Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Menyikapi Public Shaming ala Sok Jiwa Warriors (SJW)

2 April 2019   16:10 Diperbarui: 4 April 2019   21:27 666
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Sosial Justice Warrior (Sumber: magazine.job-like.com )

Tengah malam. Tiba-tiba listrik padam. Pada itu, aku merasa kebelet kepengen ke belakang. Beberapa temanku juga sama. Namun, kami menyadari bahwa toilet sekolah terletak di pojok belakang. Sekolah kami terkenal angker pula. Menakutkan.

Ya, saat SMA, kadang-kadang kami menginap di sekolah. Muhasabah. Malam bina iman dan takwa katanya. Kami akan beribadah berjamaah, meski banyak mainnya juga. 

Palembang saat aku SMA seringkali mengalami pemadaman bergilir. Ketika listrik padam, tentu kami lebih memilih mencari toilet di luar. Rumah sakit umum Palembang berada tak begitu jauh dari sekolah kami sehingga kami keluar.

Saat keluar, jalanan sudah sangat sepi sampai hampir tak ada mobil yang melintas di jalan raya. Kami tentu tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kami bermain-main di jalan raya.

Sumber: Jakarta MRT
Sumber: Jakarta MRT
Untung itu dulu. Belum ada media sosial. Kalau sekarang, kami pasti akan memilih memberanikan diri ke toilet pojok belakang ketimbang harus menanggung risiko ada Sok Jiwa Warrior (SJW) [plesetan dari Sosial Justice Warrior] yang bisa ada di mana saja, memegang kamera ponselnya, dan mengambil gambar kami semua kemudian mengunggahnya di media sosial dengan narasi-narasi menjatuhkan! Viral!

Rekreasi Infrastruktur Baru

Hal itulah yang terjadi baru-baru ini. Saat MRT Jakarta baru jadi, beberapa warga menjadikan hal itu sebagai objek rekreasi. Dan sebagaimana rekreasi, kesadaran berwisata kita masih begitu rendah. Banyak tempat wisata punya problem yang sama: sampah. MRT Jakarta sebagai tempat wisata juga menyajikan masalah itu. Ditambah dengan kelakuan yang kurang pantas dengan menginjak kursi, bergelantungan, dan lain sebagainya.

Melihat hal itu, para SJW belingsatan. Kamera mereka menjadi sniper yang memburu para pelaku satu per satu. Dengan cepat kemudian mereka mengunggah hasil bidikannya ke akun media sosial. Justifikasi sedemikian rupa dilakukan untuk menarik perhatian warganet.

Dalam pada itu, aku mengingat ketika aku bekerja di Sumbawa. Kami harus melewati Lombok terlebih dahulu. Kala itu, bandara baru dibangun. Dari Selaparang, Ampenan, dipindahkan ke Praya. Besar bandaranya. Pesawat-pesawat yang parkir, lepas landas, atau mendarat menjadi tontonan warga setempat yang khusuk di pinggir-pinggir pagar. Berhari-hari. Bahkan berbulan-bulan. Hingga akhirnya sekarang, tak ada lagi kerumunan itu.

Rekan yang dari kecil hidup di kota besar sempat menertawakan hal itu. Aku tidak. Sebab aku juga orang kampung yang ketika kecil akan selalu berteriak tiap melihat pesawat. Apalagi diajak ke bandara untuk mengantar Bapak. Akan ada sesi khusus menonton pesawat sebelum aku rela melepas Bapak.

Satu benang merah yang sebenarnya lebih penting. Yaitu antusiasme masyarakat. Ya, masyarakat antusias melihat fasilitas publik terbaru. Mereka pengen tahu, pengen merasakannya, meski cara mereka mengekspresikan antusiasme itu keliru.

Entah apa yang ada di pikiran SJW ini, bagiku mereka semena-mena. Tentu bila melihat kesalahan, sebaiknya adalah menegur mereka secara langsung. Katakan, untuk tidak buang sampah sembarangan. Katakan, untuk tidak makan di dalam kereta. Katakan, untuk tidak menaiki kursi atau bergelantungan. Hal itu lebih baik.

Namun kita paham, kebanyakan pelaku media sosial hanya menjadi macan di akun media sosialnya. Sementara aslinya, seringkali seperti anak kucing.

Jika takut menegur, sampaikan kepada aparat terkait. Biasanya selalu ada petugas layanan publik yang bersiaga.

Mengkritik Tanpa Mempermalukan

Dengan menyebarkan foto-foto pelaku, itu saja sudah sebuah kesalahan. Kita tidak boleh lho mengambil gambar orang lain tanpa seizinnya, apalagi mengunggahnya. Nah ini, sudah begitu, dengan tetap memperlihatkan muka, dipermalukan sekalian.

Kesalahan tidak sepatutnya dibalas dengan kesalahan.

Jika memang gatal ingin mengkritik, setidaknya kaburkanlah wajah mereka. Bayangkan rasa malu karena kesalahan dalam mengekspresikan antusiasme itu tak terperanai. Setiap orang berhak lho memperbaiki diri. Sedangkan sekali muncul di dunia maya, jejak digital hampir tidak mungkin dihapus.

Ingat kisah ibu hamil yang berdiri di gerbong KRL? Karena viralnya foto itu, sang ibu depresi dan menjadi musibah. Keluarganya sudah mewanti-wanti sebelumnya untuk menghapus foto itu, tetapi sudah kadung menyebar dan ada pihak-pihak yang tetap memanfaatkan foto dan narasi jahat itu sebagai alat panjat sosial.

Dan yang lebih penting tujuannya bukan untuk mempermalukan, tetapi kritik kepada pengelola layanan publik. Indonesia negara hukum. Ada hukum ada aturan. Buat aturan dan penegakkan aturan yang tegas. Misal di KRL, ada kursi prioritas. Jika ada yang tanpa malu, duduk di sana saat ada yang harus diprioritaskan tegur. Jika ada yang buang sampah, denda. Jika ada yang melanggar aturan-aturan lainnya juga denda. Misalnya begitu.

Penerapan disiplin seperti itu konon (aku belum pernah) terjadi di Singapura. Meludah sembarangan saja kena denda. Nah, kenapa kita tidak bisa mendidik masyarakat kita? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun