Covid-19 sudah resmi jadi pandemi. Wabah global. Solidaritas menjadi kata kunci untuk menghadapi pandemi ini.
Status pandemi bukan mengubah status seberapa berbahaya virus, tapi sikap kita semua saat menghadapinya. Tidak boleh meremehkan. Meski tidak boleh juga ketakutan.
Sebab, bila tetap bersikap sama, berbagai ahli statistik menunjukkan, grafik eksponensial terjangkit dan kematian yang disebabkan akan benar-benar di luar kendali. Beberapa perhitungan yang dilakukan menghasilkan angka kematian bisa mencapai 3 juta jiwa dalam setahun di Amerika saja.Â
Angka prediksi lain juga mengatakan jika ada 34 kasus positif terjangkit yang terindentifikasi, sesungguhnya jumlah kasus yang tidak terindentifikasi antara 300-1000 orang.
Social Distance menjadi saran semua pihak sebelum segalanya terlambat. Social Distance berarti memberi jarak pada orang-oramg di ruang sosialnya. Italia sudah menutup kotanya. Denmark juga demikian.Â
Baru saja Manila menutup kotanya karena kesadaran kurangnya fasilitas kesehatan bila wabah menimpa mereka lebih banyak lagi. Begitu pula Mongolia meski baru 1 korban terjangkit, langsung menutup penerbangannya dari dan ke luar negeri.
Social Distance menjadi salah satu cara ampuh untuk menghadapi grafik eksponensial penyebaran virus. Akses dibatasi. Ruang publik yang menimbulkan keramaian juga dihilangkan. Semua agar otoritas kesehatan fokus pada kasus yang sudah ada dan menjaga agar grafik eksponensial tersebut menurun.
Lalu bagaimana dengan Indonesia?
Lockdown dianggap tidak tepat dilakukan karena Indonesia adalah negara kepulauan. Belum lagi efek sosial kepanikan yang ditimbulkan di luar jangkauan kontrol pemerintah. Setidaknya itu hasil diskusi perwakilan pemerintah di Kompas TV dengan Aiman Wicaksono tadi.
Namun, bila itu tidak dilakukan, lalu tidak ada solusi lain?
Bagaimana dengan para pengguna transportasi publik? Saya yang naik KRL dari Citayam ke Juanda terus terang saja merasa panik. Risiko setiap hari selalu ada. Apalagi bila melihat orang batuk pilek di gerbong kereta masih saja tidak memakai masker.
Apalagi Anies Baswedan, yang kali ini saya sepakat, meski banyak pihak bilang dia lebay, mengedepankan sense of crisis dengan melakukan simulasi prediksi risiko transportasi publik. Hasilnya kereta jalur Bogor dianggap paling berisiko.
Setelah viral, baru hari ini dilakukan pula pengecekan suhu di stasiun secara acak dan penyemprotan disinfektan. Mungkin kadang kita butuh orang lebay untuk meningkatkan sense of crisis.
Tapi bukan tenang itu yang penting. Risiko transportasi publik itu harus dikurangi dengan mengurangi jumlah penumpangnya.
Caranya gimana? Rumahkan para pegawai pemerintah yang ada. Bekerja dari rumah saja sampai kondisi bisa diprediksi.
Apalagi saya, yang pekerjaannya nggak berhubungan dengan masyarakat secara langsung, hanya banyak kajian dan administrasi yang semuanya sudah bisa memakai aplikasi. Jangan tunggu ada satu pegawai yang terkena, lalu panik melanda.
Bahkan Christiano Ronaldo aja tidak kembali dari Portugal setelah rekannya, Daniel Rugani diidentifikasi positif Covid-19. Sedangkan kita bukan manusia super seperti Ronaldo. Jadi wajar ingin rasa aman, bukan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H