberikan wejangan. Mengenai metafora. Bilangnya begini maksudnya begitu. Mengenai Dongeng Marsinah, puisi yang ia tulis selama tiga tahun karena menurutnya menulis puisi tidak boleh marah. Sementara kasus Marsinah membuatnya selalu marah sehingga ia perlu waktu yanh lama untuk menenangkan diri guna bisa menulis puisi.

Setahun berselang, sejarah menandai begitu populernya puisi dengan menghadirkan panggung di Asean Literary Festival 2016.

Sapardi Djoko Damono dihadapkan dengan Joko Pinurbo. Najwa Shihab menjadi moderator.

Saya duduk di depan karena beruntung menjadi salah satu penulis Indonesia dalam program residensi festival tersebut. Dan berterima kasih karena juga jasa beliau, puisi menjadi sedemikian populer hari-hari ini.

Satu yang saya sesalkan. Setelah agak dewasa, saya malas berfoto bahkan dengan orang yang saya idolakan. Foto saya bersama beliau ketika masih kuliah hilang di Facebook saya yang di-hack orang.

Hari ini, Sapardi tiada. Saya mengingat sebuah puisi beliau yang memang selalu mendalam.

Judulnya Pada Suatu Hari Nanti.

Pada suatu hari nanti,
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.

Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini.K

Kau akan tetap kusiasati.

Pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun