Mohon tunggu...
Pringadi Abdi Surya
Pringadi Abdi Surya Mohon Tunggu... Penulis - Pejalan kreatif

Lahir di Palembang. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Instagram @pringadisurya. Catatan pribadi http://catatanpringadi.com Instagramnya @pringadisurya dan Twitter @pringadi_as

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Peran Orang Tua dalam Tumbuh Kembang Anak

31 Januari 2019   11:06 Diperbarui: 31 Januari 2019   11:17 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi pribadi.

Hal pertama yang kujumpai manakala sampai di rumah sepulang dari kantor adalah anak-anakku yang berebut membuka pintu dan menyambutku sambil berteriak-teriak, "Abi pulang! Abi pulang!"

Hari sudah terlalu malam sebenarnya. Perjalanan pulang dari Jakarta Pusat hingga ke rumah memakan waktu kurang-lebih 2 jam. Lelah. Karena harus bertahan di tengah sesak kereta. Dilanjutkan dengan sepeda motor sejauh 6 km.

Sampai di rumah, kadang kusaksikan anak-anak belum selesai makan. Uminya kadang juga pasrah karena si kecil memulai gerakan tutup mulut. Setelah membersihkan diri, aku disodori piring makan si kecil. "Nih, gantian Abi yang nyuapin...."

Aku terpaksa berpikir kreatif. Usianya belum 2 tahun, tentu tak bisa disuruh dengan cara yang biasa. Menyodorkan ponsel dan memutar Youtube tentu juga bukan hal yang baik karena ia akan menganggap "menu utama" adalah menonton Youtube tersebut, dan makan dipersepsikan sebagai sesuatu yang mengganggu dia menonton.

Aku pun kemudian memikirkan sebuah cara. "Gianna, ayo cepat berubah jadi ultraman. Harus makan ini dulu biar bisa berubah... Buka mulutnya!" Dia pun mulai membuka mulut, memakan suapanku. Suapan-suapan selanjutnya aku harus beradu peran dengan kakaknya, atau uminya, yang berperan sebagai monster supaya dia terus mau makan. Biar kuat, bisa melawan monster.

Peran orang tua berarti peran ayah dan ibu, ini yang lambat kusadari dan melahirkan penyesalan. Saat anak pertama, aku masih begitu patriarkis. Menyerahkan urusan anak dan rumah ke istri sepenuhnya. Terlebih kami sempat terpisah begitu jauh dan lama karena kerja dan pendidikan. Aku di Sumbawa, NTB, dia di Bandung. Kemudian mendekat aku di Bintaro, dia di Bandung. Anakku yang pertama, dulu bisa dibilang punya berat badan yang sangat kurang.

Masalah anak kurang berat badan ini menjadi tantangan di Indonesia. Satu dari lima anak Indonesia kurang berat badan. Lucunya, kurang berat badan ini bukan karena tak mampu memberi makan anak (dari sisi finansial), melainkan karena para orang tua tak memiliki pengetahuan tentang hal tersebut.


Bahaya, karena bila dibiarkan, sang anak bisa kurang gizi (wasting), bahkan kerdil (stunting). 

Kesadaran orang tua sangat dibutuhkan untuk memantau sang anak secara cermat mulai dari berat dan tinggi badan. Di Indonesia, hal itu masih sangat rendah karena selama 2018 saja, baru 54,6% balita yang dibawa ke fasilitas kesehatan untuk ditimbang dan diukur berat dan tingginya. Dan paling sedikit hal itu dilakukan 8 kali dalam setahun sebagai upaya deteksi dini gangguan pertumbuhan.

Stunting tentu tak bisa diremehkan. Dalam jangka pendek dan jangka panjang, hal ini berisiko terhadap penurunan sistem kekebalan tubuh sehingga rentan terhadap penyakit. Anak tidak tumbuh optimal dan cenderung pendek yang menjadi indikasi adanya gangguan perkembangan otak seperti gangguan daya pikir hingga interaksi sosial, serta penyakit degeneratif.

Yang harus diingat adalah, seorang anak bukanlah orang dewasa dalam versi mini. Asupan dan pola makan yang baik bagi anak berbeda dengan orang dewasa.

Banyak orang tua belum menyadari pentingnya memantau tumbuh kembang anak. Saya juga termasuk yang sangat telat menyadari. Anak pertama saya lahir hanya 1,6 kg, prematur, Uminya terkena preklamsia saat hendak melahirkan. Sang dokter mengatakan terjadi pengapuran di plasenta sehingga makan si bayi terhambat.

Saat hamil, kami tinggal di Sumbawa dengan fasilitas kesehatan yang amat memprihatinkan dan tidak perhatian dengan asupan gizi ibu hamil. Meski ya, makan ikan dan sayur dalah rutinitas.

Dan si anak ini sejak balita makannya memang susah sekali. Kami sebagai orang tua baru kerap menyerah, dan saya tak mengambil peran apa-apa di sana. Itu yang saya sesali. Baru setelah dia mulai sekolah TK, makannya teratur meski seringkali lama sekali makannya. Alhamdulillah, sekarang ia duduk di kelas 1 SD dan semester pertama kemarin, ia mendapat ranking 1.

Badannya masih sangat kecil di antara teman-temannya, tapi semoga pikirannya tidak mengalami gangguan.


Tak salah memang bila pemerintah mengampanyekan peran keluarga sebagai tonggak utama dalam kesadaran gizi. Seperti kata seorang psikolog, Ajeng Raviando, upaya perbaikan gizi memerlukan peran aktif keluarga. Selain pola makan (termasuk kreativitas dalam sajian menu), pola asuh juga memberi andil besar dalam cara makan si anak. Usahakan waktu makan adalah waktu kebersamaan keluarga. Cek berat badan anak, ideal atau tidak, di http://www.cekberatanak.co.id

Sampai sekarang, anakku yang pertama sebenarnya tidak terlalu doyan nasi. Tapi dia suka makan telor dan daging (ayam dan sapi). Karena itu, beberapa hari dalam seminggu, aku akan membelikannya sate padang (daging sapi) atau sate ayam saat pulang kantor. Meski tak pakai lontong, ia akan melahapnya. Adiknya sangat suka mencontoh kakaknya. Kalau kakaknya makan sate, adiknya juga mau makan sate.

Apapun itu, penyesalanku karena tidak terlibat dalam tumbuh kembang anak, ingin kubayar tuntas. Semoga belum terlambat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun