Salah satu kenangan yang sangat berkesan ketika berkuliah di Bandung adalah kesempatan menjadi santri di Darut Tauhid. Ya, aku ikut program Santri Siap Guna selama 3 bulan. Gratis.
Di sana aku belajar banyak hal. Kegiatan diadakan tiap akhir pekan. Setiap Sabtu bakda Zuhur, kegiatan dimulai. Mulai dari latihan baris-berbaris, mengikuti ceramah agama Aa Gym yang ketika itu rutin disiarkan di televisi, kajian-kajian khusus, latihan kepemimpin, dan berbagai kegiatan lainnya kuikuti.Â
Beberapa yang spesial di antaranya betapa kami pernah jalan setengah berlari dari Geger Kalong ke Masjid Agung, jalan tengah malam di tengah hutan unuk mengetes mental, dilepas dinpasar untuk berjualan kemudian boleh pulang ketika jualan laku, hingga latihan setengah militer dengan tentara. Seru!
Aa Gym menjadi panutanku saat itu. Ceramahnya begitu mengenandi hati. Sosoknya di televisi dan langsung di hadapan kami memancarkan kharisma yang tak biasa. Apalagi bila tangannya menepuk pundak kami. Ahai. Beda banget pokoknya.
Sekian tahun berlalu, aku merindukan sosok Aa Gym setelah beliau "dibunuh" media massa akibat poligami. Beliau muncul lagi manakala mantan Gubernur Kota J bermasalah. Aa Gym ikut dalam aksi damai 212.
Satu hal yang membuat saya bertanya-tanya, makna apa yang ada di balik kehadiran Aa Gym dalam aksi damai. Sejauh saya memperhatikan beliau, beliau bukanlah orang yang suka ikut-ikutan, bukanlah seseorang yang bertindak tanpa pemikiran dan pertimbangan yang matang. Aa Gym adalah tipe orang yang tulus, pintar, dan tidak mudah ditunggangi kepentingan yang sifatnya pragmatis.
Bagi saya pribadi, Aa Gym, selain sebagai pribadi, juga memiliki peran sebagai simbol. Saya masih ingat sosoknya adalah sosok yang diterima berbagai kalangan. Ia dihormati dan memiliki pengaruh yang signifikan dalam pergerakan. Ketika Aa Gym masih eksis di media massa, berjuta-juta orang bisa rela datang untuk mendengarkan beliau.
Di luar yang ditampilkan di media, Aa Gym punya sisi berbeda. Beliau begitu tegas. Ketika saya masih nyantri di Darut Tauhid, saya merasakan sendiri karisma itu. Beliau memahami geo politik. Paham betul ancaman-ancaman terhadap agama dan bangsa, dan karena itulah di luar santri DT, ia juga menyiapkan Santri Siap Guna yang tiap tahunnya diikuti ribuan santri. Saya sendiri masuk ke dalam angkatan ke-12.
Ketika Aa Gym ikut aksi massa, pesan apa yang hendak disampaikan beliau sebagai simbol?
Saya kemudian termasuk yang menyimak hampir semua ucapan beliau secara kronologis dalam perihal kasus Gubernur kota J. Dan menjadi sebuah simpulan, pesan itu adalah momentum persatuan umat.
Entah sudah berapa tahun, pertelevisian kita diinvasi acara yang remeh. Ustad-ustadnya nyeleb. Beritanya dikaburkan ke sana-ke mari. Arus kehidupan di televisian pun seperti sebuah efek samping produk bernama kapitalisme dan liberalisme. Segalanya hanya demi pasar.
Individualisme merebak. Beda pandangan sedikit dibilang baper. Perang terjadi di media sosial. Ga setuju gua remove. Blokir. Beda, ga temenan. Kira-kira begitu yang terjadi. Dan pandangan terhadap agama menjadi sangat sempit. Orang-orang mulai banyak berpikir agama seharusnya tetap berada di ruang privat, tidak boleh ada di ruang publik. Sekulerisme adalah buah otomatis dari liberalisme.
Aksi pertama yang dilakukan FPI kurang mendapat simpati publik. Belum lagi pendiskretan media yang banyak menyoroti sisi negatifnya membuat citra Islam dan muslim bisa semakin luntur.
Citra itu tidak boleh jatuh lagi. Aa Gym pun merasa harus hadir di sana.
Di mana posisi Aa waktu itu? Di belakang, bersama santrinya, ia memegang peran sebagai koordinator kebersihan. Keputusan Aa Gym untuk datang itu mungkin tidak pernah disangka-sangka oleh pihak seberang karena selama ini Aa Gym tidak tampak sekeras Habib Rizq. Tak membesar-besarkan peran Aa Gym, saya yakin sekali umat Islam yang tadinya masih ngambang pun banyak yang menjadi yakin untuk ikut serta.
Setelah itu, ad hominem bertebaran di mana-mana. Aa Gym pun mulai menuai serangan siber. Beberapa mengungkit-ungkit soal poligaminya, beberapa menyebut aa dapat panggung lagi, macam-macamlah.
Sebagai simbol, Aa adalah katalis.
Katalis itu diperlihatkan sekali lagi dalam Aksi Damai 2 Desember lalu. Aa mengatakan lebih kurang:
Berbeda boleh, marah jangan. Marah tidak sama dengan tegas dan santun. Kalau marah semuanya serba tidak jelas, sedangkan tegas segalanya didasarkan aturan.
Di sini Aa Gym juga mengingkatkan sesama muslim untuk tidak ikut berperilaku sama buruknya dengan orang yang buruk, karena menjadi tidak ada bedanya. Aa Gym juga bilang tentang untuk melihat persamaannya terlebih dahulu ketimbang perbedaan dari segala sesuatu.
Terakhir beliau berkata tentang air. Air lembut, tapi punya kekuatan. Air lembut, tapi bisa menyatukan segala adukan bahan bangunan menjadi bangunan yang kokoh. Maka, jadilah air.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H