Catur haram. Dua kata itu menjadi perbicnangan di berbagai media sosial beberapa hari belakangan. Pasalnya, dua kata itu muncul dari ustad kondang yang terus menjadi sorotan publik, baik pro dan kontra, ketika berceramah di KPK. Tak sedikit orang yang menertawakan hal itu, mengejek, dan sinis. Tapi, salahkah UAS?
Begitulah UAS, beliau sendiri sudah tahu bahwa ucapannya akan jadi polemik. Namun, UAS adalah tipe ustad yang literatur. Setiap sesi tanya-jawab, ia akan mengacu pada literasi yang sudah ia pelajari. Menurut A, menurut B, baik dalam tafsir dan ilmu fiqih. Dalam hal-hal yang serius itu, ceramahnya diselingi guyonan khas Melayu yang khas, yang kerap menyimpan makna yang mendalam.
"Mazhab Hanafi mengharamkan dadu dan catur, alasannya dua yakni pertama melalaikan sholat dan yang kedua menghilangkan waktu berhari-hari," terang UASÂ
"Bahwa ketua persatuan catur marah pada saya, terserahlah tapi saya tidak setuju. Habiskan waktu itu, banyak yang perlu kita pikirkan. Bagaimana politik, bagaimana anak. Ini yang kita pikirkan cem mana pion-pion ini bisa selamat," imbuhnya.
"Dadu dan catur sifatnya permainan, menetapkan sesuatu yang belum ada hukumnya kepada sesuatu yang ada hukumnya dengan melihat titik persamaan antara keduanya," pungkas UAS.
Ternyata bukan hanya Mazhab Hanafi saja yang mengharmkan catur. Kalau kita baca-baca lagi, mayoritas ulama bermazhab Hambali dan Maliki pun mengharamkannya. Hanya sebagian ulama kondang bermazhab Syafii yang mengatakan alasan alasan bahwa Asy Sya'bi --ulama terkemuka di masa silam- pernah bermain catur. Dan hukum asal segala sesuatu adalah halal sampai ada dalil tegas yang mengharamkannya.
Imam Syafii sendiri berpendapat bahwa permainan ini hukumnya makruh. "Jika itu menyebabkan orang ketinggalan shalat dari waktunya, atau bermain dengan taruhan maka itu haram. Jika tidak, hukumnya makruh menurut Syafi'i, dan haram menurut ulama lainnya." (al-Kabair, 90)
Namun memang harus diakui bahwa mayoritas ulama berpendapat catur memang haram. Dan ikut mayoritas ulama, seperti halnya UAS, bukanlah hal yang harus ditertawakan.
Lalu apa yang salah?
Sampai hari ini, orang banyak yang alergi dengan perbedaan pandangan dalam hukum fiqih. Padahal ya, selama pendapatmu disandarkan pada dalil yang kuat, ada rujukannya, referensinya, berbeda adalah hal biasa. Toh yang mutlak menentukan halal dan haram adalah Allah. Hanya saja, kalau kita mengikuti jumhur ulama, yang mayoritas 4 mazhab misalnya, kita akan lebih "aman".Â
Jadi, dalam kacamata fiqih, apa yang diucapkan UAS ya tidak salah.Â
Dalam kasus lain misalnya tentang demonstrasi. Manhaj salafy (yang orang-orang sering tuduh sebagai wajabi) berpendapat bahwa demonstrasi itu haram. Pemerintah harus ditaati meski zalim. Namun, Ustad Adi Hidayat menunjukkan tafsir yang lain, demonstrasi itu mubah/boleh karena konstitusi memperbolehkan. Mana yang benar? Silakan ikuti mana yang kamu yakini. Selama bersandar ke pendapat ulama yang jelas garis keilmuannya, ya aman.
Hal inilah yang seharusnya juga dipelajari sebagai umat Islam. Bahwa perbedaan tafsir itu adalah hal biasa dalam khasanah keilmuan. Bukan malah saling mengejek dan menertawakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H