aku ingin memerangkapmu ke dalam selembar foto
dengan latar pohon dan sungai yang mengalir merdu
kau mengenakan gaun berwarna merah jambu, tapi
diamlah, kumohon, tiga puluh detik saja
tak usah kita pedulikan api yang menari di tambora,
kerumunan orang-orang yang melepaskan sumpah
serapah seperti busur panah, melesat, menusuk
jantung, tetapi kumohon, bukan jantungmu
yang diam, selama tiga puluh detik itu. tak ada udara
hanya kita yang mencoba merapal ketenangan, tubuhku
tubuhmu diurapi kenangan tetapi kumohon, pergilah
aku ingin kau terlihat sempurna, tanpa cela
dan tuhan akan mengamini, dirimu bidadari
yang lupa dicatat dalam sejarahnya
kecuali dalam sejarahku yang memuat sedikit cerita
tetapi fotomu, akan memuat banyak hal lain
terlalu banyak, sampai-sampai aku hanya akan dapat
memajangnya di dinding, mencermatinya tiap pagi
dan petang, ketika pergi dan datang, sebelum akhirnya
aku dan tuhan bersepakat, inilah arti keabadian!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H