Lalu siapa penduduk yang "tak mampu" itu? Apakah mereka mereka memiliki karakteristik "rentan miskin" yang diterapkan oleh Bank Dunia?
Katakanlah alasan BPS benar. Ada yang luput dari pembacaan kita. Standar USD1,9/hari World Bank merupakan standar yang digunakan untuk negara low income dengan pendapatan per kapita di bawah USD1000/tahun. Di antaranya ialah Afghanistan, Ethiopia, Somalia, Nepal, dan Uganda.
Indonesia sendiri memiliki pendapatan per kapita berdasarkan PPP yang sudah mencapai USD13.000/tahun. Jika dihitung secara PPP, Â Angka itu menempatkan Indonesia sebagai negara lower middle income dan tengah bertransformasi menjadi upper middle income. Lantas berapa standar kemiskinan dalam dua kategori tersebut?
Tidak ada angka pasti. Namun, sebagai perbandingan, Brasil yang pendapatan per kapitanya sebesar USD15.000/tahun memiliki garis batas kemiskinan sebesar USD5,5 (PPP). Dan Lebanon yang pendapatan per kapitanya USD19.000 memiliki garis batas kemiskinan sebesar USD7/hari (PPP).
Jerman sebagai sebuah negara yang dianggap maju dalam pengelolaan Social Security System termasuk di dalamnya soal jaminan kesehatan memiliki definisi kemiskinan sendiri dengan cara menghitung mereka yang pendapatannya di bawah 60% dari rata-rata. Jika itu dipraktikkan di Indonesia, garis kemiskinan kita adalah mereka yang penghasilannya di bawah ~Rp2.800.000/bulan (dengan pendapatan per kapita USD4000 dan kurs USD1= Rp14.000).Â
Dengan hitungan seperti ini, sebenarnya akan menjadi lebih adil karena jumlah pendapatan per kapita kita hampir sama dengan penghasilan tidak kena pajak (PTKP) sebesar Rp54 juta.Â
Berapa jumlah penduduk miskin kita jika garis kemiskinan adalah sebesar Rp2,8 juta? Apakah akan sama dengan jumlah penduduk yang iuran BPJS-nya ditanggung oleh pemerintah sebanyak 134 juta jiwa? Di Jerman, pemerintah memberi subsidi iuran jaminan kesehatan para penduduk yang penghasilannya di bawah upah minimum.
Kalau begitu, betapa banyak orang miskin di Indonesia yang selama ini tidak diakui dalam data. Belum lagi jika itu ditambah oleh orang-orang yang disebut Bunda Teresa---kesepian dan tidak merasa dicintai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H