Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Boikot dan Sejarah Penderitaan

15 Februari 2019   16:14 Diperbarui: 15 Februari 2019   16:22 288
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Boikot punya sejarah panjang. Tidak banyak yang tahu asal kata boikot. Kata itu berasal dari sebuah nama, Charles Boycott Cunningham, yang merupakan purnawirawan kapten Angkatan Darat Inggris. Saat itu, Boycott bekerja pada Lord Erne, seorang tuan tanah di Irlandia.

Masyarakat Irlandia mengucilkan dia karena adanya kampanye hak-hak penyewa tanah. Saat itu, penyewa tanah sangat lemah dan diperlakukan tidak adil.

Kampanye melawan Boycott tersebut menjadi populer di  Inggris, setelah ia menulis surat kepada "The Times". Ia mengadukan situasi yang dihadapainya di Irlandia.  Dari sudut pandang kerajaan Inggris pada waktu itu, hal yang dialami Boycott tersebut  adalah suatu pengorbanan seseorang yang setia terhadap kerajaan Inggris melawan semangat nasionalisme Irlandia.

Dalam era revolusi, boikot adalah sebuah taktik. Tan Malaka dalam pidatonya pernah menganjurkan pemboikotan terhadap kolonialisme. Taktik ini digunakan oleh kaum nasionalis. Selengkapnya Pidato Tan Malaka.

Boikot akan berhasil apabila:

1. Tujuannya jelas dan terukur;

2. Didukung oleh kekuatan yang nyata (bukan khayalan);

3. Dipersiapkan dengan baik;

4. Dilaksanakan dengan mempertimbangkan situasi dan kondisi;

5. Dipimpin oleh seorang yang cakap dan disegani.

Ketika kita terkepung oleh kapitalis, prioritas perlu ditetapkan. Tidak mungkin kita memboikot semuanya. Kita perlu menetapkan prioritas dan kelogisan mana yang bisa diboikot terlebih dahulu.

Misalnya, air mineral. Saya selalu bilang, keberadaan air mineral di republik ini tidak logis. Air adalah barang publik. Itu yang harus dicatat. Menyerahkan pengelolaan air tanah ke industri yang sahamnya dimiliki dominan asing itu kekeliruan. Jangankan asing, oleh swasta lokal saja harus dipertanyakan. Air harus dikelola BUMN/BUMD. Boikot terhadap air mineral perlu dilakukan tetapi sebaiknya didukung oleh kekuatan pemerintah.

Aksi boikot seharusnya diarahkan untuk menumbuhkan kemandirian lokal, untuk membangkitkan kembali pasar-pasar lokal. Satir atas koperasi atau mini market pribumi sebenarnya berasal dari ketakutan pihak lawan. Sebenarnya, jika gerakan tersebut dipandu dengan baik, tentu akan menghasilkan hal yang baik pula.

Menghidupkan kembali kemandirian itu bisa ditiru dari cara para startup saat ini, terutama di bidang pertanian dan perkebunan. Mereka memotong banyak jalur perdagangan dengan langsung berhubungan dengan hulu/petani. 

Mereka memotong tengkulak dengan melakukan pendanaan, menghimpun langsung dari masyarakat dg pembagian keuntungan. Mereka langsung menyediakan kanal distribusi yang menghubungkan produsen langsung ke konsumen. Cara ini sebenarnya yang disebut sebagai angin untuk mengubah arah fiskal. Pro produksi.

Orang-orang yang meremehkan boikot mungkin tidak tahu, jika layar sudah terkembang, angin boikot akan menghasilkan efek yang baik. Muslim sendiri pun pernah merasakan dahsyarnya pemboikotan.

Suatu pertemuan digelar di kediaman Bani Kinnah, di lembah al-Mahshib. Hampir seluruh pembesar Quraisy hadir. Agenda pertemuan adalah rencana pemboikotan terhadap Nabi SAW dan para pengikutnya. Mereka sepakat untuk mengembargo umat Islam secara ekonomi dan sosial. Dalam urusan ekonomi, kaum Quraisy tidak akan berjual-beli dengan kaum Muslim. Secara sosial, Quraisy tidak akan menikahi Bani Hsyim dan Bani al-Muthallib, tidak berkumpul dan tidak berbaur, serta tidak berbicara dengan kaum Muslim.

Pernyataan embargo itu mereka dokumentasikan di atas sebuah shahifah (lembaran) yang berisi perjanjian dan sumpah yang digantungkan di dinding Ka'bah. Berikut isinya: "Bahwa mereka selamanya tidak akan menerima perdamaian dari Bani Hsyim dan tidak akan berbelas kasihan terhadap mereka, kecuali bila mereka menyerahkan Rasulullah SAW untuk dibunuh."

Hasilnya, kondisi Muslim mengenaskan. Mereka terpaksa memakan dedaunan dan kulit-kulit. Mulut mereka berbusa dan anak-anak mereka merintih kelaparan. Sa'ad bin Abi Waqqsh menuturkan penderitaan yang mereka alami. "Pada suatu malam, aku pergi kencing. Tiba-tiba aku mendengar suara gemercik air kencingku sepertinya banyak, sehingga aku gembira. 

Setelah selesai, aku baru sadar bahwa yang gemercik itu adalah suara kulit yang aku biarkan terpanggang di atas api supaya kering dan dapat aku makan. Ternyata kulit itu menjadi sangat kering, sehingga terpaksa aku memakannya dengan merendamnya dalam air terlebih dahulu."

Lalu kini, apa tujuanmu memboikot sesuatu?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun