Bagaimana rasanya petasan meledak di dekat tangan?
Itu pernah terjadi padaku. Selepas Subuh aku berniat jahil membangunkan sepupu dengan meledakkan petasan di samping kamarnya. Entah kenapa, baru sebentar disulut, sesaat setelah kulemparkan, petasan itu meledak di dekat tangan. Untung petasan kecil. Hanya bengkak tanganku.
Ada-ada saja masa kecilku itu. Paling seru, zaman Gusdur. Saat itu sekolah diliburkan sebulan penuh. Setiap hari, setelah Subuhan ke masjid, aku dan teman-temanku akan jalan pagi. Bawa petasan. Setelah puas jalan-jalan, aku akan main dingdong. Koinnya seratusan. Dulu, aku jago sekali main gim pesawat. Satu koin bisa sampai tamat.
Karena asik bermain, pernah satu kali aku tak menyadari bapakku datang membawa sapu lidi. Sudah sampai jam 10 aku bermain. Beliau termasuk tokoh masyarakat. Malu anaknya puasa-puasa main di dingdong yang menjadi tempat anak-anak bandel yang bahkan banyak tidak berpuasa.
Orang tuaku tahunya aku kutu buku. Padahal pergaulanku lumayan luas. Pernah kami manjat pohon rambutan pas puasa. Lalu asik makan rambutan. Pernah juga kami berenang di kedukan/bekas galian yang sebenarnya terkenal angker. Puas-puas kami berenang dari siang sampai menjelang sore. Tidak peduli kalau ada airnya tertelan. Pantaslah, kami tidak kehausan.
Berbekal banyak cerita masa kecil, aku pernah ikut stand up comedy. Pertama kali tampil pas ada lomba di kantor. Mungkin karena Beginner's Luck. Aku juara pertama.
Sempat pula kuuji materi di Stand Up Comedy Kemenkeu. Dapat giliran pertama, aku malah tidak lucu.
Salah satu materi Stand Up katanya harus menyangkut nilai moral. Jadi kusampaikan waktu kecil hobiku main sepak bola. Di dekat lapangan tempat bermain itu ada kebun singkong. Capek dan lapar, aku kasih ide buat mencabut singkong lalu membakarnya. Seorang teman menyela, itu maling namanya. Kukatakan padanya, maling itu kalau ketahuan. Kalau tidak ketahuan, ya tidak apa-apa.
Kekonyolan demi kekonyolan itu tak ada artinya jika dibandingkan tantangan saat tarawih. Anak-anak biasanya ada di shaf paling belakang. Selalu ada anak yang iseng, saat posisi sujud, pantat kita disodok pakai tangan. Saat khusus berdiri tiba-tiba celana kita dipelorotin.
Mengatasi hal itu aku selalu bawa jarum pentol. Mataku melirik ke belakang sambil satu tangan bersiaga memegang jarum pentol. Dengan cara itulah, harga diri bisa diselamatkan.
Memilih masjid pun jadi tantangan. Aku mencari masjid yang 11 rakaat. Selain itu perlu pula menghapal nama imam dan penceramahnya. Kultum tarawih yang seyogianya 7 menit bisa jadi 30 menit. Dan imam ada yang hobi membaca ayat pendek yang panjang-panjang seperti An Naba.