Tagar Indonesia Tanpa Pacaran kembali mencuat karena ada poster yang menampilkan ajakan buat "Putusin Massal". Tentu saja buat warganet, hal itu menjadi konsumsi buat direcehin. Aku juga ikut-ikutan mencuit karena banyak respons lucu yang hadir.
Namun, meski lucu-lucuan, ternyata ada juga yang keluar dari konteks, dan bahkan menjurus ke penghinaan terhadap orang-orang yang tidak berpacaran. Yang bikin garuk-garuk kepala adalah orang-orang yang mengaitkan Indonesia Tanpa Pacaran dengan khilafah.
Aku tentu saja berpacaran. Tapi, aku nggak mau mengolok-olok orang-orang yang nggak mau pacaran karena prinsip. Aku sendiri punya banyak cerita soal dialektika pacaran atau tidak pacaran karena aku pernah berada di lingkungan yang tidak berpacaran.
Melihat ada orang yang mengolok-olok proses tanpa pacaran ke jenjang pernikahan seperti beli kucing dalam karung, apalagi bilang rumah tangganya akan berantakan, aku jadi pengen cerita yang paling dekat denganku.
Ya, kakak pertamaku tidak pacaran. Aku masih ingat sekali, saat itu aku masih SMP. Kakakku baru lulus kuliah. Tiba-tiba ada beberapa lelaki datang ke rumah. Yang menyambut dan menemani mereka mengobrol adalah Bapakku. Aku sebagai bungsu sering jadi objek, mereka membelikan mainan untukku. Yang kuingat, salah satunya aku pernah dibelikan oleh catur magnet mini oleh pria yang kemudian jadi kakak iparku.
Setelah beberapa waktu, Bapak kemudian bertanya pendapat Kakakku. Beliau memberikan pertimbangan, dan Kakakku memberikan jawabannya. Setelah sepakat, Bapakku yang menyampaikan, dan nggak lama setelah itu lamaran secara resmi, dan berlanjut ke pernikahan. Hingga kini, keponakanku sudah usia kuliah.
Teman-temanku yang menikah tanpa pacaran pun banyak sekali. Mereka percaya ada hal yang lebih tinggi dari asmara. Yaitu Tuhan. Dan bila segala sesuatu diniatkan tulus karena Tuhan, maka Tuhanlah yang berkuasa membolak-balikkan hati manusia.
Aku tentu saja menghormati itu meski aku menikmati masa-masa berpacaran. Memang sih, kayaknya sulit menghormati prinsip hidup orang lain ya. Tapi kemudian aku paham, penghormatan itu bisa muncul bila kita menguasai adab dan ilmunya. Mengaitkan orang yang nggak mau pacaran dengan khilafah saja jelas sekali memperlihatkan kosongnya pengetahuan.
Sebab apa? Tren tanpa pacaran di Indonesia itu sebenarnya nggak ada hubungannya dengan khilafah.
Anak-anak liqo lah yang memulainya. Aku juga dulu sempat ikut Liqo di ROHIS SMA. Ya sama, nggak pacaran, nggak mau pegangan tangan sampai pas kelas 3 ketemu cewek yang cantik banget. Imanku yang lemah tentu saja tergoda.
Dasarnya adalah dalil "jangan mendekati zina". Mendekati zina saja nggak boleh, apalagi berzina. Dan pacaran itu menjadi saluran mendekati zina. Gitu katanya. Meski tahu begitu, ya gimana juga, gejolak darah muda.
Hanya saja kritikku terhadap proses pernikahan taaruf tanpa pacaran ala aktivis itu adalah terlalu sentralnya peran murobbi/pembimbing pengajiannya. Kadangkala malah melenyapkan proses orang tua. Murobbi yang paling pas tetaplah orang tua masing-masing bukan orang lain. Karena ada banyak kasus, karena nggak sekufu, murobbinya nggak setuju dan berkuasa membatalkan proses.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H