Hari Kebangkitan Nasional pertama kali diperingati tahun 1948. Sebelum bercerita mengenai tahun itu, saya menemukan sebuah potongan koran Harian Rakjat, tertanggal Rebo, 19 Mei 1964.
Di bawah halaman depan koran tersebut tertulis, Hidup hari kebangunan nasional untuk persatuan jang seluas-luasnja! Ya, saat itu kebangkitan masih ditulis kebangunan!
Pada itu, ada golongan yang tidak mengakui pentingnya hari-hari nasional. Di Belanda misalnya, ada yang anti perayaan 5 Mei (Hari Kemerdekaan).Â
Di Indonesia juga, pada zaman kabinet Hatta, perayaan-perayaan memperingati hari 12 November yaitu hari pemberontakan tahun 1926 dilarang oleh kepolisian. Hatta tidak mau perlawanan terhadap kolonialisme Belanda diperingati sebab politik Hatta justru bersekutu dengan kolonialisme Belanda. Koran itu menyebut buktinya karena Hatta menyetujui Konferensi Meja Bundar yang dianggap merugikan Indonesia.
Koran yang memang berbau kiri, karena menampilkan headline D.N Aidit itu, juga mengutip Aidit di editorialnya, "Tidak ada syarat-syarat objektif yang mengharuskan adanya perpecahan antara kaum nasionalis, golongan agama, dan kaum komunis."
Sekelumit potongan editorial koran tersebut menunjukkan banyak hal mulai dari perseteruan politik pada masa sebelum terjadi G30S, hingga konstelasi politik dan makna mengenai Hari Kebangkitan Nasional.
Tidak sedikit yang tidak menyetujui dipilihnya 20 Mei sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Budi Oetomo dianggap Tan Malaka terlalu Jawasentris, begitu pun oleh Minke (tokoh rekaan dalam Bumi Manusia) yang menyoroti organisasi tersebut hanya mengutamakan kebangkitan para priyayi Jawa.
Namun, ada pandangan yang menarik, kenapa Soekarno memilih Budi Oetomo sebagai titik tumbuh kebangkitan nasional. Pada saat itu terjadilah krisis politik sebagai simbol kebangkitan dan persatuan. Hilmar Farid mengatakan, "Boedi Oetomo dipilih karena ia organisasi yang paling moderat, nasionalis, jalan tengah, dan yang paling penting tidak berhasil secara politik." Meski kemudian ia tidak menampik bahwa Budi Oetomo adalah organisasi modern yang paling pertama yang menjadi ide atau penanda kebangkitan itu sendiri. "Tapi di pihak lain kita tidak mungkin mengabaikan peran Boedi Oetomo sebagai salah satu pelopor organisasi modern di Indonesia." (Historia).
Menyimak cerita-cerita masa lalu memang selalu menarik. Sebab kita menyaksikan betapa banyak orang cerdas, berlawanan ide, namun mampu bertarung secara ide dengan begitu cerdas.
Musuh secara langsung, berupa penjajahan, memang menempa mental bangsa kita.
Kini, kita menghadapi musuh yang tak kasat mata. Pandemi. Seharusnya seperti ucapan Mardigu Sontoloyo, Indonesia harus menangkap peluang kebangkitan dalam membaca situasi geopolitik yang ada.
Kita tentu saja tidak perlu ngoyo ikut menyinyiri Pemerintah dan mencari peluang personal atau kolektif yang lain selama di rumah saja. Jangan sampai jadi kaum rebahan. Bisa-bisa nanti jadi Hari Rebahan Nasional.
Yul, berubah, jadikan semuanya indah saat lebaran... Ya, Lebaran sebentar lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H