Tengah malam. Tiba-tiba listrik padam. Pada itu, aku merasa kebelet kepengen ke belakang. Beberapa temanku juga sama. Namun, kami menyadari bahwa toilet sekolah terletak di pojok belakang. Sekolah kami terkenal angker pula. Menakutkan.
Ya, saat SMA, kadang-kadang kami menginap di sekolah. Muhasabah. Malam bina iman dan takwa katanya. Kami akan beribadah berjamaah, meski banyak mainnya juga.Â
Palembang saat aku SMA seringkali mengalami pemadaman bergilir. Ketika listrik padam, tentu kami lebih memilih mencari toilet di luar. Rumah sakit umum Palembang berada tak begitu jauh dari sekolah kami sehingga kami keluar.
Saat keluar, jalanan sudah sangat sepi sampai hampir tak ada mobil yang melintas di jalan raya. Kami tentu tak menyia-nyiakan kesempatan itu. Kami bermain-main di jalan raya.
Untung itu dulu. Belum ada media sosial. Kalau sekarang, kami pasti akan memilih memberanikan diri ke toilet pojok belakang ketimbang harus menanggung risiko ada Sok Jiwa Warrior (SJW) [plesetan dari Sosial Justice Warrior] yang bisa ada di mana saja, memegang kamera ponselnya, dan mengambil gambar kami semua kemudian mengunggahnya di media sosial dengan narasi-narasi menjatuhkan! Viral!
Rekreasi Infrastruktur Baru
Hal itulah yang terjadi baru-baru ini. Saat MRT Jakarta baru jadi, beberapa warga menjadikan hal itu sebagai objek rekreasi. Dan sebagaimana rekreasi, kesadaran berwisata kita masih begitu rendah. Banyak tempat wisata punya problem yang sama: sampah. MRT Jakarta sebagai tempat wisata juga menyajikan masalah itu. Ditambah dengan kelakuan yang kurang pantas dengan menginjak kursi, bergelantungan, dan lain sebagainya.
Melihat hal itu, para SJW belingsatan. Kamera mereka menjadi sniper yang memburu para pelaku satu per satu. Dengan cepat kemudian mereka mengunggah hasil bidikannya ke akun media sosial. Justifikasi sedemikian rupa dilakukan untuk menarik perhatian warganet.
Dalam pada itu, aku mengingat ketika aku bekerja di Sumbawa. Kami harus melewati Lombok terlebih dahulu. Kala itu, bandara baru dibangun. Dari Selaparang, Ampenan, dipindahkan ke Praya. Besar bandaranya. Pesawat-pesawat yang parkir, lepas landas, atau mendarat menjadi tontonan warga setempat yang khusuk di pinggir-pinggir pagar. Berhari-hari. Bahkan berbulan-bulan. Hingga akhirnya sekarang, tak ada lagi kerumunan itu.
Rekan yang dari kecil hidup di kota besar sempat menertawakan hal itu. Aku tidak. Sebab aku juga orang kampung yang ketika kecil akan selalu berteriak tiap melihat pesawat. Apalagi diajak ke bandara untuk mengantar Bapak. Akan ada sesi khusus menonton pesawat sebelum aku rela melepas Bapak.
Satu benang merah yang sebenarnya lebih penting. Yaitu antusiasme masyarakat. Ya, masyarakat antusias melihat fasilitas publik terbaru. Mereka pengen tahu, pengen merasakannya, meski cara mereka mengekspresikan antusiasme itu keliru.