Selamat Jalan, Sapardi Djoko Damono.
Kabar itu kudengar dan seketika hati mencelos mengingat buku terakhir kolaborasinya bersama Rintik Sedu ku-review dengan nada yang tak begitu positif. Bukan karena tak respek, justru karena kedudukan Sapardi di hati saya begitu tinggi.
Penyair mana yang tak kenal Sapardi Djoko Damono?
Pertemuan pertamaku dengan beliau terjadi tahun 2009, ketika masih duduk di bangku kuliah. Beliau bak Kakek Legenda yang buku-bukunya wajib dibaca, namun langka.
Kesempatan bertemu itu datang di Sastra Reboan ketika beliau menjadi bintang tamu. Bersama teman-teman dari Aksara STAN, aku menyaksikan beliau. Duduk sambil mengopi, dan tak disangka begitu ramahnya, kami bisa bercakap-cakap dengan Sapardi Djoko Damono.
Lalu itu bukan pertemuan yang terakhir. Sebab, kami kemudian mengundang beliau untuk menjadi pembicara sebuah kegiatan sastra di STAN. Waktu itu, Sapardi datang bersama Linda Christanty. Di sebuah ruangan di Gedung G STAN, beliau membagikan banyak hal. Inspirasi tak bertepi.
Buat saya pribadi, Sapardi selalu magis.
Karya-karyanya begitu memengaruhi proses kepenyairan saya. Imajisme. Seperti Ezra Pound.Â
Justru buku beliau yang pertama kali saya baca adalah Ayat-ayat Api. Versi digital.Â
Saat itu buku beliau sangat langka. Belum diterbitkan dengan skala besar seperti sekarang. Beliau mencetak sendiri bukunya. Beliau melayout dan mendesain sendiri sampul bukunya. Beliau juga langsung memegang penjualan bukunya.
Waktu itu, Bung Epri Tsaqib ikut menjadi distributor buku-buku Sapardi. Harganya sedikit mahal unuk anak STAN zaman dulu (yang memang sobat miskin). Sehingga baru menjelang kelulusan saya membeli 1-2 buku beliau.